BAB-10b.Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan oleh kaum muslimin pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:

     Ibadah dan berdo’a pada malam Nishfu Sya’ban walau pun bermacam-macam tapi makna dan intinya sama yakni bermohon kepada Allah swt. untuk kebaikan didunia dan akhirat. Ada yang shalat sunnah enam rakaat pada waktu antara maghrib dan Isya’, banyak hadits yang tidak diragukan ke benarannya mensunnahkan shalat enam raka’at tersebut. Jika seorang hamba Allah bertawassul kepada-Nya melalui shalat enam raka’at itu, sungguhlah bahwa tawassul yang dilakukannya itu adalah amalan shalih, dan itu tidak dapat disangkal. Karena itu sama halnya orang yang melakukan sholat Hajat, yaitu shalat sunnah yang dengan bulat dibenarkan oleh semua umat Islam.             
Cara ibadah lainnya yaitu berdo’a dengan tawassul membaca surat Yaasin pada malam nishfu Sya’ban ini, setiap setelah baca Yaasin sekali langsung disambung dengan do’a dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga kali. Bacaan pertama dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt., bacaan yang keduadengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari berbagai kesusahan dan bacaan yang ketiga dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari rasa minder/rendah diri terhadap manusia (Istighna ‘anin Naas). Ini semua tidak lain merupakan tawassul kepada Allah swt. dengan Kitab Suci-Nya, dengan firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya. Kebaikan yang diminta oleh seorang hamba Allah dari Tuhannya pada hakikat kenyataan nya berharapan agar Allah swt. berkenan menghapus keburukannya atau dosanya, karena amal kebaikan itu akanmeniadakan keburukan, sebagaimana firman-firman Allah swt. berikut ini :

 إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئـاتِ                                                      

Artinya: "Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan    ( Hud : ayat 114 ).

                                                             ََاُوْلآئكََ يُبَـدّلُ اللهُ سَيِّـئَاتِهِمْ حَسَـنَاتٍ

Artinya: “Mereka itulah orang orang yang keburukannya diganti Allah dengan kebaikan”.  (Al-Furqan : 70).

ثُـمَّ بَدَّلْـنَـا مَكَانَ السَّـيِّـئَةِ الحَسَـنَةَ
Artinya: “Kemudian keburukan (yang ada pada mereka) Kami ganti dengan kebaikan”.   (Al-A’raf:95).

Dan masih ada firman Allah swt. yang menyerukan agar kita berlomba-lomba mengerjakan kebaikan.

Sedangkan dalam hadits dari Ibn Mas’ud ra berkata:

وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْد(ر) أَنَّ رَجُلأ أَصاَبَ مِنِ امْرَأَةٍ قُبْلَةً فَاتَى النَّبِيِّ فَأخْبَرَهُ فَأنْزَلَ الله ُتَعَالَى
 : وَأَقِمِ الصَّلآةَ طَرَفَىِ النَّهَارٍوَزُلَفـاً مِنَ الَّليـلِ أِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهـِبْنَ السَّيئَاتِ.
 فَقَالَ الرَّجُلُ : أَلِي هَذَا يَا رَسُولَ الله ؟ قَالَ :  لِجَمِيعِ أُمّتِي كُلِّهِمْ (رواه البخاري و مسلم ) 
  
Artinya:  “Seorang lelaki mencium wanita, maka ia datang kepada Nabi saw. memberitahu hal itu. Maka Allah menurunkan (firman-Nya): ‘Tegakkan sholat pada pagi dan sore, dan pada waktu malam. Sesungguhnyakebaikan itu dapat menghapus keburukan' (QS.Hud:114). Maka orang itu bertanya: ‘Apakah hukum ini khusus untukku’, wahai Rasulallah ? Jawab Nabi saw: ’Untuk semua umatku’ ". (HR.Bukhori dan Muslim)
Setiap hari kita dianjurkan beramal sholeh disamping amalan wajibnya, dan Allah swt. akan memberi pahala bagi orang yang mengamalkannya. Lepas dari itu, kita mengenal dalil-dalil didalam Islam yang menunjukkan bahwa ada hari-hari, bulan dan malam-malam tertentu yang mana pada waktu-waktu tertentu tersebut Allah swt. lebihmeluaskan ampunan,kurnia serta rahmat-Nya kepada hamba Allah yang sedang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut melebihi daripada hari-hari, malam-malam atau bulan-bulan biasa. Masalah-masalah ini semua yang penting adalah agar orang tidak menyakini bahwa pembacaan-pembacaan do’a, peribadatan dan lain-lain pada hari atau bulan yang dimuliakan –diantaranya malam nishfu Sya’ban itu– diwajibkan atau ditekankan oleh syariat, sehingga nanti orang yang tidak sependapat dengan mereka, memandang  salah dan durhaka. Tidak lain kegiatan ibadah sunnah pada waktu-waktu tersebut adalah fadhilah mubah bagi siapa yang beroleh taufiq Ilahi. Dan orang-orang yang beroleh taufiq ilahi tidak banyak jumlahnya.       

Masih banyak hadits lainnya yang tidak kami kemukakan dibab ini mengenai keistemewaan-keistemewaan serta pahala beramal ibadah pada hari atau bulan-bulan tertentu umpama: hari Jum’at, puasa pada hari Senin dan Kamis, bulan Ramadhan, puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fithri, puasa pada hari ‘Asyura, giat beribadah pada malam lailatul Qadr dan keistemewaan mengenai bacaan surat tertentu dari Al-Qur’an dan lain sebagainya. Juga hadits-hadits yang meriwayatkan kemuliaan tempat-tempat tertentu seperti tempat-tempat yang disebutkan pada manasik haji, keutamaan dari tiga masjid, kesucian lembah Thuwa, tempat bekas berdirinya nabi Ibrahin as. dan lain sebagainya. Dengan demikian kita bisa ambil kesimpulan bahwa didalam Islam telah dikenal adanyakeistemewaan dari Allah swt. bagi orang yang beramal ibadah pada waktu-waktu dan ditempat-tempat tersebut. Bila ada orang mengatakan bahwa semua hari, bulan, pembacaan ayat-ayat Qur’an, serta tempat-tempat tertentu itu sama semuanya tidak ada yang lebih utama satu sama lain, begitu juga amalan-amalan ibadah pada hari dan tempat-tempat tertentu sama juga pahalanya, maka kami ingin bertanya pada mereka:        

Apakah gunanya  riwayat-riwayat mengenai; pahala-pahala amalan tertentu, bacaan yang mempunyai manfaat tertentu, pahala ibadah pada tempat-tempat dan bulan-bulan tertentu serta malam yang Allah meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya dan lain sebagainya, kalau semuanya itu tidak ada keistimewaannya atau kalau semua sama pahalanya dan keutamaannya? Apakah semua dalil-dalil tersebut palsu, bohong, dho’if, harus dibuang dan di munkarkan karena tidak sesuai dengan akal kita atau karena ber lawanan dengan pahamnya sebagian ulama?        

Kami sayangkan masih adanya golongan muslimin yang sering aktif menteror sesama saudara muslim yang meng- amalkan amalan-amalan ibadah nawafil /sunnah atau mubah yang telah kami kemukakan dibuku ini. Golongan pengingkar ini setiap kali datang bulan-bulan diantaranya bulan Maulidin Nabi saw., bulan Sya’ban, bulan Rajab menyebarkan makalah-makalah dari website mereka yang ditulis oleh ulama  golongan ini. Ulama mereka menulis hadits-hadits dan ayat Ilahi –yang menurut paham mereka– sebagai larangan mengamalkan amalan-amalan mubah tersebut. Mereka ini tidak segan-segan langsung menvonnis bahwa amalan-amalan yang diamalkan oleh kaum muslimin didunia pada bulan-bulan tertentu itu sebagai amalan Haram, Bid’ah Munkar atau syirik dan lain sebagainya. Tetapi herannya kaum muslimin yang mengamalkan ini bertambah banyak, jadi bertambah banyak makalah-makalah yang mereka tulis bertambah banyak orang yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau mubah tersebut. Subhanallah.       

Kalau kita teliti lagi, perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca di kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu, Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau di palsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab dan amalannya, keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya, keutamaan nishfu Sya’ban dan amalannya. Perbedaan pendapat amalan nawafil/ sunnah atau mubah ini sebenarnya tidak perlu diperuncing atau dipertajam sehingga sering mengakibatkan sesat-mensesatkan, benci-membenci antar sesama muslim. Siapa yang akan mengamalkan kebaikan itu, silahkan, dan yang tidak akan mengamalkan amalan-amalan kebaikan itu itu yah silahkan juga !!          

Kalau kita telaah dalil-dalil keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban, dalam kenyataannya banyak beredar hadits –baik yang dhoif mau pun yang shohih atau hasan– yang juga diakui oleh sebagian ulama golongan pengingkar ini sendiri. Hanya sayangnya golongan tertentu ini –karena fanatiknya dengan  paham mereka sendiri– tidak segan-segan dan berani menvonnis bahwa amalan  amalan itu semuanya bid’ah munkar yang harus diperangi dan lain sebagainya. Yang sering digembar-gemborkan oleh golongan ini ialah tentang amalan-amalan; Tawassul, Tabarruk, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, peringatan maulidin Nabi saw. dan sebagainya. Alasan mereka: “Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para shahabatnya tidak ada satu pun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in”. Atau ucapan mereka: “Kita kaum muslimin di perintahkan untuk mengikuti Nabi saw. yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, mengapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.       

Kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini, juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuat  an amalan nawafil atau mubah tersebut. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan‘sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’  tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.       

Omongan mereka seperti ‘Rasulallah saw., para sahabat dan tabi’in tidak pernah melakukan amalan.... ’, seakan-akan mereka itu pernah hidup pada zamannya Rasulallah saw. atau zamannya para sahabat beliau saw. sehingga menyaksikan dengan mata kepala sendiri amalan-amalan yang diamalkan oleh Nabi saw. dan para sahabat beliau saw.!
Sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelum nya bahwa Allah swt. berfirman: “Apa saja yang didatangkanoleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengamalkannya)”.  (QS. Al-Hasyr : 7). Dalam ayat ini tidak dikatakan: ‘Dan apa saja yang tidak pernahdikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’. Begitu juga hadits Rasulallah saw.: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia”. (HR.Bukhori). Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak bersabda; ’Apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia’. 

Dengan demikian memahami makna ayat dan hadits yang terakhir itu, kita bisa mengambil kesimpulan: Dalil untukmengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an mau punHadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi bukan seenaknya menurut pemikirannya sebagian orang. Semua perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan oleh syari’at Islam sudah jelas diterangkan dalam Sunnah Rasulallah saw., bila tidak ada keterangan yang jelas mengenai suatu amalan, maka para ulama akan meneliti dahulu apakah amalan yang bersangkutan itu berlawanan dengan hukum yang telah digariskan oleh syari’at Islam (hukum pokok Islam). Dengan demikian ayat dan hadits tersebut jelas maknanya: Bahwa suatu perbuatan tidak boleh diharamkan hanya karena alasan bahwa Nabi saw., para sahabat  atau salafus sholih tidak pernah meng-amalkannya!.Begitu juga tidak semua kata-kata Bid’ah (rekyasa yang baru) itu otomatisharam, sesat dan lain sebagainya. Banyak sekali amalan para sahabat yang Bid’ah pada zaman Rasulallah saw. mau pun setelah wafat beliau yang tidak pernah diajarkan dan di perintahkan oleh beliau saw.. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa amalan Bid’ah para sahabat itu itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya. (keterangan lebih mendetail silahkan membaca bab Bid’ah dibuku ini) 

Share :

0 Response to "BAB-10b.Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan oleh kaum muslimin pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:"

Posting Komentar