SYARAT-SYARAT WUDLU



▪️ Untuk Ke Daftar Isi Awal, Klik Di Sini: TERJEMAH KITAB FATHUL MU'IN



•【 SYARAT-SYARAT WUDLU 】•


 وَشُرُوطُهُ ) ای الوُضُوءِ ( كَشُرُوطِ الغسلِ ) خَمسَۃٌ 

   Adapun syarat berwudhu, itu sama saja dengan syaratnya mandi, yaitu ada lima perkara:

1. Syarat Wudlu Yang Pertama: Menggunakan Air Mutlak

 مَاءُ مُطلَقٌ ) فَلَا يَرفَعُ الحَدَثَ وَلَا يُزِيلُ النَّجِسَ وَلَا يُحَصِّلُ سَاءِرَ الطَّهَارَۃِ وَلَو مَسنُونَۃً اِلَّا المَاءُ المُطلَقُ

- Syarat Pertama: Harus memakai air yang murni (air mutlak), Maka tidaklah sah jika menghilangkan hadats, menghilangkan najis, dan tidak pula akan berhasil melakukan bersuci, walaupun bersuci yang sunnah, kecuali dengan menggunakan air yang murni (air mutlak). 

وَهُو مَا يَقَعُ عَلَيهِ اِسمُ المَاءِ بِلَا قَيِّدٍ وَاِن رَشَحَ من بُخَارِ الماءِ الطُّهُورِ المُغٰلّٰی او استهلك فِيه الخَلِيطُ اَو قَيِّدٍ بِمُوافَقَۃِ الوَاقِعِ كَماءِ البَحرِ بِخِلافِ مَا لَايُذكَرُ اِلَّا مُقَيَّدًا كَماءِ الوَرَدِ

  Air yang mutlak adalah air yang di sebut dengan air murni, (air yang tidak atau belum tercemar) dan tidak pula ada qoyid (embel-embel nama yang lain seperti air sabun, air teh, dll).

  Walaupun air itu berupa uap yang di hasilkan dari air suci dan mensucikan, yang di panaskan atau air yang telah melebur perkara yang mencemarinya, (hingga ia kembali menjadi air murni) atau air yang diqoyyidi (di beri embel-embel nama karena menyesuaikan keadaan, seperti air laut, (karena adanya di laut. Air sungai karena adanya di sungai dan lain-lain, Ini semua masih termasuk air suci dan mensucikan).

  Berbeda dengan air yang tidak bisa di sebut kecuali dengan sebuah qoyyid (air yang sudah tercemar walau karena sesuatu yang suci), Seperti air rendaman bunga mawar. (Artinya air rendaman mawar ini walaupun nampak seperti air murni, tapi karena aromanya berubah, maka di sebut sebagai air yang tercemar. Bukan air murni lagi /bukan air mutlak).

( غيرُ مُستَعمَلٍ فی ) فَرضِ طَهَارَۃٍ من ( رَفعِ حَدَثٍ ) أَصغَرَ اَو اَكبَرَ وَلَو مِن طُهرِ حَنَفِیٍّ لَم يَنوِی اَو صَبِیٍّ لَم يُمُيِّزۡ لِطوافٍ ( وازالَۃ نَجِسٍ ) وَلَو مَعفُوًّا عنه قَلِيلا ای حَالَ كَونِ المُستَعمَلِ قَلِيلًا ای دُونَ القُلَّتَينِ

  Dan air murni yang untuk berwudhu ini disyaratkan bukan air yang sudah di pakai untuk melakukan bersuci yang sifatnya fardhu, Seperti air yang bekas untuk menghilangkan hadats, Baik hadats kecil maupun besar.

  Walau untuk bersuci dengan cara madzhab Hanafi yang tidak perlu adanya niyat bersuci atau walaupun bekas bersucinya anak yang belum tamyiz ketika akan ikut thowaf dan bukan sisa air yang untuk menghilangkan najis, walau najis yang di ma'afkan.

  Yang demikian (tidak boleh menggunakan air musta'mal) itu apabila air musta'mal itu berjumlah sedikit, yakni kurang dari dua kulah, (bak ukuran 70 cm persegi). 

▪️ Air Musta'mal Yang Berukuran Banyak

.فَاِن جُمِعَ المُشتَعمَلُ فَبَلَغَ قُلَّتَنِ فَمُطَهِّرٌ، كَمَا لَو جُمِعَ المُتَنجِّسُ فَبَلَغَ قُلَّتَينِ وَلَم يَتَغَيَّرۡ، وَاِن قَلَّ بَعدَ تَفرِيقِهِ

  Apabila air murni yang sudah musta'mal di kumpulkan, hingga mencapai ukuran dua kulah, maka air ini hukumnya suci dan bisa untuk bersuci. Sebagaimana pula air yang terkena najis, asal belum berubah salah satu sifatnya ketika mencapai ukuran dua kullah juga hukumnya suci dan bisa mensucikan. Walaupun ketika digunakan airnya menjadi sedikit secara hukum, sebab di ciduk dan di pisahkan ketempat yang lainnya.

فَعُلِمَ اَنَّ الاِستِعمالَ لَايثبُتُ اِلّا مَعَ قِلَّۃِ المَاءِ اَی وَبَعدَ انفِصَالِهِ عَن المَحَلّ المُستَعمَلِ وَلَو خُكمًا، كَاَن جَاوَزَ مَنكِبَ المُتُوضِّیء اَو رُكبَتَيهِ وَاِن عَادَ لِمَحَلِّهِ اَوانتَقَلَ من يَدٍّ لِاُخرٰی، نَعَم لَايَضُرُّ فِی المُحدِثِ اِنفِصَالُ المَاءِ مِنَ الكَفِّ اِلٰی السَاعِدِ، وَلَا فِی الجُنُبِ اِنفِصَالُهُ مِنَ الرَّأۡسِ اِلٰی نَحوِ الصدرِ مِمَا يَغلِبُ فِيهِ اِلتِقَاذُفُ

  Maka dari itu, dapat di tarik kesimpulan bahwa: Sesungguhnya masalah air musta'mal itu tidaklah tetap di sebut musta'mal, terkecuali apabila air itu sedikit secara hukum, yakni air yang sudah merambat dari anggota yang di basuh, lalu mengenai anggota lain yang terpisah, walau terpisahnya itu hanya secara hukum. (Yakni, misalnya telapak tangan dan lengan tangan, secara hukum itu terpisah. Lengan atas siku dan bawah siku, lalu telapak tangan, di sebut anggota yang terpisah).

  Seperti ketika air basuhan tangan melewati /di siramkan di pundaknya orang yang berwudhu, (walau ujung-ujungnya sampai pada lengan dan telapak tangan, maka air yang sampai di lengan trrsebut hukumnya musta'mal).

  Atau seperti ketika air di kucurkan di lutut, walaupun ujung-ujungnya sampai ke tumit dan telapak kaki (maka yang sampai ketumit dan telapak kaki itu musta'mal hukumnya) atau seperti dari tangan yang satu di kucurkan pada tangan yang lain (itu juga musta'mal namanya).

  Memang demikian yang sebenarnya. Namun tidaklah mengapa, ketika seseorang yang berwudhu itu memisahkan air/menarik air dari telapak tangan lalu di ratakan ke lengan. Dan tidak mengapa pula misal bagi orang yang mandi jinabah, ketika memisahkan air yang untuk menyiram kepala lalu di ratakan hingga ke dada atau pundak misalnya. Yang penting hingga batas kekuatan air yang akan merembes pada permukaan atau merembes dari atas kebawah. (Ini belum musta'mal hukumnya).

▪️ Cabang : Terkait Air Yang Musta'mal

 فرع ﴾ لَو اَدخَلَ المُتَوضِیء يَدَهُ بِقَصدِ الغُسلِ عَنِ الحَدَثِ اَولَا بِقصدٍ بَعدَ نِيَّۃِ الجُنُبِ اَو تَثلِيثِ وَجهِ المُحدِثِ اَوبَعدَ الغَسلَۃِ الاُولٰی اِن قَصَدَ الاِقتِصَارَ عَلَيهَا بِلَا نِيَّۃ اغتِرَافٍ وَلَا قَصدِ اَخذِ المَاءِ لِغَرضٍ آخَرَ صَارَ مُستَعمَلًا بِالنِّسبَۃِ لِغَيرِ يَدِهِ فَلَهُ اَن يَغسِلَ بِمَا فِيها بَاقِي سَاعِدِهَا

  Seandainya ketika seseorang yang berwudhu memasukkan tangannya (ke wadah air untuk menciduk air) dengan niyat membasuhnya (bukan niyat menciduk untuk membasuh anggota badan), atau ketika menciduk air tapi tidak berniyat membasuh ketika akan mandi jinabah, walau memasukkannya sesudah niyat jinabah. Atau ketika mengulang basuhan wajah ke tiga kalinya, atau paling tidak sesudah basuhan yang pertama, apabila memang sengaja meringkas dengan satu basuhan saja.

  Dan saat memasukkan tangan ke wadah ini dia tidak niyat menciduk untuk membasuh anggota yang akan di basuh, dan tidak berniyat menciduk air untuk tujuan membasuh anggota yang lain, maka bila demikian, air yang terciduk tangan (yang tidak di sengaja untuk membasuh) itu hukumnya musta'mal. Karena tangan yang di gunakan untuk menciduk air tanpa niyat mengambil untuk basuhan selanjutnya itu di nisbatkan seperti tangan orang lain yang nylonong.

  Maka bila demikian halnya, ia harus kembali menciduk air dengan niyat menciduk untuk membasuh lengannya.

▪️ Keterangan :

  Kesimpulannya, saat kita menadahkan telapak tangan di kran misalnya, atau mencidukkan kedua telapak di bak, guna mengambil air untuk membasuh muka, maka harus ada niyat mengambil air untuk membasuh, bukan untuk sekedar membersihkan telapak tangan. Atau tanpa tujuan apa-apa. Agar air yang di telapak tangan tidak di hukumi musta'mal.

Dan terkait Hukum air murni yang musta'mal, bila di lihat dari keterangan di atas, itu ada empat :

1. Ketika air murni itu sedikit dan sudah di pakai untuk bersuci,
2. Ketika air murni itu sudah mengenai anggota yang terpisah secara hukum. Seperti air yang di siramkan di lutut, lalu mengalir ke bawah membasahi tumit dan telapak kaki.
3. Tidak adanya niyat menciduk air dengan telapak tangan guna membasuh anggota yang musti di basuh saat wudhu.
4. Ketika mencelupkan tangan ke dalam air yang sedikit, tanpa ada niyat menciduk untuk membasuh anggota. Contohnya seperti mencelupkan air ke dalam timba atau gayung lalu di masukkan ke ember (jawa: padasan) yang di lobangi untuk berwudhu.

▪️ Air yang Mengalami Perubahan

 و ) غَيرُهُ ( مُتَغَيِّرٍ ) تَغَيُّرًا ( كَثِيرًا ) بِحَيثُ يُمنَعُ اِطلَاقُ اِسمِ المَاءِ عَلَيهِ بِاَن تَغَيَّرَ اَحَدُ صِفَاتِهِ من طَعمٍ او لَونٍ او رِيحٍ وَلَوتَقدِيرًا، اَوكَانَ التَّغَيُّرُ بِمَا عَلٰی العُضوِ المُتَطَهِّرِ فِی الاَصَحِّ

  Dan syarat dari air murni yang untuk berwudhu adalah air yang tidak berubah dengan perubahan yang mencolok, (yakni air yang belum tercemar karena tercampuri oleh sesuatu yang suci), yaitu perubahan yang sekiranya bisa mencegah atau merusak kemurnian air tersebut.
   
  Seperti jika salah satu dari sifat-sifatnya air sudah berubah/tercemar, dari segi rasanya, atau warnanya atau berubah aromanya, walaupun perubahan tersebut hanya secara perkiraan saja atau ketika tercemarnya air sebab sesuatu yang menempel pada anggota yang di basuh (seperti parfum dan lain-lain yang mana ketika di basuh, maka spontan airnya menjadi berubah aromanya). Ini menurut pendapat yang shohih.

وَاِنَّمَا يُوءثِرُ التَّغَيُّرُ اِن كَانَ ( بِخَلِيطٍ ) ای مُخَالِطٍ لِلمَاءِ وَهُو مَا لَايُتُمُيَّزُ فِی رَأيِ العَينِ ( طَاهِرٍ ) وَقَد ( غَنِيَ ) المَاءُ ( عَنه ) كَزَعفَرَانَ وَتمرِ شَجَرٍ نَبَتَ قُربَ المَاءِ وَوَرَقٍ ثُمَ تَفَتَتْ، لَا تُرابٍ وَملحِ مَاءٍ وَاِن طُرِحَاولا يَضُرُّ تَغَيُّرٌُ لَايَمنَعُ الاسمَ الماءِ وَلَو اِحتِمَالًا بِاَن شَكَّ اَهُو كَثِيرٌ او قليلٌ

  Dan air di nyatakan tercemar itu apabila pencemarannya di sebabkan oleh sesuatu (walaupun sesuatu) yang suci dan bercampur hingga mencemari kemurnian air tersebut. Dan pencemaran tersebut tidak bisa di bedakan dengan pandangan mata secara nyata (Tidak bisa di pisahkan). Dan air tersebut sebenarnya tidaklah memerlukannya, (yakni itu hal yang tidak di perlukan, kalau demi menjaga kemurnian air).

Seperti tercampur dengan za'faron (hingga berubah aromanya). Dan seperti tercampur buah yang jatuh dari pohon yang tumbuh dekat air (hingga berubah rasanya), Atau sebab di jatuhi dedaunan lalu daun itu hancur di dalam air (hingga berubah warnanya. Dan air yang sudah berubah sebab tercampur sesuatu yang suci itu sudah di namakan air yang tercemar).

  Dan tidaklah mengapa bila air tercampur dengan tanah atau garam yang berasal dari air, walaupun itu di masukkan dengan sengaja ke dalam air. (Sebab tanah adalah merupakan sisi lain dari air dan ketika air bercampur tanah maka perubahannya hanya menjadi keruh saja dan mudah kembali jernih bila sudah mengendap dan karena garam itu terbuat dari air).

  Dan tidaklah menjadi mudhorot apabila perubahannya atau pencemarannya tidak mencolok, yakni tidak merusak kemurnian air atau karena perubahannya memang cuma sedikit atau hanya sepertinya saja. Seperti ada rasa ragu, apakah perubahan itu mencolok atau tidak, atau memang karakter airnya seperti itu."

وَخَرَجَ بِقَولِی بِخليطٍ المُجاوِرُ وَهُو مَا يُتُمَيَّزُ لِلنَّاظِرِ كَعَودٍ وَذُهنٍ وَلَو مُطَيِّبَينِ وَمِنهُ البُخُورُ وَاِن كَثُرَ وَظَهَرَ نَحوُ رِيحِهِ خِلَافًا لِجَمعٍ، وَمتهُ ايضًا مَاءٌ اُغلٰی فِيهِ نَحوُ بُرٍّ وَتَمرٍ حَيثُ لَم يُعلَم اِنفصَالُ عَينٍ فِيه مخالِطَۃٌ بِان لَم يَصل اِلٰی حَدٍّ بِحَيثُ يَحدُثُ لَهُ اِسمُ يَحدُثُ لَه اِسم آخَرَ كَالمَرَقَۃ

  Dan ungkapanku yang menyatakan "بِخليط" (tercemar sebab sesuatu yang mencampur pada air), itu beda halnya apabila tercemarnya air karena sesuatu yang berdampingan /berdekatan, yang mana itu mudah di bedakan bagi orang yang melihat, (bisa dipisahkan/dijuahkan).

  Misalnya seperi kayu atau minyak walaupun sudah di buat sebagai pengharum, dan termasuk juga bukhur (asap pengharum), walaupun berubahnya mencolok seperti berubah aromanya, ( dan misalnya seperti ada asap pengharum yang tertiup angin hingga menyentuh di permukaan air yang murni, lalu air itu ikut menjadi harum karenanya. Maka ini tidak lah merubah kemurnian air. Yakni tetep suci dan mensucikan).
 Dan ini memang menyelisihi pendapat sebagian ulama.

  Dan termasuk di sebut mujawir, (hanya sekedar berdekatan saja) adalah apabila ada air murni yang di panaskan (di rebus) dan di dalamnya ada semisal kurma atau gandum. Sekiranya tidak di ketahui secara nyata, bahwa kurma atau gandum tersebut telah bercampur (karena pecah misalnya) dan mencemari air murni yang di rebus. Dan selama air murni yang di rebus itu tidak sampai tercemar hingga di sebut dengan nama lain, seperti santan,  adonan atau manisan.

ولو شَكَّ فِی شيءٍ اَمُخالِطُ اَو مُجَاوِرٌ لَه حُكمُ المُجَاوِرِ

  Dan apabila seseorang ragu tentang air yang tercemar, apakah itu tercemar sebab sesuatu yang mencampur atau hanya karena sesuatu yang berdekatan. Maka baginya boleh menghukumi bahwa itu hanya tercemar karena berdekatan saja. (hingga tetap di yakini bahwa itu masih termasuk air murni dan belum tercemar). 

وَبِقَولی غَنِیٌّ عَنه مَالَايَستَغنِی عَنه كَمَا فِی مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ من نَحوِ طِينٍ وَطُحلَبٍ مُفتَتٍ وَكِبرِيتٍ وَكَالتَّغَيُّرِ بِطُولِ المُكثِ او بِاَورَاقٍ مُتُنُاثِرَۃٍ بِنَفسِها وَان تَفَتَّتْ وَبَعُدَت الشَّجَرَۃُ عَنِ الماءِ

  Dan ungkapanku yang mengatakan "غنی عنه" (hal yang tidak di perlukan oleh air murni), ini lain halnya dengan sesuatu yang mana air tidak bisa lepas dari itu, Seperti sesuatu yang mencampuri dan mencemari di tempat menggenangnya air atau tempat mengalirnya air. Seperti halnya tanah, lumut walaupun lumat di dalam air, rumput air dan lain-lain.

  Dan seperti halnya berubahnya air (tercemarnya air) karena lama menggenang di satu tempat, atau sebab terkena rerontokan daun dengan sendirinya (tidak di sengaja) walau daun itu lumat dan mencemari air. Dan pohon yang daunnya berguguran juga jauh dari posisi air.

(Maka bila demikian halnya, air tersebut tidak di nyatakan sebagai air yang tercemar. Tetap di hukumi sebagai air murni dan suci serta bisa mensucikan).

 او بِنَجِسٍ ) وَاِن قَلَّ التَّغَيُّرُ ( وَلَو كَانَ ) المَاءُ ( كَثِيرًا ) ای قُلَّتَينِ اَو اَكثَرَ فِی صُورَتَیِّ التَّغَيُّرِ بِالطاهِرِ والنجسِ

  Atau apabila air murni tercemar/mengalami perubahan sebab perkara najis. walaupun perubahan (salah satu sifatnya) hanya sedikit. Dan walaupun air yang tercemar oleh najis adalah air yang banyak secara hukum, yakni genap dua kulah atau lebih. Yang demikian ini dalam dua bentuk pencemaran yakni baik tercemar oleh sesuatu yang suci atau tercemar oleh najis.

(Yakni air banyak yang berubah secara mencolok sebab tercemar oleh sesuatu yang suci dan air banyak yang berubah walau sedikit perubahannya sebab tercemar oleh najis, kedua-duanya tidak sah untuk bersuci).

▪️ Ukuran Air Dua Kullah

والقُلتَانِ بِالوزنِ خَمسُمِأَۃِ رِطلٍ بَغدَادِی تَقريبًا وَبِالمَسَاحَۃِ فِی المُرَبِّعِ ذِرَاعٌ وَرَبعٌ طَولًا وَعرضًا وَعُمقًا بِذِرَاعٍ اليَدِّ المعتَدِلَۃِ وَفِی المُدَوِّرِ ذِراعٌ مِن سَاءِرِ الجَوانِبِ بِذِرَاعِ الادَمِیِّ وَذِراعانِ عُمقًا بِذِرَاعِ النَّجَارِ وَهُوَ ذِرَاعٌ وَرُبعٌ

  Dan ukuran dua kulah apabila di ukur dengan timbangan adalah sekitar 15 kati timbangan negara baghdad.

  Apabila di ukur dengan ukuran wadah persegi empat adalah: Satu seperempat dziro' dari sisi tinggi, luas, dan dalamnya, Dengan ukuran dziro'nya orang yang bertubuh sedang.

  Dan apabila ukuran wadah yang bundar adalah ember yang berukuran satu dziro' dari segala sisi. Dengan ukuran dziro' anak cucu adam. Dan dalamnya dua dziro' bila menurut dziro'nya tukang kayu.

  Adapun dua dziro' menurut tukang kayu adalah satu seperempat dziro', (Kalau ukuran cm adalah bak yang berukuran 70 cm persegi).

وَلَا يَتَنَجَّسُ قُلَّتَا مَاءٍ وَلَو اِحتِمَالًا كَان شَكَّ فِی مَاءٍ اَبلَغَهُمَا اَم لَا  وَاِن تُيُقِّنَت قِلَّتُهُ قَبلُ  بِمُلَاقَۃِ نَجِسٍ مَالَم يَتَغَيَّر بِه وَاِن استَهلَكَت النَّجَاسَۃُ فِيهِ
 
 
  Dan air yang genap dua kulah (atau yang air banyak), walau hanya perkiraan saja. Seperti ketika seseorang ragu, apakah air itu genap dua kulah atau tidak. Walaupun sebelumnya dia yakin kalau air tersebut adalah air yang sedikit. Itu tidak menjadi najis hukumnya ketika terkena najis. Dengan syarat, selama air itu tidak berubah dan tercemar oleh najis yang mengenainya, (yakni menjadi berubah salah satu sifatnya air). Walaupun najisnya hancur dan berbaur dengan air tersebut.

وَلَا يَجِبُ التَّبَاعُدُ عَنِ نَجِسٍ فِی مَاءٍ كَثِيرٍ وَلَو بَالَ فِی البَحرِ مَثَلًا فَارتَفَعَت منهُ رَعوَۃٌ فَعِیَ نَجَاسَۃٌ اِن تَحَقَّقَ اَنَّهَا مِن عَين النَجَاسَۃٌ اَو مِنَ المُتَغَيِّرِ اَحَدُ اَوصَافِهِ بِهَا وَاِلَّا فَلَا

  Dan tidak di haruskan menjauh dari najis yang terapung, ketika seseorang bersuci di dalam air yang banyak, (dan yang tidak tercemar karena najis tersebut).

  Dan seandainya seseorang kencing di laut umpamanya. Lalu dari air yang kejatuhan kencing itu tampak membuih karenanya, maka buih ini najis hukumnya, Itu apabila ia yakin kalau buih itu di timbulkan akibat air kencing yang jatuh atau apabila ia yakin kalau buih itu adalah termasuk air yang sudah berubah salah satu sifat-sifatnya dan di sebabkan oleh air kencingnya.

  Apabila tidak ada keyakinan bahwa buih itu termasuk air yang sudah tercemar, maka buih itu tetap di hukumi suci.

وَلَو طُرِحَت فِيهِ بَعرَۃٌ فَوَقَعَت مِن اَجلِ الطَّرحِ قِطرَۃٌ عَلٰی شَيءٍ لَم تَنجِسُهُ

  Dan seandainya ada najis yang kering di lemparkan ke dalam air yang banyak, lalu akibat lemparan tersebut ada air yang muncrat dan mengenai sesuatu, maka cipratan itu tidak najis. Artinya yang terkena cipratan air tersebut tetap suci hukumnya,(tidak mutanajjis).

▪️ Air Yang Sedikit

وَيَنۡجَّسُ قٰليلُ المَاءِ وَهُو مَادُونَ القلتَان حَيثُ لَم يَكُن وَارِدًا بِوُصُولِ نَجِسٍ اِلَيهِ يُرٰی بِالبَصَرِ المُعتَدِلَ غَيرِ مَعفُوٍّ عَنهُ فِی المَاء وَلَو مَعفُوًّاعَنه فِی الصلاۃِ كَغَيرِهِ مِن رَطبٍ وَمَاءِعٍ وَاِن كَثُ
  
  Dan air yang sedikit, yaitu yang kurang dari ukuran dua kullah dan selama air itu bukan air yang mengalir itu akan menjadi najis hukumnya ketika tersentuh najis yang bisa di lihat oleh mata normal. Dan najis itu tidak termasuk najis yang di maafkan ketika mengenai air. Walaupun najis tersebut tidak di maafkan ketika mengenai orang yang sedang sholat.

  Dan tidak di maaf juga ketika mengenai yang selain air, Seperti sesuatu yang basah, atau benda-benda cair yang selain air, Walaupun benda cair ini dalam takaran yang banyak. 

(Yakni ketika benda cair yang selain air, seperti minyak, misalnya. Walau dalam jumlah banyak, Ketika terkena najis, maka itu menjadi najis hukumnya, Walaupun tidak berubah. Alasannya karena menjaga air dari terkena najis itu lebih sulit, dari pada menjaga benda-benda cair yang selain air. Karena secara fakta, kalau benda cair yang selain air itu akan lebih di pentingkan dalam mengemasnya, Mungkin karena harganya atau tuntutan konsumennya, Berbeda kalau hanya sekedar air).

لَا بِوُصُولِ مَيتَۃٍ لَا دَامَ لِجِنسِهَا سَاءِلٌ عِندَ شٰقِّ عُضوٍ منهَا، كَعَقرَبٍ وَوَزَغٍ، اِلَّا اِن تَغَيَّرَ مَا اصَابَتهُ، وَلَو يَسِيرًا فحِينَءِذٍ يَنجِسُ، لَا سَرطَانٌ وَضِفدَعٍ فَيَنجِسُ بِهِمَا خِلَافًا لِجَمعٍ، وَلَا بِمَيتَۃٍ كَانَ نَشوءُهَا مِنَ المَاءِ كَالعَلقِ، وَلَو طُرِحَ فِيهِ مَيتَۃٌ مِن ذٰلِكَ نَجِسٌ، وَاِن كَانَ الطَارِحُ غَيرُ مُكَلَّفٍ وَلَا اَثَرَ لِطَرحِ الحَیِّ مُطلٰقًا

  Dan tidaklah menjadi najis ketika air yang sedikit terkena bangkai dari jenis binatang yang tidak punya darah yang mengalir ketika di belah badannya, Seperti halnya kalajengking atau kecoa. Terkecuali bila najis itu merubah /mencemari air tersebut. Walau perubahannya hanya sedikit. 

  Sehingga ketika air yang sedikit kejatuhan bangkai dari binatang yang tidak punya darah merah itu menjadi berubah, maka air tersebut menjadi najis hukumnya.
  
  Dan bukan termasuk sebagai binatang yang tidak berdarah merah, kepiting atau katak, Sehingga ketika air sedikit kejatuhan bangkai kepiting atau katak, maka itu tetap sebagai air yang najis. Dan qaul ini menyelisihi pendapat sekumpulan ulama.

  Dan air sedikit juga tidak menjadi najis ketika ada bangkai dari binatang yang biasa hidup di air, seperti lintah misalnya. Akan tetapi apabila bangkai binatang air tersebut sengaja di masukkan ke dalam air sedikit, maka air itu tetap menjadi najis (walau tidak tercemar karenanya). Dan walaupun yang memasukkan bangkai itu anak yang belum mukallaf.

 Dan tidaklah berdampak bagi kesucian air, ketika kemasukan binatang yang masih hidup. Dan itu mutlak, (terkecuali binatang yang masuk itu binatang yang sudah terkena najis di badannya).

واختارَ كَثِيرُونَ من أَإِمَّتِنَا مَذهَبَ المَالِكِ : اَنَّ المَاءَ لَايَنجِسُ مُطلَقًا اِلَّا بِالتَّغَيُرِ، والجَارِی كَراكِدٍ وَفِی القَدِيمِ لَايَنجِسُ قَلِيلُهُ بِلَا تَغَيُّرِ وَهُوَ مَذهَبُ مَالِكٍ، وَقالَ فِی المَجمُوعٍ سَوَاءٌ كَانَت النَّجَاسَۃُ مَاءِعَۃٌ اَوجَامِدَۃٌ

  Dan sebagian banyak dari imam-imam kita dari ulama madzhab Syafi'i memilih pendapatnya imam Malik yang mengatakan: "Sesungguhnya air itu tidaklah menjadi najis secara mutlak. (Baik air banyak atau sedikit) Kecuali ketika air itu tercemar karenanya. Dan air yang mengalir, baik banyak atau sedikit itu sama saja hukumnya dengan air yang tidak mengalir, Ketika terkena najis".

  Dan dalam qaul terdahulu beliau mengatakan: "Air yang sedikit tidaklah menjadi najis (bila terkena najis) kecuali bila air itu berubah. Ini menurut madzhab imam Malik.

  Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Majmu': "(Air sedikit yang kejatuhan najis itu akan menjadi najis), baik najis yang mengenainya berupa benda najis yang cair ataupun berupa benda najis yang keras."

والماءُ القَلِيلُ اِذَا تَنَجَّسَ يَطهُرُ بّبُلُوغِهِ قُلَّتَينِ وَلَو بِمَاءِ مُتَنَجِسٍ حَيثُ لَا تَغَيرَ بِه، والكَثيرُ يَطهُرُ بِزَوَالِ تَغَيُّ رِهِ بِنَفسِهِ اَوبِمَاءِ زِيدَ عَلٰيهِ او نُقِصَ عَنه وَكَانٰ البٰاقِی كَثِيرًا

  Dan air sedikit yang terkena najis, itu bisa berubah menjadi suci kembali ketika menjadi air yang berjumlah banyak mencapai genap dua kullah. Walau bertambah banyaknya itu dengan di tambahkan air yang sama-sama terkena najis, (atau air musta'mal). Itu apabila air najis yang di tambahkankan tersebut tidak menjadikan sebab merubah /mencemari air tersebut.

  Dan air banyak yang sudah tercemar, itu juga bisa berubah menjadi suci, ketika perubahan yang ada menjadi hilang dengan sendirinya, Atau hilangnya perubahan dengan di tambahkan air ke dalamnya, (setelah nampak jernih) lalu di ambil lagi airnya, Dengan syarat air yang di sisakan tetap dalam ukuran dua kulah.

2. Syarat Wudlu Yang Kedua: Mengalirkan Air pada Anggota Badan yang Dibasuh

 و) ثانِیها (جَرِيُ ماءِ علی عُضوٍ ) مَغسُولٍ فَلَا يَكفِی اَن يَمَسَّهُ المَاءَ بِلَا جَريَانٍ لِاَنَّهُ لَم يُسَمَّ غَسلًًا

  Syarat wudlu yang kedua adalah: Mengalirkan air pada anggota badan yang di basuh, Maka tidaklah mencukupi apabila hanya mengusapkan air ke anggota wudhu dengan tanpa menyiramkan dan tanpa mengalirkan air, Karena yang demikian itu bukanlah di sebut membasuh.

3. Syarat Wudlu Yang Ketiga: Tiada Sesuatu yang Mengakibatkan Air Berubah

 و ) ثَالِثُهَا ( اَن لَايَكُونَ عَلَيهِ ) ای علی العضو ( مُغَيِّرٌ لِلمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا ) كَزَعفَرانٍ وَصندَلٍ خِلَافًا لِحَمعٍ 

  Syarat wudhu yang ketiga adalah: Di permukaan anggota wudhu yang di basuh, tidak boleh ada sesuatu yang bisa merubah kemurnian air dan mencemari air, dengan perubahan yang memudhorotkan air, Seperti minyak za'faron atau wangi-wangian cendana. Walau pendapat ini menyelisihi pendapat sekumpulan golongan ulama.

4. Syarat Wudlu Yang Ke empat: Tiada Penghalang antara Anggota Basuhan dengan Air

 و ) رَابِعُهَا اَن لَايَكُونَ عَلٰی العُضوِ ( حاءِلٌ ) بين المَاءِ والمَغسُولِ ( كَنُورَۃٍ ) وَشَمعٍ وَدُهنِ جَامِدٍ وَعَينِ حِبرٍ وَحِنَاءٍ بِخِلَافِ دَهنِ جَارٍ ای ماءِعٍ وِان لَم يَثبُت المَاءُ عَليهِ وَاَثَر حِبرٍ وَحِنَاءٍ

  Syarat wudhu yang ke empat dalah: Tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dengan anggota badan yang di basuh, Seperti kapur, lilin, minyak yang kental, material tinta, hena dan lain-lain,

  Berbeda halnya jika yang menempel itu berupa minyak yang cair, sekalipun ketika di siramkan airnya tidak bisa merekat ke kulit (jawa: kalis). Dan seperti halnya bekas coretan tinta atau hena, (maka yang demikian itu tidak mengapa).

▪️ Keterangan:

  Material tinta atau hena dan lain-lain, yang bisa di katakan menghalangi air adalah, yang sekiranya bisa di kerik dan di kupas dari permukaan kulit. Apabila hanya bekas tinta atau hena, maka tidak masalah.

وكذا يُشتَرطُ عَلٰی مَا جَزَمَ بِهِ كَثِيرُونَ، اَن لَايَكُونَ وَسخٌ تَحتَ ظَفرٍ يَمنَعُ وُصُولَ المَاءِ لِمَا تَحتَهُ، خِلَافًا لِجَمعٍ مِنهُم الغَزالی والزركَسِی وَغَيرِهِمَا وَاطَالُوا فِی تَرجِيحِهِ وَصَرَحُوا بالمسَامَحَۃِ عَمَّا تَحتَهَا من الوسخِ دُونَ نَحوِ العَجِينِ

  Demikian juga di syaratkan, menurut pendapat yang telah di kukuhkan sebagian banyak ulama, yaitu: Tidak boleh ada kotoran yang ada di bawah kuku, yang mana kotoran kuku tersebut bisa mencegah masuknya air ke permukaan kulit yang berada di bawah kuku.

  Dan pendapat ini menyelisihi sekolompok golongan ulama, Di antara mereka adalah, beliau imam Al-Ghozali dan syeh Zarkasy dan selain mereka berdua. Dan mereka membahas secara panjang lebar untuk menguatkan dan mengunggulkan pendapat mereka. Dan mereka menjelaskan tentang adanya kemurahan dan keringanan tentang masalah kotoran yang ada di bawah kuku, Tetapi tidak ada kemurahan dan keringanan jika yang ada di bawah kuku berupa kotoran yang semacam adonan.

واشارَ الاَذرَعِی وغيرُهُ اِلٰی ضَعفِ مَقَالَتِهِم وَقَد صَرَحَ فی التَّتِمَّۃِ وَغَيرِهَا بِمَا فِی الرَّوضَۃِ وَغَيرِهَا من عَدَمِ المَسَامَحَۃِ بِشَيءٍ مِمَّا تَحتَهَا حَيثُ مَنَعَ وُصُولَ المَاءِ بِمَحَلِهِ، وافتٰی البغَویِ فِی وَسَخٍ حَصَلَ من غُبَارٍ بِاَنَّهُ يَمنَعُ صِحَّۃَ الوضُوءِ بِخِلَافِ مَا نَشَأَ من بَدَنِهِ وَهُو العِرقُ المُتُجَمِّدُ وَجَزَمَ بِه فِی الاَنوارِ

  Imam Adzro'i dan yang lainnya mengisyaratkan bahwa pendapat mereka  adalah lemah. Dan beliau menjelaskan di dalam kitab "At-Tatimmah" dan yang lainnya, dengan berdasarkan pendapat yang ada di dalam kitab "Ar-Taudhoh" dan lain lain, Bahwa tidak ada kemurahan dalam masalah kotoran yang menempel di bawah kuku, di karenakan itu bisa mencegah air masuk ke permukaan kulit yang di bawah kuku.

  Dan imam Al-Baghowi memberikan fatwa dalam masalah kotoran di bawah kuku yang di sebabkan oleh debu yang masuk, bahwa itu bisa mencegah sahnya wudhu, Berbeda dengan kotoran yang di hasilkan dari badan sendiri, yaitu akibat keringat yang mengendap di bawah kuku. Dan beliau mengukuhkan pendapatnya di dalam kitab "Al-Anwar".

5. Syarat Wudlu Yang Kelima: Masuk Waktu Salat Bagi yang Berhadas Terus-menerus

 و ) خَامِسُهَا ( دُخُولُ وَقتٍ لِدَاءِمِ حَدَثٍ ) كَسَلِسٍ وَمستَحَاضَۃٍ وَيُشتَرَطُ لَهُ اَيضًا ظَنُّ دُخُولِهِ، فَلَا يَتَوضَأُ كَالمُتُيَمِّمِ لِفَرضٍ او نَفلٍ مُوءقَّتٍ قَبلَ وَقتِ فِعلِهِ وَلِصَلَاۃِ الجَنازَۃِ قَبلَ الغُسلِ وَتَحِيَّۃٍ قبل دخول المَسجِدِ والرواتِبِ المُتَأَخِّرَۃِ قبلَ فِعلِ الفَرضِ

  Syarat Wudhu yang Kelima adalah: Harus sudah masuk sholat, dan syarat yang demikian ini khususnya bagi orang yang langgeng hadats. (Hadats secara terus menerus), Seperti halnya orang yang terkena penyakit keluar air seni secara terus menerus tanpa di sadari (jawa: beser), Dan seperti wanita yang menalami istihadhoh (pendarahan).

  Dan di syaratkan pula bagi orang-orang tersebut, harus berprasangka kuat bahwa saat itu sudah masuk waktu sholat, Maka tidak boleh berwudhu sebelum masuk waktu sholat. Dan persamaan bagi orang yang langgeng hadas ini, sama saja dengan orang yang sholat dengan bertayamum yang hanya berlaku untuk melakukan satu sholat fardhu, atau sholat sunnah yang di waktu tertentu (seperti dhuha, atau sholat gerhana), maka tidak boleh berwudhu bagi orang yang langgeng hadats/ bertayamum sebelum memasuki batas waktunya.

  Dan tidak boleh berwudhu bagi orang yang langgeng hadats/ bertayamum karena akan melaksanakan sholat jenazah, sebelum jenazah di mandikan. (Karena batas masuk waktu sholat jenazah itu adalah apabila jenazah sudah di mandikan).

 Dan tidak boleh berwudhu bagi orang yang langgeng hadats/ bertayamum karena akan sholat tahyatal masjid, sebelum memasuki wilayah batas masjid.

  Dan tidak boleh berwudhu bagi orang yang langgeng hadats/ bertayamum untuk sholat rowatib yang di akhirkan /ba'diyyah, sebelum melakukan sholat fardhu terlebih dahulu, (Karena niyat wudhu dan tayamum bagi da-imil hadast adalah demi untuk di perbolehkannya sholat fardhu).

▪️ Keterangan:

  Bahwasanya, bagi orang yang berwudhu karena langgeng hadast dan bagi orang yang bersuci dengan tayamum untuk sholat fardhu, di bolehkan baginya untuk melakukan sholat fardhu berikut sunnah rowatib.

  Adapun yang di maksud dengan kalimat "والرواتب المتَأخرۃ قبل فعل الفرضِ" (tidak boleh bertayamum atau berwudhu untuk melakukan rowatib yang di akhirkan /ba'diyah sebelum selesai sholat fardhunya), adalah apabila dalam bertayamum atau wudhu itu untuk tujuan melakukan sholat sunnah rowatib ba'diyyah. Sementara batas masuk waktu sunnah ba'diyyah adalah sesudah melakukan sholat fardhu. Dan lagi pula dalam hal ini tidak di haruskan tayamum atau wudhu kedua kali bila berkaitan dengan sunnah rowatib).—Syarah I'anatuttolibin.

وَلَزِمَ وُضُوآنِ اَوتَيَمُّمَانِ عَلٰی خَطِيبٍ دَاءِمِ الحَدَثِ اَحَدُهُمَا لِلخُطبَتَينِ والآخَرُ بَعدَهُمَا لِصَلاۃِ جُمعَۃٍ وَيَكفِی وَاحِدٌ لَهُمَا لِغَيرِهِ

  Dan wajib berwudhu atau bertayamum dua kali bagi seorang khotib yang mengalami langgeng hadas (mengalami hadats terus menerus), yaitu:

- Yang pertama adalah ketika akan berkhutbah (sesudah adzan untuk khutbah), 
- Dan wudhu yang kedua adalah ketika akan sholat jum'at.

  Dan bagi khotib yang tidak langgeng hadas (tidak mengalami hadats terus menerus), maka cukup satu wudhu (satu tayamum) untuk khutbah dan sholat jum'at.

وَيَجِبُ عَلَيهِ الوُضُوءُ لِكُلِّ فَرضٍ كَالتَّيَمُّمِ وَكَذَا غَسلُ الفَرجِ واِبدالُ القَطنَۃِ التی بِفَمِّهِ والعصَابَۃِ وَاِن لَم تَزَلْ عَن مَوضِعِهَا

  Dan wajib bagi orang yang mengalami langgeng hadas (mengalami hadats terus menerus), berwudhu tiap kali masuk sholat fardhu, sebagaimana orang yang menggunakan tayamum (sebagai ganti wudhu).

 Dan demikian juga, (bagi orang yang mengalami hadats terus menerus karena pendarahan di bagian farji), maka wajib membasuh farji serta mengganti kapas yang di gunakan untuk menyumbat lubang farji. Dan wajib mengganti perban, Walaupun dalam mengganti perban tersebut tidak bergeser dari tempat semula.

وَعلٰی نَحوِ سَلِسٍ مُبَادَرَۃٌ بِالصَّلاۃِ فَلَو اَخَّرَ لِمَصلَحَتِهَا كَانتِظَارِ جَمَاعَۃٍ او جُمعَۃٍ وَاِن اَخَّرَت عَن اَوَّلِ الوَقتِ وَكَذَهابٍ اِلٰی المَسجِدِ لَم يَضُرُّهُ

  Dan wajib bagi semisal orang yang berpenyakit kencing yang merembes terus menerus, untuk bersegera melakukan sholat (setelah selesai wudhu).

  Tetapi seandainya ia mengundur sholatnya demi kemaslahatan sholat, seperti demi menunggu berjama'ah atau menunggu sholat jum'ah (sambil mendengarkan khutbah) walaupun dia harus mengundur hingga awal waktu, dan seperti karena berjalan agak lama menuju ke masjid, maka itu tidaklah mejadi mudhorot baginya, (yakni tidaklah mengapa). [SII Group].

Share :

0 Response to "SYARAT-SYARAT WUDLU"

Posting Komentar