NAJIS YANG DI MA'FU (DI MAAFKAN)



▪️ Untuk Ke Daftar Isi Awal, Klik Di Sini: TERJEMAH KITAB FATHUL MU'IN



    ▪️ Doa Masuk Wc


•【 NAJIS YANG DI MA'FU (DI MAAFKAN) 】•


1. Darah Nyamuk dan Semacamnya

وَيُعفٰى عَن دَمِ نَحوِ بَرۡغُوثٍ) مِمَّا لَا نَفسَ لَهُ سَائِلَةً كَبَعُوضٍ وَقَملٍ، لَا عَن جِلدِهِ 

  Dan hukumnya di ma'afkan, darah dari semisal nyamuk biasa, yakni sejenis binatang /serangga yang tidak memiliki darah merah yang mengalir dalam tubuhnya, Seperti nyamuk malaria dan kutu. Namun jika kulit atau tubuhnya tidak lah di ma'fu hukumnya.

2. Darah Kudis, Bisul Dan Semacamnya

و) دَمُ نَحوِ (دُمُلٍ) كَبِثرَةٍ وَجَرحٍ، وَعَن قَيحِهِ وَصَدِيدِهِ، (وَإنۡ كَثُرَ) الدَّمُ فِيهِما وَانتَشَرَ بِعِرقٍ، أو فَحُشَ الاَوَّلُ بِحَيثُ طَبَقَ الثَّوبَ - عَلٰى النُّقُولِ المُعتَمَدَةِ - (بِغَيرِ فِعلِهِ

  Dan hukumnya di ma'afkan juga, darah dari semisal kudis, bisul, jerawat dan luka goresan. Dan di ma'fu juga nanah dari semisal bisul dan nanah campur darahnya. Walau nanah yang ada itu banyak secara hukum, (yaitu ketika bisa di lihat dengan jelas oleh mata normal). Walaupun darah itu menebar bersama keringat.

  Atau walaupun lebih dari sekedar banyak apabila darah dari semisal nyamuk, yaitu sekiranya warna darah yang ada itu menutupi warna kain. Demikian menurut qaul yang bisa di jadikan sandaran. Namun semua itu dengan syarat, Apabila tidak di sengaja melakukannya.

فَإن كَثُرَ بِفِعلِهِ قَصدًا، كَأن قَتَلَ نَحوَ بَرغُوثٍ فِي ثَوبِهِ، أو عَصُرَ نَحوَ دُمُلٍ أوحَمَلَ ثَوبًا فِيهِ دَمُ بَرَاغِيثٍ مَثَلًا، وَصَلّٰى فِيهِ أو فَرَشَهُ وَصَلّٰى عَلَيهِ، أو زَادَ عَلٰى مَلبُوسِهِ لَا لِغَرضٍ كَتَجَمُّلٍ، فَلَا يُعفٰى إلَّا عَن القَلِيلِ عَلىٰ الاَصَحٍ - كَما فِي التحقيق والمجموع

  Dan jika darah dari nyamuk dan lain-lain itu banyak, dan menempelnya di lakukan dengan sengaja, seperti sengaja menepuk nyamuk di bajunya atau memencet bisulnya, atau seperti sengaja membawa baju yang ada darah nyamuknya, lalu sholat memakai baju tersebut, atau di buat hamparan untuk sholat, atau apabila sengaja menambahkan pakaian yang di pakainya dengan tanpa tujuan syar'i, seperti hanya bertujuan memperelok diri, Maka itu tidaklah di ma'fu. Kecuali darah yang mengenai secara sengaja itu sedikit secara hukum, (yakni tak terlihat oleh mata normal). Demikian menurut pendapat yang shohih. Sebagaimana di jelaskan di dalam kitab "Tuhfah" dan kitab "Majmu" .

وَإنِ اقتَضٰى كَلَامُ الرَّوضَةِ العَفوَ عَن كَثِيرِ دَمِ نَحوِ الدُّمُلِ وَإنۡ عُصِرَ. وَاعتَمَدَهُ ابنُ النَّقِيبِ والاذرَعِي

  Dan walaupun pembahasan dalam kitab Raudhoh menentukan bahwa darah dari semisal bisul, walaupun banyak itu tetap di ma'fu. Walaupun darah yang keluar sebab sengaja di pencet. Dan pendapat dalam kitab "Raudhoh" ini di anggap muktamad oleh imam Ibnu Naqib dan imam Adzro'i.

وَمَحَلُ العَفوِ - هُنَا وَفِيمَا يَأتِي - بِالنِّسۡبَةِ لِلصَّلَاةِ لَا لِنَحوِ مَاءٍ قَلِيلٍ، فَيَنجِسُ بِهِ وَإِن قَلَّ، وَلَا أَثَرَ لِمُلَاقَاةِ البَدَنِ لَهُ رُطبًا، وَلَا يُكَلَّفُ تَنشِيفُ البَدَنِ لِعُسرِهِ

  Adapun ketentuan di ma'funya najis yang telah di sebutkan di sini, dan yang akan di bahas lebih lanjut nanti, itu adalah jika:

①. Di nisbatkan bagi orang yang sedang sholat, Bukan ketika jatuh pada air yang sedikit. Jika jatuh di air, maka air itu tetap najis hukumnya.
②. Apabila tidak berdampak basah di badan ketika najis itu mengenai kulit, Dan tidak di haruskan membersihkan badan dalam najis seperti ini, Karena itu hal yang cukup menyulitkan.

3. Darah Sedikit Yang Timbul Dari Orang Lain

وَ) عَن (قَلِيلِ) نَحوِ دَمِ (غَيرِهِ) - أي أجنبي - غَيرِ مُغَلَّظٍ، بِخِلَافِ كَثِيرِهِ. وَمِنهُ كما قال الاذرعي: دَمٌّ اِنفَصَلَ مِن بَدَنِهِ ثُمَّ أَصَابَهُ

  Dan hukumnya di ma'afkan juga, semisal darah yang sedikit dari darah orang lain namun yang selain mugholadzoh, Berbeda halnya apabila darah itu banyak secara hukum, Dan termasuk di sebut darah dari orang lain adalah, darah yang telah terpisah dari badan sendiri, lalu darah itu kembali mengenai badan atau bajunya.

4. Darah Sedikit Dari Jenis Darah Haid Dan Hidung

و) عَن قَلِيل (نَحوِ دَمِ حَيضٍ وَرِعَافٍ) كَمَا فِي المَجمُوعِ. ويُقاسُ بِهِما دَمُ سَائِرِ المَنَافِذِ، إلَّا الخَارِجَ مِن مَعدَنِ النَّجَاسَةِ كَمَحَلِ الغَائِطِ

  Dan hukumnya di ma'afkan juga, darah dari haid atau pendarahan hidung yang berjumlah sedikit. Sebagaimana di jelaskan kitab Majmu'. Dan di qiyaskan dengan dua jenis darah ini, darah yang keluar dari beberapa lobang tubuh, kecuali darah yang keluar dari sumber najis, seperti halnya tempat keluarnya tinja. (Maka itu tidaklah di ma'fu walau sedikit).

والمَرجِعُ فِي القِلَّةِ والكَثْرَةِ العُرفُ، وَمَا شُكَّ فِي كَثرَتِهِ لَهُ حُكمُ القَلِيلِ. وَلَو تَفَرَّقَ النَّجِسُ فِي مَحَالِّ , وَلَو جُمِعَ كَثُرَ , كَانَ لَهُ حُكمُ القَلِيلِ عِندَ الاِمَامِ، وَالكَثِيرِ عِندَ المُتَوَلِي والغَزَالِي وَغَيرِهِمَا، وَرَجَحَهُ بَعضُهُم

  Adapun dalam masalah hukum sedikit atau banyaknya najis, itu di kembalikan pada umum.

(Pengertian umum dalam hal ini ada beberapa pendapat, Yang pertama: Ketika noda najis itu bisa di lihat secara jelas oleh mata biasa. Waqiila, noda melebihi ukuran uang dinar, waqila noda lebih lebar daripada kuku, waqila melebihi telapak tangan). —Syarah

  Dan najis yang di ragukan dalam masalah itu sedikit atau banyak, maka najis tersebut hukumnya najis yang sedikit. Dan seandainya  tempat yang terkena najis ada di beberapa tempat, yang jika di kumpulkan maka jadi najis yang banyak hukumnya, maka najis tersebut di hukumi najis yang sedikit. Ini menurut imam Haromain. Dan di hukumi najis yang banyak menurut imam Muatawali dan imam Ghozali dan selain dari keduanya. Dan sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang di unggulkan.

5. Darah Sebab Tusuk Jarum Atau Operasi Kecil Dan Bekam

وَيُعفٰى عَن دَمِ نَحوِ فَصدٍ وَحِجَمٍ بِمَحَلِّهِمَا وَإن كَثُرَ. وَتَصِحُ صَلَاةُ مَن أَدَمَّى لِثَتُهُ قَبلَ غَسلِ الفَمِّ، إِذَا لَم يَبتَلِع رِيقَهُ فِيهَا، لِاَنَّ دَمَّ اللِّثَةِ مَعفُوٌ عَنهُ بِالنِّسبَةِ إِلٰى الرِّيقِ

Dan hukumnya di ma'afkan juga, darah dari bekas operasi kecil dan bekam, jika masih berada di posisi bekas operasi kecil dan bekam. Walaupun banyak hukumnya, secara umum.

Dan hukumnya sah sholatnya seseorang yang gusinya berdarah dari sebelum membasuh mulut. Dengan syarat apabila ia tidak sengaja menelan ludahnya ketika dalam sholat. Alasannya, karena darah dari gusi itu di ma'fu hukumnya, jika itu di nisbatkan pada air liur.

▪️ Orang yang Mimisan (Berpendaharahan Pada Hidung)

وَلَو رَعَفَ قَبلَ الصَّلَاةِ وَدَامَ فَإنۡ رَجَا انقِطَاعَهُ وَالوَقتُ مُتَّسِعٌ اِنتَظَرَهُ، وَإلَّا تَحَفَّظَ  كَالسَّلِسِ خلافا لِمَن زَعَمَ اِنتِظَارُه، وَإنْ خَرَجَ الوَقتُ. كَمَا تُؤَخَّرُ لِغَسلِ ثَوبِهِ المُتَنَجِّسِ وَإن خَرَجَ. وَيُفرَقُ بِقُدرَةِ هذا عَلٰى إزالة النجس مِن أَصۡلِهِ فَلَزِمَتهُ، بِخِلَافِهِ فِي مَسۡألَتِنَا

  Dan seandainya seseorang mimisan (keluar darah dari hidung ) sebelum ia beranjak sholat. Dan mimisannya masih berlanjut, maka jika di perkirakan mimisan itu terhenti dan waktu sholat masih cukup longgar, maka ia boleh menunggu mimisan itu berhenti. Namun apabila waktunya sempit , maka ia harus berusaha bagaimana cara menjaga agar darah tidak keluar dari batas hidung. Sebagaimana yang di lakukan orang yang kena penyakit beser (kecing rembes).

  Namun pendapat ini menyelisihi pendapat yang mengira boleh tetap menunggu mimisan berhenti, walaupun waktu sholat habis batas waktunya. Sebagaimana boleh mengakhirkan waktu sebab mencuci baju satu-satunya yang terkena najis, walau harus sholat di luar waktu.

  Namun dalam hal mimisan dan baju yang terkena najis itu berbeda. Yang mana, kalau orang yang terkena najis bajunya, di pastikan dia bisa membasuh dan mensucikan bajunya (dan menunggu hingga selesai mensucikan). Oleh sebab itu dia wajib mensucikan baju satu-satunya, walau harus sholat di luar waktu.

  Dan ini tentunya berbeda dengan masalah orang yang mimisan. (Alasannya: dia tidak bisa memastikan sampai kapan ia harus menunggu, maka ia tetep harus sholat tetap pada waktunya dan berusaha menyumbat darah yang keluar dari hidung dan tidak boleh menunggu hingga sembuh).

6. Lumpur Atau Debu Bernajis pada Air Di Jalanan

وَعَن قَلِيلِ طِينِ مَحَلِّ مُرُورٍ مُتَيَقِّنٍ نَجَاسَتُهُ وَلَو بِمُغَلَّظٍ، لِلمَشَقَّةِ، مَا لَم تَبقَ عَينُهَا مُتَمَيِّزَةً. ويختلف ذلك بالوقت وَمَحَلُّهُ مِنَ الثَّوبِ وَالبَدَنِ

Dan hukumnya di ma'afkan juga, lumpur-lumpur jalanan yang di yakini bahwa itu lumpur bercampur najis, apabila hanya sedikit. Walau dari jenis najis mugholadzoh, Alasannya karena sulit menjaganya. Dengan syarat tidak ada material dari najis yang nampak mengenai dan bisa di bedakan dengan cipratan kotoran yang lain.

 Dalam hal di ma'funya kotoran jalanan, itu ada perbedaan dalam masalah musim. Dan masalah bagian yang terkena, dari baju dan badan.

(Jika musim hujan, maka di ma'fu, karena sulit menjaganya. Jika musim kering tidak di ma'fu, karena mudah untuk mengkibaskannya, jika yang terkena di baju bagian bawah atau di badan bagian kaki, maka di ma'fu. Tidak di ma'fu, jika terkena bagian lengan baju dan badan bagian tangan). —Syarah.

وَإِذَا تُعُيِّنَ عَينُ النَّجَاسَةِ فِي الطَّرِيقِ وَلَو مَوَاطِئ كَلبٍ، فَلَا يُعفٰى عَنهَا، (وَإنۡ عَمَّت الطَّريقَ عَلى الاوجه). (وأفتى شيخنا) فِي طَريقٍ لَا طِينَ بِها بَل فِيهَا قَذرُ الاَدَمِي وَرَوثِ الكِلابِ والبَهائِمِ وَقَد أَصَابَهَا المَطَرُ، بِالعَفوِ عندَ مَشَقةِ الاحتِرَازِ

  Dan ketika jelas-jelas nampak najis di jalanan, walau hanya sekedar biasa di lalui oleh anjing (banyak jejak kaki anjing), maka tidaklah di ma'fu cipratan lumpurnya. Walau najis yang nampak itu rata di semua bagian jalan. Ini menurut pendapat yang di unggulkan.

  Guru kami berfatwa: "Dalam masalah jalanan yang tidak nampak permukaan tanahnya, bahkan yang nampak hanya kotoran manusia, anjing, dan binatang lainnya, lalu jalan tersebut di guyur hujan, maka cipratan lumpurnya jika sedikit itu di ma'fu, yakni ketika kesulitan untuk menjaga dan tidak ada jalan lainnya.

▪️ Kaidah Penting : Sesuatu Yang Diragukan Najis

قَاعِدَةٌ مُهِمَْةٌ) : وَهِيَ أَنّ مَا أَصۡلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ عَلٰى الظَّنِّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِي مِثلِهِ، فِيهِ قَولَانِ مَعرُوفَانِ بِقَوۡلَيِّ الَاصلِ. وَالظَّاهِرُ أو الغَالِبُ أَرجَحُهُمَا أَنّهُ طَاهِرٌ، عَمَّلًا بِالاَصلِ المُتَيَقَّنِ، لِاَنَّهُ أَضبَطُ مِنَ الغَالِبۡ المُختَلِفُ بِالاَحوَالِ وَالاَزمَانِ

  Bahwa segala sesuatu yang pada asalnya suci, lalu menurut persangkaan yang kuat itu adalah najis di karenakan terkalahkan oleh najis (karena memang bercampur dengan najis), dalam hal ini ada dua pendapat yang berdasar pada dua sisi, yakni berdasar aslinya dan kenyataannya (umumnya)

  Namun pendapat yang lebih kuat /rojih itu adalah suci hukumnya, Alasannya karena merujuk pada dasar aslinya yang memang di yakini bahwa itu adalah suci. Dan karena yang namanya asli itu lebih kuat daripada gholib (sekedar pada umumnya). Yang mana hal yang gholib itu akan mudah berubah karena keadaan dan zaman.

وَذٰلِكَ كَثِيَابِ خُمَارٍ وَحَائِضٍ وَصِبيَانٍ، وَأوَانَي مُتَدَيَّنَينِ بِالنَّجَاسَةِ، وَوَرَقٍ يَغلِبُ نَثرِهُ عَلى نَجِسٍ، وَلِعَابِ صَبِيٍّ، وَجُوخٍ اِشتَهَرَ عَمَلُهُ بِشَحمِ الخِنزِيرِ، وجُبنِ شَامِي اِشتَهَرَ عَمَلُهُ بِإنفَحَةِ الخِنزِيرِ. وقد جاءه ﷺ جُبنَةٌ مِن عِندِهِم فَأكَلَ مِنهَا وَلَم يَسأَل عَن ذٰلِكَ. ذَكَرَهُ شَيخُنَا في شرح المنهاج

  Dan contoh dari perkara tersebut adalah seperti halnya bajunya pembuat khomer, bajunya wanita yang haid dan bajunya anak-anak kecil.

(Baju-baju tersebut di katakan suci karena berdasarkan pada asalnya dari perkara suci, yakni hanya di katakan sebagai mutanajis yang tentunya bisa di sucikan dengan di basuh. Tidak najis secara mutlak).

  Dan seperti halnya wadah-wadah dari orang musyrik yang konon selalu di basuh dengan najis, (yakni wadah-wadah tersebut di basuh dengan kencing sapi. Yang konon sebagai ritual taqorrub sesembahan mereka).

  Dan seperti halnya dedaunan yang rontok di tempat yang penuh najis, (Tidak bisa di katakan sebagai najis secara mutlak. Sebab pada asalnya adalah suci dan bisa di sucikan).

  Dan seperti halnya cairan yang keluar dari mulut anak kecil (jawa: iler). (yang tentunya kadang tercampur dengan muntahan saat keadaan terlalu kenyang, dll. Alasannya, Karena pada aslinya itu adalah air liur dan banyaknya anak yang mengalami hal demikian).

  Dan seperti halnya gula batu, yang konon katanya di buat dengan campuran bahan lemak babi. (di katakan suci di karenakan hanya konon katanya. Tidak tahu persis yang sebenarnya).

  Dan seperti halnya mentega dari tanah syam, yang konon katanya bahannya di campur dengan usus babi. Dan pernah Rosululloh Saw, di beri mentega buatan syam lantas beliau memakannya. Dan Beliau pun tidak menanyakan asal muasal dari bahan buatannya. Demikianlah di tuturkan oleh guru kami di dalam syarah kitab Minhaj.

7. Bekas Najis Setelah Istinja Dengan Batu

و) يُعفٰى عَن (مَحَلِّ استِجمَارِهِ وَ) عَن (وَنِيمِ ذُبَابٍ) وَبَولِ (وَرَوثِ خُفَاشٍ) فِي المَكَانِ، وَكَذا الثَّوبُ والبَدَنُ، وَإنۡ كَثُرَت، لِعُسرِ الاِحتِرَازِ عَنهَا

  Dan hukumnya di ma'afkan juga, tempat atau batu yang di gunakan untuk beristinja (jawa: peper), Dan kotoran lalat, kencing dan kotoran kalelawar, dengan catatan bila mengenai tempat sholat, baju atau badan. Walaupun itu banyak secara pada umumnya. Alasannya, karena sulitnya menjaga dari hal tersebut. (Tapi bila jatuh di air yang berukuran sedikit, tetap tidak di ma'fu).

8. Kotoran Burung yang Telah Kering

وَيُعفٰى عَمَّا جَفَّ مِن ذَرۡقِ سَائِرِ الطُّيُورِ فِي المَكَانِ إِذَا عَمَّت البَلوٰى بِهِ. وَقَضِيَّةُ كَلَامِ المَجمُوعِ العَفوُ عَنهُ فِي الثَّوبِ وَالبَدنِ أيضًا

  Dan hukumnya di ma'afkan juga, kotoran dari burung-burung yang sudah kering, apabila mengenai tempat sholat. Dengan catatan bila sering terjadi di sepanjang waktu dan susah menjaganya. Dan ketentuan di dalam kitab Majmu' bahwa itu di ma'fu juga bila mengenai baju atau badan. (Denganq catatan jika tidak di sengaja menginjak atau tidak di sengaja menempelkan pada baju dan badan. Dan juga tidak di ma'fu jika jatuh di air yang sedikit).

▪️ Kotoran Tikus

وَلَا يُعفٰى عَن بَعرِ الفَأرِ  وَلَو يَابِسًا  على الاوجه. لكن أفتٰى شيخُنا ابنُ زِيادٍ  كَبعضِ المُتَأخِّرِينَ  بِالعَفوِ عَنهُ إِذَا عَمَّت البَلوٰى بِهِ، كَعُمُومِهَا فِي ذَرقِ الطُّيُورِ

  Dan hukumnya tidak di maafkan, kotoran tikus walaupun itu sudah kering. Ini menurut pendapat yang di unggulkan. Namun guru kami dan sebagian ulama akhir menfatwakan bahwa, itu di ma'fu. Dengan catatan itu seringkali terjadi sepanjang waktu, sama seperti halnya kotoran burung yang sudah mengering.

(Dan berdasarkan di ma'funya kotoran tikus yang jatuh di bak wc ketika sering terjadi dan kesulitan dari menjaganya).

▪️ Sholat Sengaja Membawa Perkara Najis Walau Najis Yang Di Ma'fu.

وَلَا تَصِحُ صَلَاةُ مَن حَمَلَ مُستَجۡمِرًا أو حَيَوَانًا بِمَنفَذِهِِ نَجِسٍ، أو مُذَكّٰى غُسِلَ مَذبَحُهُ دُونَ جَوفُهُ، أَو مَيتًا طَاهِرًا كآدمي وَسَمَكٍ يُغسَلُ بَاطِنُهُ، أو بَيضَةً مُذِرَةً فِي بَاطِنِها دَمٌ. وَلَا صَلَاةُ قَابِضِ طَرفٍ مُتَّصِلٍ بِنَجِسٍ وَإنۡ لَم يَتَحَرّكۡ بِحَركَتِهِ.

  Dan tidak sah, sholatnya orang yang membawa batu bekas beristinja. (Alasannya, karena tidak ada perlunya membawanya di dalam sholat). Atau membawa hewan yang di rongga badannya ada najisnya. Atau membawa hewan sembelihan yang sudah di basuh bekas sembelihannya, namun belum di bersihkan isi perutnya.

  Atau membawa bangkai yang suci, seperti mayat, dan ikan yang belum di bersihkan perutnya. Atau ketika membawa telor yang rusak, yang isinya sudah bercampur darah.

  Dan tidak sah juga, sholatnya orang yang memegang ujung sesuatu yang menyambung pada najis. Walau barang (kain) yang di pegang itu tidak ikut bergerak seiring dengan gerakannya musholli.

▪️ Cabang: Melihat Najis pada Pakaian Orang yang Sedang Mengerjakan Sholat

فرع) لَو رَأٰى مَن يُرِيدُ صَلَاةً وَبِثَوبِهِ نَجِسٌ غَيرُ مَعفُوٍ عنه لَزِمَهُ إِعلَامُهِ. وَكَذَا يلۡزَمُ تَعلّيْمُ مَن رآه يُخِلُّ بِواجِبِ عِبُادَةٍ فِي رَأْيِ مُقَلَّدِهِ

  Apabila seseorang melihat orang lain yang akan sholat, sedangkan di bajunya terdapat najis yang tidak di ma'fu, maka wajib baginya memberi tahu pada orang tersebut. Dan demikian juga, wajib memberi pengertian atau mengingatkan orang yang di ketahuinya bahwa ia telah merusak salah satu kewajiban ibadah menurut pendapat ulama yang di ikutinya.


PENYEMPURNAAN: BAB THOHAROH


▪️ Hukum Wajib Bersuci Dari Istinja Dan Adab Ketika Buang Air.

 تِتِمَّةٌ) يَجِبُ الاسْتِنجَاءُ مِن كُلِّ خَارِجٍ مُلَوِّثٍ بِمَاءِِ. وَيَكفِي فِيهِ غَلَبَةُ ظَنِّ زَوَالِ النَّجَاسَةِ، وَلَا يُسَنُّ حِينَئِذٍ شَمُّ يَدِهِ
  
  Di wajibkan bersuci dari setiap sesuatu yang keluar dari qubul , yakni sisa kotoran yang ada dengan menggunakan air murni. Dan dalam hal ini, cukup baginya , adanya prasangka kuat bahwa sisa najis telah benar-benar bersih. Dan tidak di anjurkan untuk mencium tangan yang habis di gunakan untuk beristinja.

▪️ Kewajiban Mengendorkan Anggota Badan 

وَيَنبَغِي الاِستِرخَاءُ لِئَلَّا يَبقٰى أَثَرُهَا فِي تَضَاعِيفِ شَرَجِ المَقعَدَِة

  Dan di anjurkan untuk mengendurkan lobang dubur, agar bisa membersihkan secara maksimal pada lipatan lipatan atau kerutan yang ada sekitar lobang dubur. Hingga tak ada najis yang tersisa. Ghanys 

أو بثَلَاثِ مَسَحَاتٍ تَعُمُّ المَحَلَّ فِي كُلِّ مَرةٍ، مَعَ تَنقِيَّةٍ بِجَامِدٍ قَالِعٍ

  Atau bisa juga beristinja dengan tiga usapan yang tiap kali usapannya bisa meratai bagian yang akan di bersihkan, dengan menggunakan sesuatu yang keras dan bisa membersihkan, (seperti batu, tissue, dan semacamnya, serta bukan menggunakan sesuatu yang berharga, seperti ubi, tela, kue dan semacamnya).


▪️ Kesunahan-Kesunahan Dalam Istinja

وَيُندَبُ لداخل الخلاء أَن يُّقَدِّمَ يَسَارَهُ، وَيَمِينَهُ لِانصِرَافِهِ، بِعَكسِ المَسجِدِ. وَيُنَحِّيَ مَا عَلَيهِ مُعظَمٌ، مِن قُرآنٍ وَاِسمِ نَبِيٍّ أَو مَلَكٍ، وَلَو مُشتَرِكًا كَعَزِيزٍ وأحمد إن قُصِدَ به مُعظَمٌ

  Dan di sunahkan bagi orang yang akan masuk Wc, mandahulukan kaki kirinya. Dan sunah mendahulukan kaki kanan ketika keluar. Dan cara yang demikian adalah kebalikan daripada adab memasuki masjid.

  Dan sunah menyingkirkan atau tidak membawa sesuatu yang di agungkan ke dalam Wc, Seperti Al-qur'an, sesuatu yang bertuliskan nama nabi atau nama malaikat. Walau itu hanya sekedar nama persamaan dari nama-nama yang di agungkan, seperti 'Aziz dan Ahmad, bila memang itu di sengaja untuk meniru nama dari hal yang di agungkan.

وَيَسكُتَ حَالَ خُرُوجِ خَارِجٍ وَلَو عَن غَيرِ ذِكرٍ وَفِي غَيرِ حَالِ الخُرُوجِ عَن ذِكرٍ. وَيَبعُدَ وَيستَتِرَ. وَأَن لَا يَقضِيَ حَاجَتَهُ في مَاءٍ مُبَاحٍ رَاكِدٍ مَا لَم يَستَبحِرْ. وَمُتَحَدِّثِ غَيرِ مَملُوكٍ لِاَحَدٍ، وَطَرِيقٍ

  Dan di anjurkan agar tidak mengeluarkan suara ketika keluarnya tinja, walaupun suara yang bukan berupa dzikir, dan sunah tidak bersuara juga saat sedang tidak keluar tinja, walau berupa dzikir. (Intinya di makruhkan mengeluarkan suara, berbicara, apalagi jika berupa dzikir).

  Dan (jika buang air di arah-arah, maka) di sunahkan menjauh dari keramaian dan menjauh dari pandangan orang lain. Dan sunah membuat penutup dari pandangan orang lain.

 Dan di sunahkan agar jangan buang air di dalam air yang boleh di gunakan secara bebas, namun tidak mengalir. Selama air itu tidak di lokasi yang luas.

  Dan di sunahkan agar tidak buang air di tempat umum yang biasa di gunakan untuk kumpul-kumpul, yakni tempat yang bukan milik seseorang. Dan jangan buang air besar di jalanan.

وَقِيلَ: يَحرُمُ التَّغَوُّطُ فِيهَا. وَتَحتَ مُثمِرٍ بِمِلكِهِ، أو مَملُوكٍ عُلِمَ رِضَا مَالِكِهِ، وَإلَّا حَرُمَ

  Bahkan ada qaul yang mengatakan, haram hukumnya, buang air di tempat yang biasa di lalui orang.

  Dan makruh hukumnya jika buang air di bawah pohon yang biasa berbuah (dan di makan buahnya) walau miliknya sendiri. (atau pohon buah yang tak ada pemiliknya), Atau makruh jika buang air di bawah pohon buah milik orang lain, walau dengan izin atau di perbolehkan oleh pemiliknya. Dan jika tidak di perbolehkan oleh pemiliknya, maka hukumnya haram.

▪️ Tentang Buang Hajat Menghadap Kiblat

وَلَا يَستَقبِلَ عَينَ القِبلَةِ وَلَا يَستَدبِرَهَا، وَيَحرُمَانِ فِي غَيرِ المُعَدِّ وَحَيثُ لَا سَاتِرَ. فَلَو اِستَقبَلَهَا بِصَدرِهِ وَحَوَّلَ فَرجَهُ عَنهَا ثُم بَالَ، لَم يَضُرَّ، بِخِلَافِ عَكسِهِ. 

  Dan tidak boleh / makruh hukumnya, buang hajat dengan menghadap arah qiblat atau membelakanginya. (Ini apabila buang hajat di tempat yang sengaja di sediakan menghadap kiblat).

  Dan haram hukumnya buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya jika di alam bebas dan tanpa ada penutup yang menghalanginya.

  Dan apabila seseorang buang hajat menghadap kiblat dengan dada serta wajahnya, namun ketika akan kencing ia membelokkan kemaluannya ke arah lain, maka itu tidaklah bermasalah /tidak haram, Berbeda halnya jika sebaliknya, (yakni ketika kencing badannya di arahkan ke arah lain sedangkan kemaluannya di arahkan ke arah kiblat, maka yang demikian ini tetap haram hukumnya). 

وَلَا يَستَاكُ وَلَا يَبزُقُ فِي بَولِهّ

  Dan janganlah melakukan kegiatan bersiwak (sikat gigi) ketika sedang buang hajat, dan jangan meludah ke tempat jatuhnya air kencing.

▪️ Doa Masuk Wc

وَأن يَقُولَ عِندَ دُخُولِه

Dan sunah berdo'a ketika akan masuk Wc :

اللهم إني أعوذُ بِك مِن الخُبُثِ والخَبَائِثّ. — وَالخُرُوجّ

 "Ya Alloh aku berlindung padaMu dari gangguan syetan laki-laki dan perempuan."

Ketika keluar dari wc, sunah berdo'a :

غُفرُانَكَ، الحمد لله الذي أَذهَبَ عَني الاَذٰى وَعَافَانِي. — وَبَعدَ الاستنجاءِ

  "Aku mengharap ampunan-Mu, Ya Alloh. Segala puji bagi Alloh yang telah menghilangkan penyakit dari diriku dan telah memberiku kesehatan."

Dan ketika selesai bersuci dari buang air, sunah berdo'a :

اللهم طَهِّرۡ قَلبِي مّن النِّفَاقِ وَحَصِّنۡ فَرجِي مِن الفَوَاحِشِ

  "Ya Alloh sucikanlah hatiku dari sifat munafik. Dan jagalah kemaluanku dari perbuatan zina."

▪️ Saat Ragu Mencuci Kemaluan

قال البغوي: لَو شَكَّ بَعدَ الاّستِنجَاءِ هَل غَسَلَ ذَكَرَه لَم تلزَمۡهُ إِعَادَتُهُ

  Imam Baghowi mengatakan: "Apabila sesorang ragu ketika bersuci dari buang air, apakah ia sudah membasuh kemaluan atau belum saat bersuci tadi, maka tidak di haruskan mengulang membasuh dzakarnya kembali."[SII Group].

Share :

0 Response to "NAJIS YANG DI MA'FU (DI MAAFKAN)"

Posting Komentar