BAB-11j.Pengertian mengenai kata dzurriyyat atau keturunan:

Ibnul-Qayyim menjelaskan sebagai berikut: Di kalangan para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyyat. Yang dimaksud dengan kata itu ialah anak-cucu keturunan, besar mau pun kecil. Kata tersebut dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat, antara lain pada Surat Al-Baqarah:124: “....Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai Imam bagi ummat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah mereka juga akan menjadi Imam?)... sampai akhir ayat.   
Dari pengertian ayat tersebut pastilah sudah bahwa kata dzurriyyat tidak bermakna lain kecuali anak-cucu keturunan. Akan tetapi apakah keturunan dari anak perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyyat? Mengenai ini ada dua pendapat kalangan para ulama. Pendapat pertama, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa keturunan dari anak perempuan adalah termasuk dalam pengertian dzurriyyat. Demikian pula menurut madzhab Imam Syafi’i.   
Pendapat pertama ini sepakat bahwa semua anak cucu keturunan Siti Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad saw. termasuk dalam pengertian dzurriyyat yakni dzurriyatun-Nabiy (Keturunan Rasulallah saw.). Sebab tidak ada puteri Nabi saw. selain Siti Fathimah ra yang dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh sebab itu wajarlah jika Rasulallah saw. menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai putera-puterabeliau. Banyak hadits yang memberitakan pernyataan beliau, antara lain ‘Al-Hasan ini adalah anak lelaki-ku, ia seorang sayyid’ (kelak akan jadi pemimpin). Juga ayat Mubahalah. dalam surat Aali ‘Imran:61 ’....maka katakanlah marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu....’ sampai akhir ayat. Setelah itu Rasulallah saw. segera memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah Az-Zahrah, Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berangkat untuk bermubahalah dengan kaum musyrikin. 

Ibnul Qayyim berkata lebih jauh, Allah swt. telah berfirman mengenai keturunan Ibrahim as. dalam surat Al-An’am:84: ‘...Dan dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami beri balas kebajikan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Ilyas.. .sampai akhir ayat'. 
Sebagaimana diketahui, Nabi Isa putera Maryam as. tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim a.s. selain dari bundanya., Maryam. Jelaslah bahwa keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat.

Sedangkan pendapat kedua, yang mengatakan bahwa keturunan dari anak perempuan tidak termasuk dalam pengertian dzurriyyat berdalil: Keturunan dari seorang perempuan pada hakikatnya adalah keturunan dari suaminya. Karena itu jika ada seorang wanita keturunan Bani Hasyim melahirkan anak dari suami bukan dari Bani Hasyim, maka keturunannya itu bukan keturunan Bani Hasyim. Pihak pendapat kedua ini mengatakan juga bahwa orang merdeka (bukan budak) keturunannya adalah mengikuti silsilah ayah, sedangkan budak keturunannya mengikuti silsilah ibu. Namun dalam pandangan agama, yang terbaik diantara keduanya ialah yang terbesar ketakwaannya.  
Mereka ini juga mengatakan bahwa dimasukkannya anak-anak Fathimah Az-Zahra ra. dalam  dzurriyyat Nabi saw semata-mata karena kemuliaan dan keagungan martabat ayahnya (Muhammad saw), yang tiada tolok bandingnya didunia. Jadi dzurriyyat (keturunan) Nabi dari putri beliau itu merupakan kelanjutan dari keagungan martabat beliau saw.. Kita mengetahui bahwa keagungan seperti itu tidak ada pada orang-orang besar, raja-raja dan lain sebagainya. Karena itu mereka tidak memandang keturunan dari anak-anak perempuan mereka sebagaidzurriyyat yang berhak mewarisi kebesaran atau kemuliaan mereka. Yang dipandang benar-benar sebagaidzurriyyat oleh mereka adalah keturunan dari anak-anak lelaki mereka. Kalau keturunan dari anak perempuan dipandang sebagai dzurriyyat, itu hanyalah disebabkan oleh faktor kemuliaan dan ketinggian martabat ayah anak perempuan itu. Demikianlah pendapat pihak kedua.

Menanggapi dalil yang dikemukakan pendapat pihak kedua diatas ini, Ibnul-Qayyim berkata; bahwa pandangan seperti itu mengenai dzurriyyat Rasulallah saw. tidaklah pada tempatnya dan tidak dapat dibenarkan, sebab itu merupakan penyamaan antara soal-soal keduniaan dan soal-soal keagamaan. Tanggapan beliau lebih jauh dapat diteliti dalam kitabnya yang berjudul Jala’ul-Afham halaman 177.

Keturunan yang dijuluki Syarif/Sayyid atau Syarifah/Sayyidah: 
Sehubungan dengan masalah-masalah mengenai siapakah ahlul-bait dan nasab keturunan Rasulallah saw. yang telah dikemukakan tadi pada dasarnya semua keturunan Ahlul Bait Rasulallah saw. ialah yang diharamkan terima sedekah/zakat. Mereka itu khususnya adalah yang dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallah-‘anhuma,bukan orang yang berasal dari keturunan dua orang saudara perempuan mereka berdua, walaupun semuanya ini adalah putri-putri Siti Fathimah binti Rasulallah saw..           
Ketentuan seperti ini juga berdasarkan pada hadits berasal dari Jabir ra. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya dan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya. Menurut hadits tersebut Siti Fathimah ra. menuturkan bahwa ayahndanya (Rasulallah saw.) pernah berkata: “Setiap orang dari anak Adam (yang dilahirkan oleh seorang ibu)termasuk didalam suatu ‘ashbah (kelompok dari satu keturunan), kecuali dua orang putra (Siti) Fathimah. Akulah wali dan ‘ashbah mereka berdua’. Yang dimaksud dua orang putra Siti Fathimah disini yaitu Al-Hasan dan Al-Husain.
Juga dalam hadits Rasulallah saw. pernah bersabda: “Semua anak Adam bernasab kepada orangtua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah (Al-Hasan dan Al-Husain). Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka”.
Dua hadits diatas itu diperkuat dengan sabda Rasulallah saw. yang diriwayat kan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya Al-Ahkam dan Imam Muslim dalam kitabnya Al-Imarah yang mana beliau saw. menyatakan dengan tegas bahwa Al-Hasan dan Al-Husain sebagai putra beliau, bunyi hadits sebagai berikut: “Dua orang puteraku ini(beliau sambil menunjuk pada Al-Hasan dan Al-Husain) adalah Imam-Imam, baik disaat mereka sedang duduk atau pun sedang berdiri ”. 

Begitu juga Allah swt. sendiri berfirman dalam surat Aal-Imran ayat 61: “Maka katakanlah (Hai Muhammad kepada mereka), Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita kami dan wanita kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.
Peristiwa singkat ayat Mubahalah (Aal-Imran :61) diatas ini turun pada tahun ke 10 Hijriyyah berkenaan dengan adanya tantangan dan pendustaan dari beberapa orang utusan kaum Nasrani dari daerah Najran yang datang menghadap Rasulallah saw. untuk mempersoalkan agama Islam. Maksud mereka menghadap beliau saw. ini untuk menyanggah kebenaran berita-berita Al-Qur’an mengenai Nabi Isa as. Pembicaraan itu tidak menghasilkan persetujuan apa pun selain kesepakatan bersama untuk bermohon kepada Allah swt. untuk menurunkan kutukan dan siksa kepada pihak yang berdusta. Dalam hal itu kedua belah pihak menentukan tempat dan waktu yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.            
Ketika waktu yang ditentukan tersebut tiba, Rasulallah saw. mengajak orang-orang yang terdekat yaitu kerabatbeliau saw. yang dipandang paling mulia dan terhormat. Rasulallah saw. berjalan menuju tempat tersebut dengan menggendong Al-Husain ra. yang masih kanak-kanak dan menggandeng Al-Hasan ra. yang sudah agak besar. Dibelakang beliau saw. berjalan Siti Fathimah ra. dengan kain kerudung, sedangkan Imam ‘Ali kw. berjalan di belakangnya.
Beliau saw. bertemu dengan Kaum Nasrani tersebut sambil bersabda: “Mereka ini adalah anak-anak kami, diri kami, dan wanita kami, maka panggil lah anak-anak  kamu (kaum kafir), diri kamu dan wanita-wanita kamu, kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.

Menurut ahli tafsir dan hadits yang dimaksud kata-kata anak-anak kami dalam ayat itu ialah Al-Hasan dan Al-Husain [ra] ; yang di maksud wanita-wanita kami  adalah Siti Fathimah ra. dan yang dimaksud diri-diri kami dalam ayat tersebut yaitu Rasulallah saw. dan Imam Ali kw.            
Umat Islam sepakat bahwa ayat Mubahalah diatas ini turun untuk Nabi saw. , Imam Ali kw., Siti Fathimah ra., Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Kita bisa rujuk hal ini diantaranya dalam:
Shahih Muslim, kitab Al-Fadhail, bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, jilid 2 hal.360 cet. Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi jilid 15 hal. 176 cet.Mesir ;  Shahih At- Tirmidzi, jilid 4 hal. 293, hadits ke 3085 ; jilid 5 hal.301 hadits ke 3808 ; Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal. 150 ; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1 hal.185 cet.Al-Maimaniyah, jilid 3 hal. 97 hadits ke 1608, cet.Darul Ma’arif ;  Tafsir Ath-Thabari jilid 3, hal. 299, 330, 301 ; jilid 3 hal.192 cet.Al-Maimaniyah Mesir ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 1, hal. 370-371 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 4 hal. 104 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-kanji Asy-Syafi’i hal. 54, 85, 142 cet. Al-Haidariyah ; hal.13, 28, 29, 55, 56 cet. Al-Ghira ; Ahkamul Qur’an oleh Ibnu Al-‘Arabi jilid 1 hal. 275 cet.kedua Al-Halabi; jilid 1 hal.115, cet. As-Sa’adah Mesir ; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir, jilid 9 hal. 470. Dan masih banyak lagi lainnya.

Dengan memperhatikan ayat dan kalimat hadits-hadits diatas, kita dapat mengetahui bagaimana Rasulallah saw. sendiri telah mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain sebagai keturunan beliau sendiri, meski pun keduanya adalah putra-putra pasangan Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah binti Muhammad saw. Sedangkan dua orang saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain yaitu Siti Zainab dan Siti Ummu Kaltsum -radhiyallahuma- anak-anak mereka berdua ini, dikecualikan dari pengelompokan nasab dengan Rasulallah saw., karena anak-anak dari dua orang putri Siti Fathimah ra ini akan bernasab kepada ayahnya (suami dua orang putri Siti Fathimah) masing-masing yang bukan dari keluarga Ahlul-Bait.

Itulah sebabnya kaum salaf (kaum dahulu) dan khalaf (kaum belakangan) memandang anak lelaki seseorangsyarifah (wanita dari keturunan Rasulallah saw.) tidak dapat disebut syarif atau sayyid jika ayahnya bukan dari golongan Ahlul-Bait (keturunan) Rasulallah saw.. Karena itulah Rasulallah saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putra Siti Fathimah ra dan tidak  berlaku bagi anak-anak yang dilahirkan oleh putri-putri Rasulallah saw. selain Siti Fathimah ra.

Seperti Siti Zainab binti Muhammad saw., ia tidak mempunyai anak lelaki hanya mempunyai anak perempuan dari seorang ayah yang bukan Ahlul Bait ,Abul-‘Ash bin Rabi’, sehingga dengan sendirinya anak tersebut tidak termasuk kelompok Ahlul-Bait. Ketentuan Rasulallah saw. itu ditetapkan oleh beliau semasa hidupnya. Atas dasar itu maka anak-anak Amamah binti Abul-‘Ash binar-Rabi’ tidak dinasabkan kepada Rasulallah saw, karena ayah Amamah bukan lelaki dari kalangan Ahlul Bait. Seandainya Zainab binti Muhammad saw. melahirkan anak lelaki dari seorang suami dari kalangan Ahlul Bait, tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan yang berlaku juga pada Al-Hasan dan Al-Husain ra yaitu dinasabkan kepada Muhammad saw. Wallahua'lam.

Share :

0 Response to "BAB-11j.Pengertian mengenai kata dzurriyyat atau keturunan:"

Posting Komentar