BAB-11s.Siapakah Syeikh Siti Jenar?


Setelah adanya riwayat para wali dan ajarannya diatas, kami ingin sedikit mengutip tentang Syeikh Siti Jenar. Dalam riwayat hidup singkat sembilan wali di Jawa, tentang perjuangan dan kegiatan mereka untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia –khususnya dipulau Jawa–, bukan tanpa menghadapi kendala dan rintangan. Rintangan tersebut tidak semata-mata datang dari pihak kelompok-kelompok penganut animisme (kaum penyembah roh-roh), para penyembah dewa-dewa dan berhala saja, melainkan juga datang dari oknum-oknum yang disatu pihak mereka tidak mempercayai ajaran Hinduisme dan Budhisme, tetapi dilain pihak mereka juga menolak agama Islam. Mungkin mereka itu penganut sisa ajaran kepercayaan sebelum kedatangan Hinduisme dan Budhisme dipulau Jawa. Tegasnya ialah mereka yang sedang mencari-cari kepercayaan yang di anggap dapat memenuhi selera dan jalan pikiran sendiri. Menurut Dr.P.J.Zoetmulder S.J Pantheisme en Monisme hal. 350-351, Wali Songo oleh K.H.R. Abdullah bin Nuh dan Sekitar Wali Songo oleh Solichin Salam, mereka adalah sekelompok orang penganut paham Pantheisme, yaitu suatu paham yang memandang bahwa Tuhan dalam wujud adalah suatu kesatuan (Wahdatul-Wujud).

a). Ada sementara orang yang berpendapat bahwa pelopor ajaran (Pantheisme) diatas tersebut  ialah Syeikh Siti Jenar, termasuk dalam jajaran para wali di Jawa. Kemudian ,menurut pendapat sementara orang ini, karena Syeikh Jenar menyebarkan mistisisme yang menyesat- kan dan sangat jauh menyimpang dari segi agama Islam, ia dikeluarkan dari jajaran para wali, dikucilkan kemudian dilarang berdakwah dan pada akhirnya dia dijatuhi hukuman mati.  

b). Pendapat yang lain mengatakan, jika benar Siti Jenar itu dalam jajaran para wali, sudah pasti ia termasuk dalam kelompok sembilan orang wali di Jawa. Banyak penulis sejarah berpendapat bahwa nama Siti Jenar adalah nama samaran/julukan bukan nama sesungguh- nya. Seperti Sunan Kalijaga juga dikenal dengan nama samaran Syeikh Malaya dan masih banyak contoh lainnya.

c). Ada lagi riwayat yang tidak menggolongkan Syeik Siti Jenar didalam kelompok atau jajaran para wali. Sebab orang mukmin dan muslim yang telah beroleh sebutan ‘Wali’ atau ‘Waliyullah’, ia pasti seorang yang telah mencapai martabat takwa yang tinggi, dan orang sedemikian itu tidak mungkin meleset jauh dari syariat seperti yang dilakukan Syeikh Siti Jenar. Kalau ditinjau dari soal yang terpokok (secara dhohir) dan terpenting dalam agama Islam ,yakni soal akidah, Syeikh Siti Jenar tidak dapat dipandang sebagai Muslim atau Mukmin. Tidak ada orang beriman atau pemeluk Islam yang menyatakan bahwa Tuhan manunggal (menyatu) dengan dirinya atau dengan makhluk ciptaan-Nya.
Para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia ,di Jawa khususnya, mengajarkan prinsip akidah sebagaimana yang menjadi keyakinan semua kaum muslimin, yaitu bahwa Allah bersifat wajibul-wujud, Maha Pencipta…dan seterusnya. Sedangkan Syeikh Siti Jenar (terkenal juga dengan nama Syeikh Lemah Agung) menyatakan dan mengajarkan kepada pengikutnya: “Aku inilah Allah. Aku sesungguhnya yang bernama Prabu Satmata (atau Hyang Manon) dan tiada yang lain dengan nama Ketuhanan”. Dia mengatakan:

“Awit Seh Lemah Bang iku,
Wajahing Pangeran jati,
Nadyan sira ngaturana,
Ing Pangeran kang sejati,
Lamun Seh Lemah Bang ora,
Mangsa kalakon yekti”. 

Artinya ucapan tersebut : “Oleh karena Syeikh Siti Jenar (Syeikh Lemah Bang/abang) itu sesungguhnya wajah wujud Tuhan sejati. Meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, tetapi jika Siti Jenar tidak, maka hal itu tidak akan terlaksana”.

Dengan ucapan seperti itu, maka Syeikh Siti Jenar membantah ajaran akidah Wajibul Wujud yang diberikan oleh para Wali kepada kaum muslimin. Siti Jenar juga berkata:

“Aja na kakehan semu,
Iya ingsun iki Allah,
Nyata, Ingsun kang sejati,
Jejuluk Prabu Satmata,
Tan ana liyan jatine,
Ingkang aran bangsa Allah”.

Artinya: “Jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. Saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiada yang lain bernama Ketuhanan”.

Ajaran-ajaran Siti Jenar dan ucapan-ucapannya seperti yang tersebut diatas bisa menyesatkan dan membahayakan pikiran kaum muslimin dipulau Jawa yang pada umumnya waktu itu masih pada taraf pertumbuhan. (lihat: sekitar wali songo oleh Solichin Salam). Mengingat paham Siti Jenar itu dan mengingat bahaya-bahayanya, yang akan merusak kesucian agama Islam, maka didalam suatu pertemuan khusus para sembilan wali (wali songo) dengan bulat memutuskan hukuman mati terhadap Siti Jenar.

Diriwayatkan juga bahwa diantara para pengikut Syeikh Siti Jenar yang terkemuka ialah: Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung dan Ki Lontang.

Sementara kalangan, menganggap bahwa Syeikh Siti Jenar sebagai ‘Ahlul Bid’ah’ karena kesalahan-kesalahan dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu Tasawwuf. Kalau melihat paham dan ajaran-ajarannya, Siti Jenar sudah lebih jauh dari Ahlul-Bid’ah, karena paham dia bertentangan dengan sifat Allah ---Wajibul-Wujud. Bahkan Siti Jenar menyebut dirinya Allah, karena beranggapan bahwa Allah menyatu dengan dirinya. Untuk lebih jelas lagi sejauh mana paham Siti Jenar alias Seh Lemah Abang itu, kita dapat membaca sebuah buku klasik yang berjudul Widya Poestaka (Zoet Mulder S.J.Dr.P.J.:Phantheisme en Monisme hal.350-351; Ringkasan sejarah Wali Songo oleh K.H.R. Abdullah bin N. Pada halaman 21 dibuku tersebut, murid terkemuka Seh Lemah Abang yang bernama Ki Ageng Pengging, mengatakan sebagai berikut:

“Kyageng Pengging tan rininga,
Angengkoki Jatining Maha Suci,
Allah kana-kene suwung,
Jatine among asma,
Asmaning manungsa ingkang linuhung,
Mengku sifat kalihdasa,
Agama Budha Islam iku,
Karone ora beda
Warno roro asmane mung sawiji”.

Artinya: Ki Ageng Pengging tanpa ragu mempertahankan pendirian: Allah Yang Maha Suci disana-sini kosong (nonsense). Allah sesungguh nya hanyalah nama, yaitu nama dari manusia yang maha luhur, mempunyai sifat dua puluh. Agama Budha dan Islam itu kedua-duanya tidak berbeda, berdua warna bentuknya tetapi hakekatnya hanya satu”.

Dari paham dan ajaran tersebut diketahui, bahwa yang disebut Allah adalah nonsense (kosong, tidak ada), ‘Allah’, hanya nama manusia maha luhur. Kalimat terselubung itu menunjuk kepada Sidharta Budha Gautama. Oleh karena itu pada akhirnya agama Islam disamakan dengan agama Budha,  hanya berbeda nama tetapi hakekatnya satu jua. Dengan demikian ajaran semacam itu sudah lebih jauh dari ‘bid’ah’, bahkan jelas merupakan ajaran ilhad (atheisme). Karenanya, tidak aneh jika ia memandang agama Islam sama dengan agama Budha, bahkan mungkin memandang semua agama itu sama.

Pemikiran Siti Jenar mengenai surga dan neraka, dapat kita temukan didalam buku Widya Poestaka halaman 28. Siti Jenar mengatakan:

“Neraka miwah swarga di,
begja kalawan cilaka,
gumelar ing ngalam pati,
ya ngalam donya iki”.

“Swarga neraka sami,
nora langgeng bisa lebur,
dene dunung ira,
among neng tyase pribadi,
seneng pareng iku ingkang aran swarga”.

Artinya: “Neraka dan sorga indah, bahagia dan celaka, tergelar dialam mati, yakni alam dunia ini. Sorga neraka itu keduanya tidak kekal dan dapat lenyap. Adapun letaknya hanya didalam rasa hati masing-masing pribadi (orang). Senang puas itulah sorga”.

Beberapa kutipan tersebut diatas diambil dari makalah yang ditulis oleh Dr.Widji Saksono didalam majalah “Al-Jami’ah nomer 4-5 tahun I, bulan april-mei 1962, dibawah judul ‘Fragmenta Seh Lemah Abang’”.

Sebagai praktek peribadatan menurut ajaran Seh Lemah Abang yang dilakukan dan dituturkan oleh salah seorang muridnya yang terkemuka Ki (Lebe) Lontang, sebagai berikut:

“25...adikir ojrat ripangi

“26  Tinggalero gujeng junun,
        Sadaya buka pribadi,
        Jalwestri atutup muka,
        Pambukaning roh idhopi.

“27   Samya aru pengujeripun,
        wang weng gedeg gobag-gabig,
        manthuk krep neratek nyengka,
        napas winotan ing dikir,
        sewu kalimah senapas,
        keh unen-unen ing dikir.

“28   La ialahi illahu,
        hailallah illallahi,
        weneh Allah…Allah,
        kang hu hu hu hu hi hi hi hi ,
        eeiiaa,
        la la la la la hak hik hak hik.

“29   Sareng panarima junun,
         ting karingkelan gulinting,
        saujur-ujure niba,
        wor jaler lan estri,
        sundul bantal-binantal,
        tan ana walang asisik.

“30   Sesangat denira kantu,
        denya kalenger tan eling,
        wus dangu antaranira,
        kang sami ya pada birahi,
        tangi saking pejununan.

Artinya :

“26      Hiruk pikuk berputaran bermabukan,
            semua buka pakaian dari sekujur badan,
            lelaki wanita bertutup muka,
            pembuka roh idhopi (idhafi)

“27      Semakin meninggi hiruk pikuknya,
            wang weng geleng kepala berputar-putar,
            manggut kebawah mendongak keatas gemetar,
            napas bersengal mendengus bercampur suara dikir,
            seribu kalimat keluar serentak dengusan napas,
            maka membanyaklah derunya dikir.

“28      (Lihat teks atau kalimat aslinya dalam bahasa Jawa)

“29      Setelah sampai puncak jununnya,
            rebah bergelimpangan berkeleleran,
            bercampur baur lelaki perempuan,
            bertumpuk-tumpuk terlena tanpa sadar,
            dalam suasana tiada suara berbisik.

“30      Sesaat mereka terlena, pingsan,
            dalam keadaan hilang ingatan,
            lama nian masa berlalu,
            semua tenggelam didalam fana,
            fana dalam birahi barulah sadar kembali.

Sekarang orang sudah akan bertanya, apakah ajaran keagamaan –baik dalam hal keyakinan maupun dalam hal peribadatan– seperti tersebut diatas dapat ditolerir oleh Islam dan kaum muslimin? Apakah masih ada yang hendak mengatakan bahwa ajaran Siti Lemah Abang itu sama dengan aliran Sufisme? Karena aliran Sufisme itu tidak sama dengan aliran Siti Jenar! 
Ajaran Siti Jenar bertentangan dengan ajaran para Wali yang mendakwahkan agama Islam di Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia pada umumnya. Para wali ini mengajarkan dan menyebarkan akidah yang telah disepakati oleh para ulama dan yang berdalil menurut Kitabullah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. Dalam soal-soal furu’ hukum syariat (fiqih) mereka berpegang pada madzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam hal tasawuf mereka mengikuti tasawuf Imam Ghozali, yaitu mengolah kesucian bathin dalam mendekatkan diri kepada Al-Khaliq, tanpa meremehkan sedikitpun soal-soal syari’at. Dari dua segi ini, sudah tampak jelas perbedaan paham antara ajaran para wali (khususnya wali songo) dengan paham Syeikh Siti Jenar.
Apabila kita perhatikan sedikit saja soal peribadatan (dzikir) yang diajarkan olehnya –menurut penuturan muridnya yang kenamaan Ki (Lebe) Lontang- seperti yang telah kami kemukakan tadi, sukar sekali untuk dapat disebut sebagai dzikir. Dengan berkedok kaling agung Laa ilaaha illallah melakukan upacara-upacara yang porno, yang bertentangan dengan syariat Islam. 

Berbicara mengenai praktek seperti tersebut diatas, mengingatkan kita suatu peristiwa yang terjadi pada tahun 60-an disuatu tempat di Jawa Barat. Seorang penyebar agama Islam Hakeko bersama beberapa orang muridnya mempraktekkan peribadatan seperti yang ditutur kan oleh Ki (Lebe) Lontang. Berkat kewaspadaan masyarakat dan kesiagapan alat-alat Negara mereka digrebeg dan dimintai pertanggung- jawaban. Kita tidak dapat memastikan apakah mereka itu sisa-sisa penganut ajaran Siti jenar atau bukan. Yang kita ketahui adalah bahwa peristiwa tersebut diketahui oleh masyarakat luas melalui berita di masa media.

Menurut riwayat, dalam abad ke 16 M ,yakni zaman kekosongan para wali, di Jawa masih berdiri beberapa kerajaan atau kesultanan Islam. Yang terpenting diantaranya adalah Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Sedangkan kerajaan Bintoro Demak telah kehilangan peranannya, karena kelemahannya terus-menerus akibat rongrongan dari dalam maupun dari luar. Dengan berkurangnya da’i dan muballigh yang hebat seperti para wali dimasa lalu, agama Islam di Jawa Tengah agak mengalami gangguan. Kaum muslimim dari lapisan atas mulai memasukkan pikiran-pikiran filsafat kedalam agama Islam, khususnya pikiran falsafat peninggalan masa sebelum Islam.

Akibat pencampuradukan pikiran falsafat dengan agama, pada gilirannya muncullah sejumlah orang Muslimin yang berpikir bahwa yang terpenting didalam ajaran semua agama hanyalah; Kesadaran mengenal dan senantiasa ingat kepada Tuhan. Mengenai ajaran-ajaran lainnya yang ada pada semua agama, semuanya itu dipandang oleh golongan ini sebagai nomer dua. Orang-orang yang berpikir seperti itu makin lama makin hilang kepercayaannya mengenai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para Nabi, termasuk Nabi Muhammad saw, dan mereka berpikiran bahwa masalah ibadah bukan suatu hal yang harus ditunaikan. Pikiran mereka ini ,walaupun tidak sepenuhnya sama, hampir serupa dengan pemikiran Sultan Akbar di India, raja ketiga dari dinasti yang didirikan oleh Baber. Pikiran yang menjadi ciri khas dan menguasai diri Sultan ini ialah bahwa ajaran Islam dan agama-agama lainnya tidak harus dipegang teguh dan tidak harus dilaksanakan (Lihat: “Islam” karangan Henri Masse ,seorang bangsa Perancis, ahli sejarah ketimuran.Collin,1930. “Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus” disusun oleh Muhamad Thohir, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta). Kendati berpikir demikian mereka itu tetap mengakui Islam sebagai agamanya.

Lain halnya kaum muslimin di Jawa Barat ,dikawasan masa kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon, yang pada masa itu secara praktis telah mengambil alih peranan Bintoro Demak. Dari tahun 1524 hingga tahun 1568 M kesultanan Banten merupakan bagian dari kesultanan Demak. Akan tetapi dari tahun 1568 hingga 1752 M Banten berdiri sendiri sebagai kesultanan. Hal itu disebabkan oleh kelemahan Demak yang terus merosot sepeninggal Sultan Trenggono. Dari tahun 1752 hingga 1832 M kesultanan Banten berjuang keras membebaskan dri dari belenggu kolonialisme Belanda. Dalam kurun waktu tersebut Banten berdiri sebagai pembela agama Islam dan menjadi salah satu mata rantai penting dalam perjuangan mempertahankan agama Islam Indonesia. Kesultanan Banten ini tidak mengalami rongrongan dari dalam seperti halnya Demak. Yaitu rongrongan dari orang-orang yang masih merindukan kepercayaan lama semasa kejayaan Hinduisme dan Budhisme dipulau Jawa. Banten hanya menghadapi satu musuh dari luar yaitu kekuatan kolonialisme Portugis yang hendak menancapkan penjajahannya di Sunda Kelapa. Meskipun Jawa Barat pernah juga dikuasai oleh raja Pejajaran (raja Hindu), tetapi setelah kerajaan Hindu itu runtuh, agama Islam meluas dengan cepat dan lebih berakar dikalangan rakyat. Wallahu a'lam.
Demikianlah sekelumit riwayat ,yang ditulis oleh ahli sejarah, mengenai ajaran dan pengikut Syeikh Siti Jenar.

Dari semua uraian tadi yang ditulis oleh pakar sejarah baik penulis Barat maupun penulis Timur, dapat kita ambil kesimpulan bahwa  yang mendakwahkan agama Islam pada umumnya orang-orang Arab atau keturunan Arab, yang datang melalui India atau negeri lain. Mereka bertebaran diberbagai kawasan di Timur dan melalui mereka inilah agama Islam tersebar. Dari semuanya itu dapat diketahui bahwa para penyebar agama Islam itu banyak terdiri dari kaum Sayid Alawiyyin dari Hadramaut. Sebagaimana diketahui bahwa para Sayid itu pada umumnya dipandang sebagai sumber pemikiran dan sumber kehidupan spiritual dari pusat-pusat agama Islam, baik yang berada dinegeri-negeri Arab, di India maupun dikawasan Timur Jauh. Sedang ada orang yang mengatakan penyebaran agama Islam yang pertama adalah dari orang-orang keturunan Cina atau keturunan Hindia, adalah tidak benar!!!

Mengenai nama-nama asli mereka (bukan silsilahnya) sembilan orang wali –kecuali Maulana Malik Ibrahim– hingga sekarang masih terdapat sedikit perbedaan diantara para penulis. Hal itu dapat di maklumi karena mereka pada umumnya tidak meninggalkan pusaka-pusaka tertulis. Adapun nama-nama yang didahului dengan sebutan Sunan semuanya adalah nama-nama julukan atau gelar yang berasal dari kata Susuhunan artinya Yang Mulia. Demikian pula gelar Maulana yang bermakna Pemimpin kita. Semua nama julukan atau nama gelar tersebut diberikan oleh masyarakat muslimin di Jawa pada masa dahulu, karena ketika itu mereka belum mengenal sebutan Sayid, Syarif dan Habib yang lazim digunakan untuk menyebut nama-nama keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Sampai sekarang, setiap hari berbondong-bondong para penziarah –baik yang dari Indonesia maupun dari luar negeri– yang berkunjung kepusara para wali Songo tersebut.  Ditempat pemakaman mereka ini para penziarah membaca tahlil, berdoa kepada Allah swt. sambil bertawassul serta bertabaruuk kepada para wali tersebut. (baca bab Tawassul/Tabarruk disitus ini).

Share :