BENDA-BENDA NAJIS

 



•【 BENDA-BENDA NAJIS 】•


1. Tinja

وفِي المَجمُوعِ عن شيخ نَصَر: العَفوُ عَن بَولِ بَقَرٍ الدِّيَاسَةِ عَلى الحَبِّ. وَعَنِ الجُوَينِي: تَشدِيدُ النَّكِيرِِ عَلٰى البَحثِ عَنهُ وتَطهِيرِهِ

  Dan di sebutkan di dalam kitab majmu' dari Syaikh Nashori, Bahwa tinja (kencing) dari sapi yang biasa di gunakan untuk penggilingan .Dan jatuh menciprati biji-bijian yang sedang di gilingnya itu di ma'fu. Dan di riwayatkan dari Syaikh Juwaini ,bahwa beliau sangatlah ingkar dari membahas masalah kencing sapi yang jatuh di penggilingan dan tentang masalah suci atau tidaknya biji-bijian yang sedang di gilingnya. (Di karenakan itu adalah sesuatu yang amat sangat sulit untuk di jaga. Jadi tidak perlu di bahas. Namun anggaplah itu suci dan di maafkan). —Syarah.

وبَحَثَ الفَزاري العَفوَ عَن بَعۡرِ الفأرَةِ إذا وَقعَ فِي مَائِعٍ وَعَمَّتۡ البَلوٰى بِهِ

  Dan Syaikh Fazari membahas bahwa kotoran tikus yang sudah kering itu di ma'fu, bila jatuh di cairan yang selain air. Alasannya karena hal seperti itu seringkali terjadi (dan sulit untuk menjaganya).

2. Air Kemih

وَأمَّا مَا يُوجَدُ علٰى وَرَقِ بَعضِ الشّجرِ كالرَّغوَةِ فَنَجِسٌ، لِانَّهُ يَخرُجُ مِن بَاطِنِ بَعضِ الدِّيدَانِ، كَمَا شُوهِدَ ذلكَ وَلَيسَ العَنبَرُ رَوثًا، خِلَافًا لِمَن زَعَمَهُ، بَلۡ هُوَ نَباتٌ في البَحرِ

  Adapun sesuatu yang ada di sebagian dedaunan yang seperti gumpalan kecil, maka itu najis hukumnya. Karena itu keluar dari perut sebagian ulat. Sebagaimana sering kita lihat. Dan sesuatu yang berbau harum (ambar), itu bukanlah kotoran binatang, (yakni kotoran ikan paus). Namun ini menyelisihi pendapat yang menyangka itu adalah kotoran ikan paus. Tapi sebenarnya adalah sesuatu yang tumbuh di laut.

3. Madzi

وَمذِي) بمعجمة، لِلاَمرِ بِغَسلِ الذَّكَرِ مِنهُ، وهوَ مَاءٌ أَبيَضُ أو أَصفَرُ رَقِيقٌ، يَخرُجُ غَالِبًا عِندَ ثَورَانِ الشَّهوَةِ بِغَيرِ شَهوَةٍ قَوِيّةٍ

  Dan termasuk najis adalah, Madzi. (lafadz madzi itu dengan dzal yang ada satu titik di atasnya), Alasannya karena ada perintah nabi agar membasuh dzakar ketika keluar madzi.
 Madzi itu adalah cairan yang berwarna putih atau kuning. Yang biasanya akan keluar ketika shahwat bangkit namun tidak begitu kuat. (Atau syahwat timbul cukup kuat lalu melemah lagi).

4. Wadi

وَوَدِيٍّ) بِمُهمَلَةٍ، وَهُوَ مَاءٌ أبيَضُ كَدَرٌ ثَخِينٌ، يَخرُجُ غَالِبًا عَقِبَ البَولِ أو عِندَ حَملِ شَئٍ ثقِيلٍ

  Dan termasuk najis adalah, Wadi. (Lafadz wadi ini menggunakan huruf dal yang tanpa titik). Yaitu cairan berwarna putih yang keruh dan sedikit kental. Dan biasanya akan keluar ketika sehabis kencing, atau ketika mengangkat sesuatu yang berat.

5. Darah

وَدمٍ) حَتّٰى مَا بَقِيَ علٰى نَحوِ عَظمٍ، لَكِنَّهُ مَعفُوٌّ عنهُ. واستثۡنَوا مِنهُ الكبِدَ والطِّحَالَ والمِسكَ، أي وَلَو مِن مَيتٍ، إن انعَقَدَ. والعَلقَةَ والمُضغَةَ، وَلَبَنًا خرجَ بِلَونِ دَمٍ، وَدَمَّ بَيضَةٍ لم تَفسُدْ

  Dan termasuk najis adalah, seperti halnya darah, hingga darah yang merekat di tulang . Akan tetapi darah yang demikian ini di ma'fu hukumnya. Dan para ulama mengecualikan perihal darah yang najis. Adanya gumpalan darah yang di sebut hati, limpa, misik, walaupun dari menjangan yang menjadi bangkai. Itu apabila bisa menjadi misik yang kental.

  Dan juga segumpal darah dari bakal janin, dan yang sudah berubah menjadi segumpal daging. Dan mengecualikan juga pada susu yang keluar dengan wujud darah. Dan darah yang ada pada telor yang belum rusak. (yakni darah di dalam telur yang di duga kuat bahwa itu akan menetas), Maka semua itu suci hukumnya.

6. Nanah

وقَيحٍ) لِانَّهُ دَمٌّ مُستَحِيلٌ، وَصَدِيدٍ: وَهُوَ مَاءٌ رَقِيقٌ يُخالِطُهُ دَمٌّ

  Dan termasuk najis adalah, seperti halnya nanah, karena nanah itu asalnya dari darah yang telah berubah. Dan seperti nanah wuk, yaitu cairan nanah yang belum mengental yang bercampur darah.

7. Air Koreng Dan Sesamanya

وَكذا مَاءُ جُرُحٍ. وجُدرِي ونَفَطٍ إن تغير، وإلا فماؤُها طَاهِرٌ

  Dan demikian juga termasuk najis adalah, seperti halnya air yang keluar dari luka (yakni darah putih). Air yang ada di penyakit cacar, Dan air yang ada di dalam kulit yang melepuh apabila air-air sudah berubah warnanya. Tetapi kalau belum, maka air dari luka, cacar, lepuhan kulit itu suci hukumnya, (Sama seperti air keringat).

8. Muntahan Dari Perut

وَقئِ مَعۡدّةٍ) وَإن لَمۡ يَتَغَيَّرۡ، وَهُوَ الرَّاجعُ بَعدَ الوُصُولِ لِلمَعدَةِ ولو ماءً، أمَّا الرَّاجِعُ قَبلَ الوُصُولِ إليهَا يَقينًا أو اِحتِمالًا فَلاَ يَكُونُ نَجِسًا وَلا مُتَنَجِّسًا، خلافا للقُفال

  Dan termasuk najis adalah, seperti halnya muntahan yang keluar dari perut, Walaupun masih utuh dan tidak berubah. Muntahan yang najis hukumnya adalah makanan yang awalnya sudah masuk ke lambung, lalu keluar lagi, Walaupun itu berupa air.

  Adapun makanan yang tertelan dan baru masuk sampai tenggorokan lalu keluar lagi, baik secara yakin atau hanya perkiraan saja, maka itu tidak najis hukumnya, dan tidak pula di sebut mutanajis, (sesuatu yang terkena najis). Namun dalam hal ini, syeh Qufal berbeda pendapat.

وأفتٰى شيخُنا أن الصَّبِيَّ إِذا اُبتُلِيَ بِتتَابُعِ القَيءِ عُفِيَ عَن ثَديِ أُمِّهِ الدَّاخِلِ فِي فِيهِ، لا عَن مَقَبِّلِهِ أو مُماسِهِ

  Dan guru kami memberi fatwa tentang anak kecil yang terus menerus muntah (yang mana mulutnya belepotan najis), namun di maafkan apabila ibunya memasukkan puting susunya ke dalam mulutnya. Tetapi tidak di maafkan (di larang) bila sengaja mencium mulut si anak yang habis muntah-muntah, dan di larang pula bila sengaja menyentuhnya, (Yakni kecuali bertujuan untuk membasuh dan membersihkannya).

9. Air Empedu Atau Air Susu Binatang Yang Haram Dimakan Dagingnya

وكَمَرَّةٍ ولَبَنِ غَيرِ مَأكُولٍ إلا الآدَمِيَ، وجُرَّةِ نَحوِ بَعِيرٍ

  Dan termasuk najis adalah, Seperti halnya empedu, susu dari binatang yang haram di makan (itu juga najis) kecuali susu manusia, (yakni walaupun manusia haram di makan, dan walaupun sebagai makhluk yang paling buas, namun air susunya tetap suci hukumnya), Dan termasuk najis juga , makanan yang di keluarkan dari perut semisal unta, lalu di kunyah lagi. (jawa: gayeman).

▪️ Benda Cair Yang Termasuk Suci Dan Najis Hukumnya

أمَّا المَنِيُّ فَطَاهِرٌ، خِلَافًا لِمَالِكٍ. وَكَذَا بُلغَمٌ غَيرُ مَعدَةٍ مِن رَأسٍ أو صَدۡرٍ وَمَاءُ سَائِلٍ مِن فَمِ نَائِمٍ، ولَو نَتنًا أو أَصفَرَ، مَا لَم يُتَحَقَّق أنهُ من مَعدَةٍ، إلَّا مِمَّن اُبتُلِي بِهِ فيُعفٰى عَنهُ وَإن كَثُرَ

  Adapun mani, maka itu suci hukumnya, Berbedha dengan pendapat imam malik. Dan termasuk najis adalah cairan lendir yang bukan bersumber dari selain bagian kepala atau dada. (Kalau cairan lendir dari orang pilek atau batuk misalnya, maka itu suci hukumnya. Karena itu sumbernya dari kepala dan dada).

  Dan termasuk suci hukumnya, cairan yang keluar dari mulutnya orang yang tidur (jawa: iler), Walaupun berbau busuk atau berwarna kuning, Selama itu tidak di nyatakan bahwa itu sumbernya dari dalam perut.

(Kalau sumbernya dari perut maka itu najis hukumnya. Dan cairan iler yang sumbernya dari perut, itu biasanya akan keluar jika saat tidur posisi kepala lebih rendah daripada perut).

  Kecuali dari orang yang berkebiasaan tukang ngiler saat tidur. Maka iler tersebut di ma'fu hukumnya apabila mengenai baju dll. Demikian juga, orang yang di coba dengan gampang muntah, maka bila muntahannya menciprat pada baju, itu di ma'fu.

وَرُطُوبَةُ فَرجٍ، أي قُبلٍ عَلٰى الاَصَحِّ. وَهِي مَاءٌ أَبيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَينَ المذي والعِرقِ، يَخرُجُ مِن بَاطِنِ الفَرجِ الذي لَا يَجِبُ غَسلُهُ، بِخِلَافِ مَا يَخرُجُ مِمَّا يَجِبُ غَسلُهُ فَإِنَّهُ طَاهِرٌ قَطعًا، وَمَا يَخرُجُ مِن وَرَاءِ بَاطِنِ الفَرجِ فَإنهُ نَجِسٌ قَطعًا، كَكُلّ خَارِجٍ مِن البَاطِنِ، وكالماءِ الخارجِ مَع الوَلَدِ أو قبلهُ، ولَا فَرقَ بَينَ اِنفِصَالِهَا وَعَدَمِهِ على المُعتَمَدِ
 
  Dan demikian juga (termasuk suci hukumnya) basah-basah (keputihan) yang ada di farji wanita. Ini menurut pendapat yang lebih shohih. (Artinya ada sebagian pendapat yang menyatakan cairan tersebut najis),

  Yaitu cairan yang bening yang wujudnya di antara seperti madzi dan seperti keringat, Dan keluarnya dari bagian dalam farji, yakni bagian dalam farji (yang bisa di jangkau oleh dzakarnya orang yang menjima'), yang tidak wajib di basuh ketika mandi wajib.

  Beda halnya bila cairannya keluar dari bagian farji yang wajib di basuh saat mandi wajib. Maka ini di pastikan suci hukumnya.

  Adapun cairan yang keluar dari bagian dalam di belakang farji (yakni bagian dalam farji yang tidak  terjangkau oleh dzakar) maka itu sudah pasti najis hukumnya. Seperti segala sesuatu yang keluar dari bagian dalam tubuh, (yakni yang selain mani), Dan seperti halnya cairan yang keluar bersama bayi atau sebelum bayi (jawa: air ketuban).

  Dan dalam masalah basah-basah (keputihan) yang keluar dari dalam farji yang bisa di jangkau oleh dzakar, itu tidak ada bedanya antara yang keluar secara tidak terus menerus atau yang secara terus-terusan tiap hari, Ini menurut qaul yang muktamad.

قال بعضهم: الفَرۡقُ بينَ الرُّطُوبَةِ الطَّاهِرَةِ والنَّجَسَةِ الۡاِتِّصَالُ وَالاِنفِصَالُ. فَلَو اِنفَصَلَت، فَفِي الكِفَايَةِ عَنِ الاِمَامِ أنها نَجَسَةٌ

  Sebagian ulama mengatakan terkait basah-basah (keputihan) yang keluar dari dalam farji: "Perbedaan antara basah-basah (keputihan) dari farji yang suci hukumnya dan yang najis hukumnya adalah: Sambung menyambung atau pisah-pisah, (yakni kadang keluar kadang tidak).

  Maka apabila keluarnya secara terpisah-pisah waktunya, menurut penjelasan di dalam kitab "Kifayah" dari qaulnya imam Haromain, maka itu najis hukumnya. (Namun menurut penjelasan sebelumnya ,dan merupakan qaul yang muktamad, ini adalah mutlak, baik terpisah waktu keluarnya atau tidak, tetap suci hukumnya.

وَلَا يَجِبُ غَسلُ ذَكَرِ المُجامِعِ والبِيضِ والوَلَدِ. وَأفتٰى شَيخُنا بِالعَفوِ عَن رُطُوبَةِ البَاسُورِ لِمُبتَلٰى بِهَا، وَكَذا بِيضُ غَيرِ مَأكُولٍ، وَيَحِلُّ أكلُهُ على الاصحِ. وشَعرُ مَأكُولٍ ورَيشُهُ إذا أُبيَنُ فِي حَيَاتِهِ

  Dan tidaklah wajib membasuh dzakar bagi orang yang habis berjima'. Dan tidak wajib pula membasuh telor yang masih basah karena baru keluar, dan tidak wajib pula membasuh bayi yang baru lahir.

  Dan guru kami memberi fatwa bahwa basah-basah yang keluar dari dubur yang sakit ambeyen, yakni bagi orang yang terkena sakit seperti itu. (Seperti rembesan darah, dll), itu adalah najis yang ma'fu.

  Demikian juga tidak di hukumi najis, basah-basah pada telor, walau dari binatang yang tidak halal di makan. Bahkan di halalkan hukumnya memakan telor tersebut. Menurut pendapat yang lebih shohih.

  Dan demikian juga (suci hukumnya) bulu dari hewan yang halal di makan, dan bulu halus dari hewan tersebut. Ini apabila di ketahui secara jelas bahwa hewan pemilik itu masih hidup. (Atau sudah mati, namun sebab di sembelih secara syar'i).

وَلَو شَكَّ فِي شَعرٍ أَو نَحوِهِ، أَهُوَ مِن مَأكُولٍ أو غَيرِهِ ؟ أو هَل اِنفَصَلَ مِن حَيٍّ أو مَيِّتٍ ؟ فَهُوَ طَاهِرٌ، وَقِياسُهُ أَنَّ العَظمَ كَذٰلِكَ

  Dan jika seseorang ragu dalam masalah bulu atau semisalnya, apakah bulu itu berasal dari hewan yang bisa di makan atau dari hewan yang haram di makan. Atau ragu apakah berasal dari hewan yang masih hidup atau yang sudah jadi bangkai, Maka bulu tersebut tetap suci hukumnya.

  Dan qiyas dari pendapat ini adalah, bahwa dalam hal tulang juga demikian, yakni tetap suci hukumnya bila tidak di ketahui asal muasalnya.

وَبِه صَرَحَ فِي الجَواهِرِ. وَبِيضُ الۡمَيتَةِ إن تَصَلّبَ طَاهِرٌ وَإلَّا فنَجِسٌ. وَسُؤُرُ كُلِّ حَيَوانٍ طَاهِرٍ طَاهِرٌ، فَلَو تَنَجّسَ فَمُهُ ثُمَّ وَلَغَ فِي مَاءٍ قَلِيلٍ أو مَائِعٍ، فَإنۡ كَانَ بَعدَ غَيبَةٍ يَمكُنُ فِيهَا طَهَارَتُهُ بِوُلُوغِهِ فِي مَاءٍ كَثِيرٍ أو جَارٍ لَم يَنجِسۡهُ وَلَو هِرًّا وَإلَّا نَجَسَهُ

  Dan perihal bulu atau tulang yang tidak di ketahui secara pasti itu suci hukumnya, itu di jelaskan di dalam kitab Jawahir.

  Dan sisa air yang telah di minum oleh binatang yang suci hukumnya, itu suci. Dan seandainya ada binatang yang mulutnya terkena najis (seperti sisa darah, dll), kemudian ia menjilat air yang berukuran sedikit atau menjilat cairan selain air ini, maka ada dua perincian:

- Pertama: jika ia menjilat airnya sehabis ia pergi yang memungkinkan mulutnya menjadi suci karena menjilatkan lidahnya pada air berukuran banyak, atau menjilat air yang mengalir, maka jilatannya tidak menjadikan air yang sedikit itu menjadi najis.

- Kedua: jika tidak ada kemungkinan ia pergi dan menjilat air banyak hingga di yakinkan mulutnya telah kembali suci, maka jilatannya pada air sedikit itu menjadikan air itu menjadi najis. 

▪️ Beberapa Najis Yang Dima'fu

قال شَيخُنَا - كالسُّيُوطِي، تَبَعًا لِبَعضِ المُتَأخِّرِينَ - إنَّهُ يُعفٰى عَن يَسِيرٍ عُرفًا، مِن شَعرِ نجس مِن غَيرِ مُغَلَّظٍ، وَمِن دُخَانِ نَجَاسَةٍ، وَمَا عَلٰى رِجلِ ذُبَابٍ، وَإِن رُؤيٰ، وَمَا عَلٰی مَنفَذِ غَيرِ آدَمِیٍّ مِمَّا خَرَجَ مِنهُ وُذَرقِ طَيرٍ وَمَا عَلٰی فَمِهِ وَرَوثِ مَا نَشۡؤُهُ مِنَ المَاءِ اُو بَينَ اَورَاقِ شَجَرِ النَّارَحِيلِ التی تَستُرُ بِهَا البُيُوتُ عَنِ المَطَرِ حَيثُ يَعسُرُ صَونُ المَاءِ عَنهُ

  Telah berkata, guru kami, seperti halnya beliau Syaikh Suyuti, karena beliau mengikuti pendapat sebagian ulama akhir, Bahwa sesungguhnya bulu dari hewan yang najis (yang menempel pada kain, dll), itu di ma'fu apabila jumlahnya sedikit. Itu apabila bukan bulu dari hewan yang najis mugholadzhoh, Dan di ma'fu juga asap yang berasal dari pembakaran barang najis.

  Dan sesuatu yang ada pada kaki lalat yang di bawa hinggap di makanan misalnya, walaupun itu ketahuan najisnya. (Seperti jelas-jelas tahu lalat tadi hinggap di najis lalu hinggap di pakaian atau yang lainnya. Ini tetap di ma'fu hukumnya).

  Dan di ma'fu juga, najis yang jatuh dari lubang saluran tubuh dari binatang, yakni selain dari manusia. Dan di ma'fu juga kotoran /najis yang jatuh dari burung dan kotoran najis yang ada di paruhnya. (Yakni apabila mengenai baju dll misalnya), Dan di ma'fu juga kotoran (najis) yang berasal dari hewan di dalam air.

  Atau juga air yang jatuh dari daun kelapa (atau yang lainnya) yang di buat untuk di jadikan atap rumah. Itu sekiranya sulit untuk menjaga dari tetesan air bocoran dari atap tersebut. (Yang mana banyak kemungkinan ada kotoran serangga yang menyelip di atap tersebut).

قال جَمعٌ وَكَذَا مَا تَلقِيهِ الفَيرانُ مِنَ الرَّوثِ فِی خِيَاضِ الاَخلِيَّۃِ اِذَا عَمَّ الابتِلاءُ بِهِ . وَيُؤَيِّدُهُ بَحثُ الفَزَاری وَشَرطُ ذٰلِكَ كُلِّهِ اِذَا كَانَ فِی المَاءِ اِن لَا يُغَيِّرُهُ. انتهی

 Segolongan ulama mengatakan: "Demikian juga di ma'fu, kalau ada kotoran tikus yang jatuh di bak air di dalam toilet atau kamar mandi, apabila memang seringkali terjadi dan sulit menjaganya. Dan hal ini di kukuhkan pembahasannya oleh Syaikh Al-Fazari, dan beliau mengatakan: "Syarat di ma'funya kotoran tikus dan lain-lain, itu apabila jatuhnya di dalam air. Dan tidak merubah kemurnian dan kejernihan air." demikian tutur beliau.

والزُّبَادُ طَاهِرٌ وَيُعفٰی عَن قَلِيلِ شَعرِهِ كَالثَّلَاثِ. كَذَا اَطلَقُوهُ وَلَم يُبَيِّنُوا اَنَّ المُرادَ القَلِيلُ فِی المَأخُوذِ لِلاِستعمَالِ اَو فِی الانَاءِ المَأخُوذِ منه

  Zubad itu suci hukumnya, (zubad sebagaimana di sebutkan dalam kitab At-tuhfah adalah susu dari binatang laut yang halal di makan. Dan demikian di sebutkan dalam kitab Al-hawy. Aromanya harum seperti misik warnanya putih seperti susu. Dan itu suci hukumnya. Atau ada juga yang mengatakan air keringat dari sejenis musang ). —Syarah. 

 Maka di ma'fu apabila ada sedikit rambut yang rontok bersama keringat musang tersebut, Seperti tiga helai misalnya. Dan hal ini mutlak menurut para ulama. Namun mereka tidak menjelaskan tentang yang di maksud dari zubad yang sedikitnya zubad yang di ambill dan akan di gunakan, atau sedikitnya zubad yang ada di dalam wadah.
  
قال شيخُنَا والذی يَتَجِهُ الاَوَّلُ اِن كَانَ جَامِدٌا لِاَنَّ العِبرَۃَ فِيهِ بِمَحَلِّ النَّجَاسَۃِ فَقَطُّ فَاِن كَثُرَت فِی محَلٍ وَاحِدٍ لَم يُعفَ عَنه وَاِلّا عُفِیَ . بِخِلافِ المَاءِعِ فَاِنَّ جَمِيعَهُ كَالشَّيءِ الوَاحِدِ فَاِن قَلَّ الشَّعرُ فِيهِ فِيهِ عُفِیَ عَنهُ واِلَّا فَلَا.وٰلَا نَظرَ لِلمَأخُوذِ حِينَءِذٍ

Guru kami berkata: "Yang di maksud menurut keterangan yang tepat adalah, yang awal. Itupun jika zubad yang bercampur dengan rambut itu sudah membeku dan menjadi keras. Karena yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah keras atau tidaknya benda yang terkena najis.

(Sebagaimana hadits yang menjelaskan tentang kotoran tikus yang jatuh pada minyak mentega, yang mana Nabi menyuruh "ambil dan buanglah mentega yang di sekitar kotoran tersebut. Jangan di buang semuanya"). —Syarah.

  Dan bila bulu yang ada berkumpul di satu tempat dari zubad beku yang di ambil maka itu tidak di ma'fu. Tapi bila bulunya tidak ikut terambil maka ini di ma'fu.

  Berbeda halnya bila zubad yang ada itu masih cair, karena semua benda cair yang selain air itu sama saja dengan sesuatu yang menyatu. Maka apabila rambut yang ada di zubad cair itu sedikit, itu di ma'fu. Bila banyak ,tidak di ma'fu. Dan jika demikian halnya maka dalam hal ini tidak membahas banyak atau sedikit zubad yang di ambil.
  
ونَقَلَ المجب الطبرَی عن ابن الصِّباغِ واعتَمَدَهُ اَنُّه يُعفٰی عَن جُرَّۃِ البَعِيرِ وَنحوِهِ فَلَا يَتَنجَّسُ مَا شَرَبَ منه وَاُلحِقَ بِهِ فَمُّ مَا يُجتَرَ من وَلَدِ البَقَرَۃِ والضَّأنِ اِذَا التَقَمَ اَخلَافَ اُمِّهِ

 Dan Syaikh Mujib At-thabro menuqilkan dari Syaikh Ibnu As-Shibagh. Dan pendapat ini bisa di jadikan sandaran (qaul yang muktamad). Bahwa makanan yang di kunyah ulang oleh sebangsa unta dan lain-lain, itu di ma'fu. Maka bila ada air yang di minum oleh unta yang habis mengunyah ulang, maka sisa air yang ada tidaklah najis.(walau sebenarnya mulutnya habis mengunyah ulang makanan yang di hukumi najis).

  Dan hal ini di samakan dengan mulut anak sapi atau kambing yang habis mengunyah ulang, lalu ia menetek pada puting susu induknya. Maka puting susu itu tidak mutanajis hukumnya.

قال ابن الصلاح يُعفٰی عَمَّا اِتَّصَلَ بِهِ شَيءٌ من اَفواهِ الصِّبيَانِ مَعَ تَحَقُّقِ نَجَاسَتِهَا وَاَلحَقَ غَيرُهُ بِهم افواهَ المجانِينَ وَجَزَم به الزَّركَسِی

  Ibnu Sholah berkata: "Di ma'fu hukumnya sesuatu yang di tetek atau di telan oleh mulut anak kecil. Sedangkan nyata-nyata mulutnya itu terkena najis (karena habis muntah misalnya dan belum di bersihkan).

  Dan selain dari ibnu Sholah bahkan menyamakan mulut bayi yang najis ini dengan mulutnya orang-orang gila (yang tidak mengenal najis). Dan pendapat ini di kukuhkan oleh Syaikh Zarkasyi

10. Bangkai

وَكَمَيتَۃٍ) وَلَو نَحوَ ذُبَابٍ مِمَّا لَا نَفسَ لَهُ سَاءِلَۃٌ خِلَافًا لِلقَفَّالِ وَمن تَبَعَهُ فِی قَولِهِ بِطَهَارَتِهِ لِعَدمِ الدَّمِّ المُتَعَفِّنِ كَمالِكٍ وابی حَنيفَۃَ

  Dan termasuk najis adalah, seperti halnya bangkai, walau bangkai semisal lalat, yakni serangga yang tidak ada darah merah yang mengalir dalam tubuhnya. Namun ini menyelisihi pendapat imam Qoffal dan ulama pengikutnya, Yang mana beliau mengatakan bahwa bangkai serangga sejenis lalat itu suci hukumnya. Alasannya tidak ada darah merah yang bisa menimbulkan bau busuk ketika menjadi bangkai. Demikian juga menurut imam Malik dan Abu Hanifah.

فَالمَيتَۃُ نَجاسَۃٌ وَاِن لم يَسِلۡ دَمُّهَا وَكَذَا شَعرُهَا وَعَظمُهَا وَقَرنُهَا خِلَافًا لِاَبِی حَنِيفَۃَ اِذْا لَم يَكُن عَلَيهَا دَسمٌ . وَافتٰی الحَافِظ ابن حَجر العسقَالَانِی بِصِحَّۃِ الصلاۃِ اِذَا حَمَلَ المُصَلِّی مَيتَۃَ ذُبَابٍ اِن كَانَ فِی مَحَلٍّ يَشُقُّ الاحتِرازُ عَنهُ

 Yang namanya bangkai, semua najis hukumnya. Walaupun bangkai dari hewan yang tidak berdarah merah. Demikian juga bulunya, tulangnya, dan tanduknya. Namun tidak demikian menurut imam Abu Hanifah yang mengatakan, "Tidak najis hukumnya apabila bangkai dari binatang yang tidak memiliki lemak".

  Beliau Al-Hafidz Syaikh Ibnu Hajar Al-'Asqolani yang mengatakan bahwa, Ketika orang yang sholat membawa bangkai lalat, maka sah sholatnya. Demikian itu apabila ia berada di tempat yang sulit untuk menjaga dari tebaran lalat atau bangkai lalat.

غَيرِ بَشَرٍ وَسَمَكٍ وَجَرادٍ ) لِحِلِّ تَنَاوُلِ الاٰخِرَينِ. وَاَمَّا اَلادَمِیُّ فَلِقَولِهِ تَعالٰی ﴿وَلَقَد كَرَّمنَا بَنِی آدَم ﴾ وَقَضِيُّۃُ التَّكرِيمِ اَن لَايُحكَمُ بِنَجَاسَتِهِم بِالمَوتِ

 Yakni selain bangkai manusia (bangkai jin dan malaikat), ikan (hewan yang hidup di dalam air) dan belalang. Karena di halalkannya mendapatkan dan memakan bangkai dari ikan dan belalang.

  Adapun perihal bangkai manusia itu tidak najis hukumnya, karena berdasarkan dalil dari firman Alloh yang mengatakan: (Dan sungguh telah kami muliakan anak cucu Adam) Dan dari ketentuan memuliakan inilah, bangkai manusia tidak di hukumi najis.

▪️ Keterangan:

  Bangkai manusia baik yang muslim atau bukan semua suci hukumnya. Adapun firman Alloh yang menyatakan:

انماالمشركون نَجَسٌ

  "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis"

 Yang di maksud dari ayat ini adalah najis secara i'tiqod, yakni i'tiqod mereka itu laksana najis dalam hal wajib di jauhi.

  Adapun sabda Rosululloh yang mengatakan:

لاتنَجِسُوا مَوتَاكُم فان المسلم لاينجِسُ حيا ولامَيتًا

  "Janganlah orang yang mati dari kalian itu di hukumi najis, karena seorang muslim itu tidak lah najis, hidup maupun matinya."

  Maka hadits ini bersifat untuk umum, karena tidak ada kalimat yang menjelaskan dengan secara khusus.

 Namun kalau menurut imam Malik dan Abu Hanifah, bangkai manusia itu najis, kecuali bangkainya para nabi, dan para syuhada. Dan akan menjadi suci ketika di mandikan. — Syarah.

وَغَيرِ صَيدٍ لَم تُدرَك ذُكَاتُهُ، وَجَنِينِ مُذَكَاةٍ مَاتَ بِذُكاتِها

  Dan selain bangkai binatang buruan yang tidak ada di temukan bekas sembelihan di lehernya (ini juga suci dan halal hukumnya, asalkan ada luka dari senjata si pemburu atau anjing si pemburu).

(Berdasarkan hadits Bukhori Muslim: "Ketika kamu lepaskan anjing pemburumu dan kamu mengucap bismillah. Lalu anjing itu hanya membunuh buruan tanpa memakannya, maka makanlah buruan itu. Tapi bila ia memakannya janganlah kau makan daging buruan itu. Seandainyapun anjing itu menyisakannya ,itu adalah untuk dirinya sendiri). —Syarah.

  Dan suci hukumnya, janin yang ikut mati dalam kandungan karena induknya mati di sembelih, (Tapi jika ketika di ambil janin itu masih bisa hidup secara jelas-jelas hidup. Lalu baru menyusul mati, maka janin itu najis hukumnya. Karena kematiannya bukan karena di sembelih). —Syarah

وَيَحِلُّ أكۡلُ دُودِ مَأكُولٍ مَعَهُ، وَلا يَجِبُ غَسلُ نَحوِ الفَمِّ مِنهُ. وَنُقِلَ فِي الجَواهِرِ عَنِ الاصۡحَابِ: لَا يَجُوزُ أكلُ سَمَكٍ مُلِحَ وَلَم يُنزَعۡ مَا فِي جَوفِهِ، أي مِنَ المُستَقذِرَاتِ. وظَاهِرُه: لَا فَرقَ بَينَ كَبِيرِهِ وَصَغِيرِهِ. لَكِن ذَكَرَ الشَّيخَان جَوَازَ أكًًلِ الصَّغِيرِ مَعَ مَا فِي جَوفِهِ لِعُسرِ تَنقِيَّةِ مَا فِيهِ

  Dan halal hukumnya memakan ulat yang ikut terkunyah beserta makanan (seperti ulat yang termakan bersama buah. Yang secara hukum ulat itu haram hukumnya, dan najis pula bangkainya, Alasannya karena sulit (ribet) memisahkan dari buah yang akan di makan. Dan tidak wajib membasuh mulut ketika habis makan buah beserta ulatnya.

  Dan di nuqil dari kitab Jawahir dari para ulama Syafi'iyyah, Bahwa tidak di bolehkan memakan ikan asin yang tidak di bersihkan odol yang ada di dalam perutnya, yakni kotoran dari ikan tersebut. Dan pendapat ini mengartikan bahwa tidak ada beda antara ikan yang besar dan yang kecil.

  Akan tetapi imam Bukhori dan Muslim menuturkan tentang di bolehkannya memakan ikan asin yang kecil-kecil walau tanpa di bersihkan perutnya lebih dahulu, Alasannya, banyak kesulitan untuk membersihkan perut ikan-ikan kecil satu persatu.

11. Barang Cair Yang Memabukkan

وكَمُسكِرٍ) أي صالح للاِسكَارِ، فَدَخَلَت القِطرَةِ مِنَ المُسكِرِ. (مَائِعٍ) كَخمۡرٍ، وهي المُتَّخَذَةُ من العِنَبِ، ونَبِيذٍ، وهو المُتَّخَذُ مِن غَيرِهِ. وَخَرَجَ بِالمَائِعِ نَحوُ البَنجِ وَالحَشِيشِ

  Dan termasuk najis adalah, seperti halnya sesuatu yang memabukkan, yakni yang biasanya memabukkan. Dan walau satu tetes itu najis. Yang di maksud najis dari "kulli muskirin" dalam hal ini adalah yang berupa cairan. Seperti khomer. Dan khomer ini terbuat dari bahan buah anggur. Dan seperti halnya arak yakni minuman keras di buat dari selain anggur. Dan dari ungkapan yang mengatakan, muskirin yang berupa cairan, ini bereda halnya dengan yang berupa dedaunan, Seperti kecubung dan ganja.

▪️ Arak Yang Menjadi Cuka
  
وَتطۡهُرُ خَمرٌ تَخَلَّلَت بِنَفسِهَا مِن غَيرِ مُصَاحِبَةٍ عَينٍ أجۡنَبِيَّةٍ لها وَإن لَم تُؤثِرْ فِي التَّخۡلِيل كَحَصَاةٍ. وَيَتبَعُهَا فِي الطّهَارَةِ الدَّنُّ، وَإِن تَشَرَّبَ مِنهَا أو غَلَّتۡ فِيهِ وَارتَفَعَتۡ بِسَبَبِ الغِليَانِ ثُمَّ نَزَلَت، أما إذا اِرتَفَعَت بِلا غِليَانٍ بَل بِفِعلِ فَاعِلٍ فَلَا تَطهُرُ، وَإن غَمَرَ المُرتَفِعُ قَبلَ جَفَافِهِ أو بَعدَهُ بِخَمرٍ أخۡرٰى - على الاوۡجُهِ. كَما جَزَمَ بِهِ شَيخُنَا

  Dan khomer itu bisa berubah menjadi suci ketika berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Yakni tanpa di campuri oleh sesuatu yang lain, walaupun sesuatu yang dicampurkan itu tidak berdampak dalam proses perubahannya, seperti di masuki batu kerikil misalnya.

  Dan wadah yang di gunakan juga ikut menjadi suci ketika khomer sudah menjadi cuka, walapun wadah tersebut terbuat dari bahan yang bisa menyerap khomer. Dan walaupun khomer itu mendidih /meluap dan luapannya memenuhi wadah karenanya. Kemudian khomer itu turun / mengendap lagi. (maka wadah dan bagian tutup wadah yang terkena luapan busa khomer tetap suci hukumnya).

  Adapun ketika khomer itu meluap tanpa mendidih. Namun sebab ada seseorang yang melakukannya (seperti di kocok) hingga meluap, maka khomer dan juga wadahnya  tidak bisa menjadi suci hukumnya, walaupun di tambahkan lagi khomer yang baru pada khomer yang sedang proses meluap, karena di kocok. Dan penambahan ini di lakukan sebelum wadahnya menjadi kering, atau di tambahkannya sesudah khomer mengendap dan wadah sudah menjadi kering. (Tetap saja khomer berikut wadahnya tetap najis hukumnya, Alasannya karena proses perubahan itu sebab ada campur tangan orang yang mengocoknya).

وَالّذِي اِعتَمدَهِ شيخِنا المِحَقِّقُ عَبدُ الرَّحمٰن بِن زِيَادٍ أَنَّها تَطهُر إّن غَمَرَ المُرتَفع قَبلَ الجَفاف لا بعده

  Tapi pendapat yang di jadikan sandaran oleh guru kami, beliau Syaikh Abdurrahman bin Ziyad yang merupakan ulama peneliti bahwa khomer dan wadahnya itu bisa suci apabila khomer yang sedang proses meluap itu di tambahkan khomer yang baru sebelum mengendap dan sebelum wadah menjadi kering. Bukan di tambahkan sesudah mengendap dan bagian atas wadah menjadi kering.

ثم قال: لَو صُبَّ خَمرٌ فِي إناءٍ ثُمَّ أُخرِجَت مِنهُ، وَصُبَّ فِيهِ خَمرٌ أخرٰى بَعدَ جَفَافِ الاِنَاءِ وَقَبلَ غَسلِهِ لَم تَطهُر، وَإن تَخَلَّلَت بَعدَ نَقلِهَا مِنهِ فِي إِناءٍ آُخرٰ. انتهى

 Dan beliau mengatakan: "Seandainya khomer yang dituangkan di sebuah wadah, lalu khomer itu di angkat dari wadah tersebut, lalu di tuangkan lagi khomer yang lain sesudah wadah mengering namun belum di cuci dengan air. Maka khomer yang di masukkan itu tidak bisa menjadi suci (walaupun berubah menjadi cuka dengan sendirinya dalam wadah tersebut). Dan walaupun khomer yang di pindahkan ke wadah yang lain tadi menjadi cuka di dalam wadah yang lain". Demikian penjelasan beliau

والدَّلِيلُ عَلٰى كَونِ الخَمرِ خَلًّا. الحَمُوضَةُ فِي طَعمِها، وَإن لَم تُوجَد نِهايَةُ الحَمُوضَةِ، وَإن قُذِفَت بِالزَّبَدِ

  Dan tanda-tanda bahwa khomer itu menjadi cuka adalah ketika rasanya berubah menjadi kecut, walaupun tidak kecut secara maksimal dan walaupun di tambahkan busa khomer dalam cuka tersebut.

▪️ Kulit Bangkai Yang Disamak

وَيَطهُرُ جِلدُ نَجِسٍ بِالمَوتِ بِاندِبَاغٍ  نَقَاهُ بِحَيثُ لَا يَعُودُ إِلَيهِ نَتنٌ وَلَا فَسَادٌ لَو نُقِعَ فِي المَاءِ

  Dan kulit bangkai binatang yang asalnya najis hukumnya karena mati tanpa di sembelih, itu bisa berubah menjadi suci hukumnya sebab di samak, (yakni di keringkan dan di gosok dengan sesuatu yang bisa membersihkan sisa-sisa daging dan darah yang merekat pada bagian dalam kulit). Hingga sekiranya tidak kembali bau busuknya dan tidak menjadi rusak ketika kulit tersebut di rendam di dalam air.

12. Anjing, Babi Dan Anak Turunnya

وَكَكَلبٍ وَخِنزِيرٍ) وَفَرعِ كُلٍّ مِنْهُمَا مَعَ الآخَرِ أو مَعَ غَيرِهِ، وَدُودُ مَيتَتِهِمَا طَاهِرٌ، وَكَذَا نَسجُ عَنكَبُوتٍ عَلٰى المَشْهُورِ. كَمَا قَالَهُ السُّبُكِي والاذْرَعِي، وجزم صاحب العدة والحاوي بِنَجَاسَتِهِ

  Dan termasuk najis adalah, seperti halnya anjing dan babi. Dan juga keturunan dari salah satu anjing dan babi (walau seandainya di kawinkan antara anjing dengan babi) atau di kawinkan dengan binatang lain.

  Dan ulat /belatung dari bangkainya anjing dan babi itu suci hukumnya (walau haram bila di makan). Dan demikian juga suci hukumnya, sarang laba-laba. Ini menurut qaul yang mashur. Sebagaimana telah di katakan oleh imam Subuki dan Syaikh Adzro'i. Namun pengarang kitab "Uddah dan Al-Hawi" menetapkan bahwa, sarang laba-laba itu najis hukumnya. (namun pendapat ini tidak masyhur).

 وَمَا يَخرُجُ مِن جِلدِ نَحوِ حَيَّةٍ فِي حَيَاتِهَا كَالعِرقِ، عَلٰى مَا أَفتٰى بِهِ بَعضُهُم. لَكِن قَال شَيخُنَا: فِيهِ نَظرٌ، بَلِ الاَقرَبُ أنَّهُ نَجِسٌ لِاَنَّهُ جُزءُ مُتَجَسِّدٍ مُنفَصِلٍ مِن حَيٍّ، فَهُوَ كَمَيتَتِهِ

  Dan sesuatu yang keluar dan mengelupas dari tubuh sejenis ular(jawa: slungsuman ula) itu hukumnya sama saja dengan keringat. Ini menurut fatwa sebagian ulama. Namun guru kami berkata: "Kalau soal itu ada sudut pandang yang berbeda. Tapi yang paling dekat dengan kebenaran adalah, itu najis hukumnya".

▪️ Wanita Yang Disetubuhi Anjing

وقال أيضا: لَو نَزُا كَلبٌ أو خِنزِيرٌ عَلٰى آدَمِيَّةٍ فَوَلَدَت آَدَمِيًّا كَانَ الوَلَدُ نَجِسًا، وَمَعَ ذٰلِكَ هُوُ مُكَلَّف بِالصَّلَاةِ وَغَيرِهَا. وَظَاهِرُ أنَّهُ يُعفٰى عَمَّا يُضطَرُّ إِلٰى مُلَامَسَتِهِ، وَأَنَّهُ تَجُوزُ إمَامَتُهُ إِذ لَا إِعَادَةُ عَليهِ، وَدُخُولُهُ المَسجِدَ حَيثُ لَا رُطُوبَةَ لِلجَمَاعَةِ وَنَحوِهَا

  Dan guru kami juga berkata: "Seandainya ada seekor anjing atau babi menjantani (menyetubuhi) seorang wanita hingga hamil dan melahirkan anak manusia, maka anaknya ini tetap najis mugholadzoh hukumnya. Namun beserta itu semua, si anak ini tetap di haruskan menjalankan syari'at islam. Seperti sholat dan lain-lain. (Tetap sebagai orang mukallaf).

  Dan yang jelas, bagi orang yang terpaksa  menyentuhnya, itu di ma'fu. Dan ia pun di bolehkan dan sah bila menjadi imam sholat. Karena dia tidak berkewajiban mengulang sholat yang telah di lakukannya.

  Dan dia juga di bolehkan masuk ke dalam masjid, sekiranya tubuhnya tidak basah dan membasahi jama'ah yang lain. Dan sekiranya tidak ada cairan lain dari tubuhnya yang menciprati orang lain. (Seperti ingus, keringat dan sebagainya).

▪️ Cara Mencuci Barang Terkena Najis

وَيَطهُرُ مُتَنَجِّسٌ بِعَينِيَّةٍ بِغَسلِِ مُزِيلٍ لِصِفَاتِهَا، مِن طَعمٍ وَلَونٍ وَرَيحٍ. وَلَا يَضُرُّ بَقَاءُ لَونٍ أو رِيحٍ عَسُرَ زَوَالُهُ ، وَلَو مِن مُغَلَّظٍ، فإن بَقِيَا مَعًّا لَم يَطهُرۡ

  Dan sesuatu yang terkena najis 'ainiyyah (berbentuk material) itu bisa suci dengan basuhan yang sekiranya bisa menghilangkan sifat-sifatnya najis 'ainiyyah. Seperti rasanya najis, warnanya, dan aromanya. Dan tidaklah masalah apabila salah satu dari warna atau aroma sulit di hilangkan. Walaupun berasal dari najis mugholadzoh. Tapi apabila warna dan aroma masih ada secara bersamaan, maka itu belumlah suci hukumnya.

وَمُتَنَجِّسٌ بِحُكمِيَّةٍ كَبَولٍ جَفٍّ لَم يُدرَكۡ لَهُ صِفَةٌ بِجَرِيِّ المَاءِ عَلَيهِ مَرَّةً، وَإنۡ كَانَ حَبًّا أو لَحمًا طُبِخَ بِنَجِسٍ، أو ثَوبًا صُبِغَ بِنَجِسٍ، فَيطۡهُرُ بَاطِنُهَا بِصَبِّ الماءِ عَلٰى ظَاهِرِها، كَسَيفٍ سُقِيَ وَهُوَ مُحمٰى بِنَجِس

  Dan sesuatu yang terkena najis hukmiyyah, seperti kain yang terkena kencing yang sudah mengering, yang tidak bisa di temukan sifat-sifatnya, maka itu bisa suci dengan menyiram dan mengalirkan air pada kain tersebut dengan satu kali saja.

  Apabila yang terkena najis itu berupa biji-bijian atau berupa daging yang di masak dengan bahan dari najis, atau berupa kain yang di celup dengan najis, maka bagian dalam dari mutanajis tersebut bisa suci dengan menyiramkan air ke bagian luar mutanajis tersebut. Seperti halnya sebilah pedang yang di siram air. Sedangkan pedang itu awal proses pembuatannya (di panasi) dengan bahan najis.

وَيُشتَرَطُ فِي طُهرِ المَحَلِّ وُرُودُ المَاءِ القَلِيلِ عَلٰى المَحَلِ المُتَنَجِّسِ، فإن وُرِدَ مُتَنَجِّسٌ عَلٰى مَاءِِ قَلِيلٍ لَا كَثِيرٍ تَنَجَّسَ، وَإن لَم يَتَغَيَّر فَلَا يُطهِرُ غَيرَهُ.وفارق الوارد غيره بقوته لكونه عاملا

  Dan di syaratkan ketika mensucikan tempat yang terkena najis, untuk menyiramkan air yang berukuran sedikit pada mutanajis tersebut. Jadi, apabila mutanajisnya yang di celupkan ke air yang berukuran sedikit, bukan di celupkan ke air yang berjumlah banyak, maka air itu malah menjadi najis. Walaupun air itu tidak berubah. Dan karena air itu sudah menjadi najis, maka air itu tidak bisa mensucikan yang lainnya.

(Alasan kenapa di syaratkan mengguyurkan air yang berukuran sedikit bila mensucikan mutanajis, itu karena:)

  Air yang di guyurkan itu berbeda dengan yang tidak di guyurkan. (Alasannya) sebab  kekuatan dorongan dari air tersebut. Dan karena air itulah yang mendorong najis yang menempel hingga terpisah dari mutanajis.

(Berbeda dengan ketika mutanajisnya di masukkan ke dalam air yang sedikit. Maka air sedikit ini malah menjadi ikut najis. Karena air sedikit ini tak ada kekuatan dorongan untuk menolak najis yang masuk ,karena jumlahnya yang sedikit). —Syarah.

فَلَو تَنَجَّسَ فَمُّهُ كَفٰی اَخذُ المَاءِ بِيَدِهِ اِلَيهِ وَاِن لَم يُعلِهَا عَلَيهِ كَمَا قَالَ شَيخُنَا . وَيَجِبُ غَسلُ كُلِّ مَا فِی حَدِّ الظَّاهِرِ مِنهُ وَلَو بِالاِدَارَۃِ كَصَبِّ مَاءٍ فِی اِنَاءٍ مُتُنجّسٍ وَاِدَارَتِهِ بِجَوانِبِهِ

  Dan seandainya mulut seseorang terkena najis, (seperti keluar darah di mulut) maka cukup baginya mengambil air dan di masukkan ke mulut, walaupun tidak menyiramkan air ke bagian langit-langit mulut. Sebagaimana yang telah di jelaskan oleh guru kami.

  Dan wajib membasuh bagian yang di sebut bagian luar dari mulut walau dengan memutarkan air dengan mengocoknya di dalam mulut. Sebagaimana harus menyiram air kedalam sebuah wadah yang terkena najis dan memutarkan air ke bagian tepi wadah

وَلَايَجُوزُ لَهُ اِبتِلَاعُ شَيءٍ قَبلَ تَطهِيرِ فَمِهِ حَتّٰی بِالغَرغَرَۃِ

  Dan ketika mensucikan mulut, tidak boleh menelan sesuatu sebelum mensucikan mulutnya hingga bagian tenggorokan. (Karena setiap najis itu haram, namun tidak semua yang haram itu najis hukumnya).

▪️ Cabang: Tanah Yang Terkena Najis

فَرعٌ ﴾ لَو اَصابَ الاَرضَ نَحوُ بَولٍ وَجَفَّ فَصُبَّ عَلٰی مَوضِعِهِ مَاءٌ فَغَمَرَهُ طَهُرَ وَلَو لَم يَنضُب ای يَغُورُ سَوَاءٌ كَانَت الاَرضُ صُلبَۃً اَم رَحوَۃً

  Seandainya ada tanah yang terkena semisal air kencing, dan tanah tersebut mengering (karena telah menyerap), lalu di siramkan air di tempat yang terkena air kencing, hingga air menggenang di tempat tersebut, maka tempat itu menjadi suci hukumnya. Walaupun air tidak masuk terserap ke dalam tanah (secara langsung). Baik tanah itu keras ataupun empuk.

واِذَا كَانَت الاَرضُ لَم تَتَشَرَّبْ مَا تَنَجَّسَت بِه فَلَا بُدَّ من اِزَالَۃِ العَينِ قبلَ صَبِّ المَاءِ القَلِيلِ عَلَيهَا كَمَا لَو كَانَت فِی اِنَاءٍ

  Dan ketika tanah itu tidak bisa menyerap najis /kecing yang mengenainya. Maka tetap di harusnya menghilangkan 'ain dari najis tersebut. Sebelum menyiramkan air yang berukuran sedikit di atasnya. Seperti halnya jika najis itu ada di dalam sebuah wadah.

ولو كَانت النجاسَۃُ جَامِدَۃً فَتَفَتَتَتۡ واختَلَطَتۡ بِالتَّرابِ لَم يطهُر كَالمُخَلَّطِ بِنَحوِ صَدِيدٍ بِاِفَاضَۃِ المَاءِ عَلَيهِ بَل لَابُدَّ مِن اِزَالَۃِ جَمِيعِ التُّراب المختَلِطِ بِهَا

  Dan seandainya najis yang mengenai tanah itu keras, lalu najis itu hancur dan bercampur dengan tanah. Maka tanah ini tidak bisa suci. Seperti halnya tanah yang bercampur dengan nanah (lalu nanah itu membeku dan mengendap) lantas di siram air, (maka air sedikit itu hanya akan memjadikannya najis kembali). (Maka cara mensucikanya adalah), harus dengan membuang semua bagian tanah yang bercampur dengan najis yang hancur tersebut.

وأفتٰى بَعضُهُم فِي مُصۡحَفٍ تَنَجَّسَ بِغَيرِ مَعفُوٍ عَنهُ بِوُجُوبِ غَسلِهِ وَإنۡ أدٰى إلٰى تَلَفِهِ، وإن كانَ لِيَتِيمٍ

  Dan sebagian ulama menfatwakan, Bahwa ketika ada mushaf yang terkena najis yang tidak bisa di ma'fu, maka wajib membasuhnya dengan air, walau itu akan mengakibatkan kerusakan pada mushaf tersebut. Dan walaupun itu mushaf miliknya anak yatim. 

قال شيخُنَا: وَيُتَعَيَّنُ فَرضُهُ فِيمَا إِذَا مَسَّتِ النَّجَاسَةُ شَيئًا مِنَ القُرآنِ، بِخِلَافِ مَا إِذا كَانَت فِي نَحوِ الجِلدِ أَوِ الحَوَاشِي

  Guru kami berkata: Dan di tentukan bahwa kewajiban membasuh mushaf itu, apabila najisnya mengenai lembaran yang ada tulisan ayat alqur'an. Berbeda halnya apabila najisnya hanya mengenai sampul atau bagian tepi lembaran alqur'an.

▪️ Cabang: Air Bekas Mencuci Najis

فرع) غُسَالَةُ المُتَنَجِّسِ وَلَو مَعفُوًّا عَنهُ كَدَمٍ قَلِيلٍ  إِنِ انفَصَلَت وَقَد زَالَتِ العينُ وَصِفاتُهَا، وَلَم تَتَغَيَّر وَلَم يَزِد وَزۡنُهَا  بَعدَ اعتِبَارِ مَا يَأخُذُهُ الثَّوبُ مِن المَاءِ والمَاءِ مِن الوَسخِ  وَقَد طَهَرَ المَحَلُّ طَاهِرَةٌ. قال شيخُنا ويظهَرُ الاكتِفَاءُ فِيهِمَا بِالظَّنِّ

  Sisa air yang bekas untuk membasuh sesuatu yang terkena najis, walau najis yang di ma'fu ,seperti darah yang sedikit. Dan apabila air itu sudah di pisahkan dari mutanajisnya dan material najis juga sudah hilang dan hilang pula sifat-sifat dari najisnya, dengan syarat air itu juga tidak berubah kejernihannya atau baunya. Dan tidak pula tambah timbangan airnya setelah di perkirakan ada air yang terserap oleh kain atau sesudah memperkirakan di ambilnya air dari tempat yang di basuh. Dan tempat yang di basuh itu sudah suci, maka air sisa basuhan dari mutanajis yang telah suci sebelumnya, itu suci hukumnya.

 (Yakni air basuhan ulang dari mutanajis yang sudah bersih itu, suci hukumnya, namun di sebut air musta'mal. Hingga tidak sah untuk bersuci).

  Guru kami berkata: "Dan dalam hal sisa air yang tambah atau berkurang timbangan setelah di perkirakan banyaknya yang terserap oleh kain atau yang tertinggal di tempat yang di basuh, itu cukup dengan persangkaan saja.

▪️ Cabang: Makanan Padat Terkena Najis

فرع) إِذَا وَقَعَ فِي طَعَامٍ جَامِدٍ كَسَمَنٍ فَأرَةٌ مَثَلًا فَمَاتَت، أُلقِيَتْ وَمَا حَولَهَا مِمَّا مَاسَّهَا فَقَطُّ، وَالبَاقِي طَاهِرٌ. وَالجَامِدُ هُوَ الَّذِي إِذَا غُرِفَ مِنهُ لَا يَتَرَادُ عَلٰى قَربٍ

  Apabila ada semisal tikus jatuh pada makanan yang keras secara hukum seperti mentega misalnya, lalu tikus itu mati di tempat ia jatuh. Maka cukup di angkat tikusnya, dan  makanan yang ada di sekitar bangkai. Dan sisanya suci dan halal hukumnya. Dan yang di sebut sesuatu yang keras dalam hal ini adalah, sekiranya di ambil atau di ciduk bagian atasnya, maka tidak bisa kembali rata dengan segera.

▪️ Cabang: Air Yang Terkena Najis

فرع) إذَا تَنَجَّسَ مَاءُ البِئرِالقَلِيلِ بِمُلَاقَاةِ نَجِسٍ لَم يَطهُرۡ بِالنَّزۡحّ، بَل يَنبَغِي أن لَا يُنزَحَ لِيَكثُرَ الماءُ بِنَبعٍ أو صُبَّ مَاءٌ فِيهِ

  Ketika ada air sumur yang berukuran sedikit dan terkena najis, maka air dan sumur itu tidak bisa menjadi suci bila di kuras, Namun lebih baik jangan di kuras, dan biarkan agar air menjadi banyak karena adanya sumber air yang keluar. Atau paling tidak di tambahkan air yang lain ke dalamnya (Hingga menjadi berukuran air banyak/ menjadi genap 2 kulah). 

أو الكثِيرُ بِتَغَيُّرٍ بِهِ لَم يَطهُر إِلَّا بِزَوَالِهِ. فَإن بَقِيَت فِيهِ نَجَاسَةٌ كَشَعرِ فَأرَةٍ وَلَم يَتَغَيَّرَ فَطِهُورٌ تَعَذَّرَ اِستِعمَالُهُ إِذ لَا يَخلُو مِنهُ دَلوٌ فَليَنزَح كُلَّهِ. فإن اغتَرَفَ قَبلَ النَّزحِ وَلَم يَتَيَّقَّن فِيمَا اِغتَرَفَهُ شَعرًا لَم يَضُرُّ وَإن ظَنَّهُ، عَمَلًا بِتَقدِيمِ الاَصلِ عَلٰى الظَّاهِرِ

  Atau ketika ada air berukuran banyak terkena najis dan menjadi berubah sifatnya (jadi tercemar) sebab najis, maka air banyak ini tidaklah suci hukumnya. Kecuali perubahannya menjadi hilang dan jernih kembali.

  Dan seandainya di dalam air banyak itu ada najis yang sulit di angkat, seperti bulu bangkai tikus yang sudah buyar di dalamnya, dan airnya juga tidak berubah, maka air banyak itu tetap suci hukumnya dan boleh menggunakannya ,(dengan syarat tidak di timba sedikit demi sedikit, namun harus dengan mencelup secara langsung ke dalamnya).

  Karena apabila menggunakan timba, maka banyak kemungkinan ada rambut tikus yang ikut tertimba. (hingga otomatis air sedikit yang di timba pun menjadi najis hukumnya karena ada wujud nyata najis di dalamnya). Jika demikian halnya, maka sebaiknya air tersebut di kuras semuanya.

  Dan apabila seseorang menciduknya dan ia tidak meyakini adanya helaian bulu di timbanya, maka itu tidaklah bermasalah, walaupun ada prasangka mungkin ada helaian bulu yang ikut terciduk. Alasannya mendasar pada mendahulukan keyakinan yang awal dan melemahkan persangkaan, (yakni yakin tak ada bulu yang ikut terciduk).

وَلَا يَطهُرُ مُتَنَجِّسٌ بِنَحوِ كَلبٍ إِلَّا بِسَبعِ غَسَلَاتٍ بَعدَ زَوَالِ العَينِ وَلَو بِمَرَاتٍ، فَمُزِيلُهَا مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ، إِحدَاهُنَّ بِتُرَابِ تَيَمُّمٍ مَمزُوجٍ بِالمَاءِ، بِأن يَكدَرَ المَاءُ حَتّٰى يَظهَرُ أَثَرُهُ فِيهِ وَيَصِلَ بِوَاسِطَتِهِ إِلٰى جَمِيعِ أجزَاءِ المَحَلِ المُتَنجِّسِ

  Dan sesuatu yang terkena najis mugholadzoh, seperti najisnya anjing, itu tidaklah bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan. Dengan syarat setelah hilangnya 'ain dari najis mugholadzoh tersebut. Walau hilangnya 'ain ini hingga beberapa kali basuhan. Karena basuhan hingga hilangnya 'ain najis mugholadzoh, walau berulang kali, itu terhitung baru satu kali. (untuk genap tujuh kali basuhan, musti harus enam kali basuhan lagi).

  Dan salah satu dari tujuh basuhan itu harus di campur dengan debu yang sah untuk bertayamun yang di campurkan pada air hingga air itu nampak menjadi sangat keruh, yakni hingga nampak sekali campuran debu di dalamnya, (atau bisa juga di campuri tanah liat yang suci atau lumpur pun jadi). Dan hendaknya air yang bercampur tanah itu meratai semua bagian yang bekas terkena najis mugholadzoh tersebut.

وَيَكفِي فِي الرَّاكِدِ تَحرِيكُهُ سَبعًا. قال شيخنا: يَظهَرُ أَنَّ الذَّهَابُ مَرَّةٌ وَالعَودُ أُ خرٰى. وَفِي الجَارِي مُرُورُ سَبعِ جَرِيَّاتٍ، وَلَا تُتَرَيَّبُ فِي أَرضٍ تُرَابِيَّةٍ

  Dan jika membasuhnya di dalam air yang keruh sangat, maka cukup dengan menggerakkan tujuh kali gerakan,

Guru kami berkata: "Dan cara seperti ini untuk lebih jelasnya adalah, Gerakan dorong kedepan itu di hitung satu kali, tarik kebelakang adalah hitungan berikutnya, Dan jika membasuhnya di dalam air keruh yang mengalir, maka hitungannya tujuh kali pergantian aliran air yang mengenai mutanajis mugholadzoh.

  Dan apabila membasuhnya di tanah yang berlumpur, maka tidak ada syarat harus mencampur dengan air dan lumpur, (cukup dengan tujuh gerakan di dalam lumpur lalu bersihkan dengan air).

▪️ Cabang: Terkena Najis di Air Banyak

فرع) لَو مَسَّ كَلبًا دَاخِلَ مَاءٍ كَثِيرٍ لم تَنجِسْ يَدُهُ، وَلَو رَفَعَ كَلبٌ رَأسَهُ مِن مَاءٍ وَفَمُهُ مُتَرَطِّبٌ، وَلَم يَعلَم مُمَاسُتُهُ لَهُ لَم يَنجِسۡ

  Dan seandainya seseorang menyentuh anjing di dalam air yang berukuran banyak. Maka tangan yang menyentuhnya tidak menjadi mutanajis. Dan seandainya anjing itu mengangkat kepalanya ke permukaan air, dan mulutnya basah, tapi orang yang menyentuh tidak tahu bahwa ia telah menyentuh kepala atau mulut yang nongol tersebut, maka itu juga tidak najis.

قال مَالِك وَدَاوُدُ: اَلكَلبُ طَاهِرٌ وَلَا يُنجِسُ الۡمَاءَ القَلِيلَ بِوُلُوغِهِ، وَاِنَّمَايجب غسل الاءِنَاء بِوُلُوغِهِ تَعَبُّدًا

  Imam Malik dan Abu Dawud berkata: "Bahwa anjing itu suci hukumnya, dan tidak  menajiskan air yang berukuran sedikit sebab jilatannya. Dan adanya kewajiban membasuh wadah bekas jilatan, itu adalah sebagai bentuk peribadatan saja. [SII Group].

Share :

0 Response to "BENDA-BENDA NAJIS"

Posting Komentar