BAB-9H. TENTANG TABARRUK


  Ada golongan yang keliru dalam memahami tabarruk pada pribadi Rasulallah saw., ahlul baitnya dan para pewaris beliau yaitu para ulama dan para waliyullah, dan tabarruk dengan bekas-bekas peninggalannya. Mereka kemudian menganggap setiap orang yang menempuh jalan tersebut berbuat syirik dan sesat. Orang-orang seperti ini berpandangan sempit dan berpikiran pendek dalam menghadapi masalah-masalah tersebut.
 
Tabarruk berasal dari kata Barakah. Makna atau arti tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari Allah swt. dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah swt.. Juga tabarruk ini mempunyai pengertian sama dengan tawassul/istighotsah, yang telah kami kemukakan tadi.

Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda menjadi sumber berkah agar menjadi sebab untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Allah swt. juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus dimata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi sarana memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa dan lain sebagainya.

Tabarruk boleh dilakukan dengan barang-barang, tempat atau orang dengan syarat, sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah swt. Misalnya pribadi Rasulallah saw., pusaka-pusaka peninggalannya, makamnya dan sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah, paraulama dan orang shalih lainnya, termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakamannya atau lainnya, yang juga pernah mereka jamah atau mereka jadikan tempat untuk beribadah dan berdzikir pada Allah swt.
 
Benda-benda pusaka atau tempat-tempat peninggalan mereka tersebut nilai kemuliaannya bukan karena benda atau ruangan tersebut tapi karena kaitannya dengan kemuliaan orang atau pribadi yang pernah memanfaatkan benda dan tempat tersebut dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) pada Allah swt. Sehingga pada benda atau tempat tersebut pernah turun rahmat Allah, di jamah atau didatangi malaikat Allah hingga menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tenteram. Inilah keberkahan yang di minta oleh orang yang bertabarruk dari Allah swt.
 
Juga syarat lainnya bahwa orang yang bertabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa sarana-sarana (benda atau ruangan) yang dijadikan tabarruk itu tidak dapat mendatangkan manfaat maupun madharat tanpaseizin Allah swt. Sebab semua manfaat dan madharat berada dalam kekuasaan Allah swt. sepenuhnya

Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran:

Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa Allah swt. adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta. Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Dia menciptakan dan mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun tidak tergantung kepada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan hidupnya.
Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.

Dalam al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya, secara mendasar dan murni (esensial) berkah dan pemberian berkah hanya berasal milik dan hak priogresif Allah swt. semata. Oleh karenanya, kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt. memberikan berkah kepada makhluk-makhluk-Nya.

Contoh ayat-ayat yang Allah swt. telah memberkati seseorang, sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang diberkati tersebut:

- Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman:
“Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat(yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…” (QS Hud: 48).

- Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman:
“Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya..” (QS an-Naml: 8).

- Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman:
“Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).

- Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman:
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).

Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:

- Allah swt. telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).

- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra’: 1).

- Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman:
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).

Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:

- Allah swt. telah memberikan berkah kepada al-Qur’an:
“Dan Al-Qur’an itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).

- Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun:
“Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)dan tidak pula di sebelah barat (nya)…” (QS an-Nur: 35).

- Allah swt telah memberkahi air hujan:
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).

- Allah swt telah memberkati waktu malam dimana al-Qur’an turun (lailatul Qadar):
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).

Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah?

Allah swt. dalam al-Qur’an menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:

- Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisahkan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadapTabut (peti) yang didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman:

“Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinyatabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.

Menurut riwayat, ‘Peti’ itu adalah peti dimana nabi Musa waktu bayi telah di letakkan oleh ibunya ke sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga di temukan oleh istri Fira’un, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek untuk mencari berkah (tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan olehwashi (patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka, Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka Allah swt. menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit. Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda. Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ketengah-tengah mereka. Allah swt. mengutus Tholut. Melalui dialah para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka remehkan.

Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman Allah yang berbunyi ‘dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun’ , berupa sebuah papan bertulis, tongkatbeserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).

Mengenai Tabut itu, Ibnu Katsir didalam kitab Tarikh-nya mengetengahkan keterangan yang ditulis oleh Ibnu Jarirsebagai berikut:
 
“Mereka yakni ummat yang disebut dalam ayat diatas setiap berperang melawan musuh selalu memperoleh kemenangan berkat tabut yang berisi Mitsaq (Taurat). Dengan tabut yang berisi sisa-sisa peninggalan keluarga Nabi Musa dan Nabi Harun itu Allah swt. menciptakan ketenangan bagi mereka dalam menghadapi musuh. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Tabut itu terbuat dari emas yang selalu dipergunakan untuk mencuci(membersihkan) hati para Nabi”. (Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid II hal. 8).

- Dalam Tafsir-nya Ibnu Katsir juga mengatakan, bahwa didalam Tabut itu berisi tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua buah lembaran Taurat dan pakaian Nabi Harun. Sementara orang mengatakan didalam Tabut itu terdapat sebuah tongkat dan sepasang terompah.(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal. 313).

- Al-Qurthubi mengatakan: “bahwa Tabut itu diturunkan Allah kepada Nabi Adam as. dan disimpan turun-temurun hingga sampai ketangan Nabi Ya’qub as., kemudian pindah tangan kepada Bani Israil. Berkat tabut itu orang-orang Yahudi selalu menang dalam peperangan melawan musuh, tetapi setelah mereka berbuat durhaka kepada Allah, mereka dapat dikalahkan oleh kaum ‘Amaliqah dan tabut itu berhasil dirampas dari tangan mereka (kaum Yahudi)”. (Tafsir Al-Qurthubi jilid III/248).

Lihatlah, betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampumemberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt menguji mereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin Allah swt.
 
Ummat yang disebut dalam ayat diatas selalu bertawassul atau bertabarruk dengan Tabut yang mereka bawa kemana-mana dan selalu menang didalam setiap peperangan. Apa yang dilakukan oleh umat itu ternyata tidak dicela atau dipersalahkan oleh Allah swt.

- Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Ya’qub a.s. terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku(baju Nabi Yusuf) ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93).
Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Ya’qub) yang buta akibat selalu menangisi kepergian Yusuf pun akhirnya pulih penglihatannya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat barakah yang dicurahkan oleh Allah swt. kepada baju/gamis Yusuf.

- Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsir-nya menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (do’a). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan. (Tafsir al-Kasyaf jilid 2 hal. 503).

Tentu sangat mudah bagi Allah swt. untuk mengembalikan penglihatan Nabi Ya’qub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah dibalik itu. Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt. juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus dimata Allah swt., sehingga semua itu dapat menjadi ‘sarana’. Allah swt. memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa, dan lain sebagainya.

Jika para Nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lalu bagaimana dengan benda-benda (seperti: mihrab dan mimbar....), tempat (seperti: rumah, masjid dan makam...), waktu (seperti: peringatan hari wafat, kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj..) dan mengenang keutamaan (melalui bacaan kitab Burdah, Maulid Diba’, Barzanji ...) yang berkaitan langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw., penghulu para Nabi dan Rasul, makhluk Allah yang paling sempurna, sebagai- mana yang telah dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shohih?

Dalil-dalil Tabarruk para Sahabat dari bekas air wudhu Nabi saw.:

– ...Urwah Al-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan pada kaumnya: “Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung pada kaisar Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya seperti sahabat-sahabatmengagungkan Muhammad saw. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. Mereka usapkan ludah itu kewajahnya dan kulit- nya. Bila ia memerintah mereka berlomba melaksanakannya, bila ia hendak wudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara mereka merendahkan suara dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakannya”.(HR. Bukhori 3 : 255)

Hadits yang semakna diatas, banyak diriwayatkan oleh para perawi dan penghafal hadits yaitu kisah kedatanganUrwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi saw., ia mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya–:

“Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliaumeludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada selembar rambut pun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan;

“Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadits panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).

– Thalq bin ‘Ali meriwayatkan: “Kami keluar (meninggalkan daerah) sebagai perutusan kepada Rasulallah saw. Setelah beliau saw. kami bai’at, kami shalat bersama beliau. Kemudian kepada beliau kami beritahukan bahwa kami masih mempunyai bi’ah (gereja atau kuil ). Kepada beliau kami minta agar diberi sebagian dari sisa airwudhunya. Beliau lalu menyuruh orang mengambilkan air, kemudian berwudhu dan berkumur lalu menumpahkanbekas air kumurnya ke dalam sebuah tempat/wadah.

 Kepada kami beliau berkata: ‘Pulanglah, dan setibanya didaerah kalian hancurkanlah bi’ah kalian itu lalu siramlah tempat itu dengan air ini, kemudian bangunlah masjid diatasnya’. Kami katakan pada beliau bahwa daerah kami, amat jauh, dan air akan menguap habis karena (dalam perjalanan) udara sangat panas. Beliau memberi petunjuk: ‘Tambahkan saja air (kedalam wadah), air ini akan menjadi lebih baik’ “. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Misykat nr. 716).

Tidak ragu lagi bahwa dalam jiwa perutusan itu terdapat rahasia (semangat) yang amat kuat yang mendorong mereka minta air bekas wudhu Rasulallah saw. Padahal kota Madinah tidak pernah kekurangan air dan didaerah tempat tinggal orang itu sendiri banyak air. Mengapa mereka mau bersusah payah membawa sedikit air dari Madinah ke daerahnya yang menempuh jarak cukup jauh dan dalam keadaan terik matahari? Tidak lain adalahbertabarruk pada Rasulallah saw.dengan bekas air wudhu beliau.

– Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau berada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barang siapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada ditangan temannya”.

Dalam lafadh itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lalu beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk di jadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadits ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).

– Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya–: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan (bekas) air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadits ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).

Ibnu Hajar dalam mensyarahi/menerangkan makna hadits tersebut menyatakan: “Apa yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya. Hal itu sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat lainnya” (Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).

– Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur Badho’ah kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci wajah- nya kembali, dan meludah ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: ‘Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah’, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas (sembuh)”. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).

– Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulallah menjengukku. Rasulullah mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuh lah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 60 / jilid 7 hal. 150 / jilid 8 hal.185 dan jilid 9 hal.123).

- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi ber-wudhu pada sebuah wadah, kemudian (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadits ke-35472).

– Sewaktu Rasulullah saw. datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuh dadanya. Kemudian Zuhair merasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Dia berkata: ‘Aku lantas mengusapkan punggungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau’ ”. (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadits ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 hal. 267).

Hadits-hadits diatas ini termasuk bukti yang cukup kuat dan terkenal, yang menunjukkan tabarruk kepada beliau saw. dan dengan petilasan (bekas) air wudhunya. Dengan petilasan air wudhu beliau saw. bisa menyembuhkan penyakit. Setelah membaca hadits-hadits diatas dan hadits lainnya, apakah orang masih egois dan fanatik kepada ulamanya, yang selalu menyangkal adanya barokah pada pribadi seseorang? Apakah perbuatan itu tidak tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Ini juga harus dijawab dengan adil dan konsekwen dari golongan pengingkar!

Dalil Tabarruk anak-anak para Sahabat kepada Nabi saw :

– Imam Muslim dalam kitab Shohih-nya jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Sholehdalam mengambil berkah Rasulallah saw. untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf wau, bagian pertama, bab wau kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan:

“Setiap bayi pada masa hidup Rasulullah di hukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah terpenuhi”. Hingga dikatakan: ‘Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat dibelai(diusap) kepalanya oleh beliau yang kemudian beliau do’akan’ ”.

– Dari ummu Qais: “Suatu saat dia mendatangi Rasululah dengan membawa serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing dipakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak mencucinya”. (Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 62 kitab al-Ghasl; Sunan an-Nasa’i jilid 1 hal.93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul at-Tho’am; Sunan at-Turmudzi jilid 1 hal. 104; Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 93 bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub; Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 174).

Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits ini memberikan beberapa pengertian, penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Fathul-Bari jld.1 hal.326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadits ke-223).

– Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dahulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi (kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“.( Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadits ke-223).

– Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk dido’akan”. (Lht. Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim an-Naisaburi jilid 4 hal.479 ; Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 hal.5 dalam Khutbah kitab, bagian kedua).

– Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untukdipeluk dan dido’akannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada”. (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).

Tabarruk para Sahabat dari air dan sisa minum Nabi saw :

– Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasulallah mengambil air pada sebuah tempat. Beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Beliau bersabda: ‘Minumlah kalian berdua dari (air) itu, dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua’”.(Shohih al-Bukhari jilid 1 hal.55 kitab al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).
Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air– adalah untuk memberikan berkahkepadanya (air)”. (Fathul Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).

– Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasulallah): ’Kenapa kamu melakukan hal itu’? Ia berkata: ‘Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya sedikit pun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan meminumnya’”. (Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 hal. 575 hadits ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 hal. 109).

Tabarruk para Sahabat dengan keringat, rambut dan kuku Nabi saw:
– Nabi saw. tidur siang dirumah Ummu Sulaim, yang punya rumah menampung keringat beliau saw. pada sebuah botol. Ketika Nabi saw. terbangun dan bertanya: ‘Apa yang engkau lakukan?’. ‘Ya Rasulallah kami mengharapkanberkahnya untuk anak-anak kami’. Nabi saw menjawab; ‘Ashabti, Engkau benar’ ! (HR. Muslim 4 :1815; Musnad Ahmad 3:221-226).

– Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan tikar kulit untuk Nabi, kemudian beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat danrambut Nabi dan diletakkan kedalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi”. (Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti’dzan).

Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang shahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw. mencukur rambutnya di Mina, Abu Thalhah mengambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Dia me letakkannya kedalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: ‘Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur diatas hamparan milikku sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)’ ”. (Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).

- Abu Hurairah ra berkata bahwa seorang laki-laki menemui Nabi saw. berkata: “Ya Rasulallah, saya akan menikahkan anak perempuan saya, saya ingin sekali engkau membantu saya dengan apapun. Nabi saw. bersabda: ‘Aku tidak punya apa-apa’. Rasulallah saw.bersabda: ‘Tapi besok datanglah padaku bawa botol yang mulutnya lebar...’. Pada esok harinya ia datang lagi, Nabi saw. meletakkan kedua sikunya diatas botol dankeringat beliau saw. mengalir memenuhi botol itu’”. (Fath al Bari 6 : 417, Sirah Dahlan 2:255, Al Bidayah Wa Al-Nihayah 6 : 25).

Kita tidak tahu apa yang dilakukan sahabat dengan sebotol keringat itu. Mungkin digunakan sebagai minyak wangi –seperti Ummu Salamah– atau mewasiatkan pada ahli warisnya supaya botol (walau keringatnya sudah kering) dikuburkan bersama jasadnya (seperti Anas bin Malik). Ini tidak lain mengenang dan memuliakan Atsar (bekas) serta tabarruk yang berkaitan dengan orang yang dicintai! Kenyataan ini berarti menunjukkan bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meridhai perbuatan para sahabat tersebut. Beliau saw. juga sebagai contoh bagi umatnya, bila perbuatan tersebut sebagai pengkultusan atau mengakibatkan kesyirikan dan lain sebagainya, maka beliau saw. tidak akan mengizinkan dan melakukannya.

– ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Muwahhab menuturkan; “Keluargaku menyuruh aku datang kepada Ummul Mu’minin Ummu Salamah membawa air dalam sebuah mangkuk. Ia keluar membawa wadah air terbuat dari perak. Di dalamnya terdapat beberapa guntingan rambut Rasulallah saw. Ketika itu orang yang menderita sakit mata ataupenyakit lainnya mengirim pesuruh kepadanya membawa wadah (makhdhabah), yang lazim digunakan untuk mencelupkan sesuatu. ‘Utsman bin Abdullah berkata lebih lanjut: ‘Aku mencoba melihat apa yang berada didalam genta, ternyata kulihat ada guntingan-guntingan rambut berwarna kemerah-merahan’ ”. (HR. Bukhori dalam kitabnya Al-Libas bab Mayudzkaru Fisy-Syaib).

Imam Al-‘Aini mengatakan, bahwa keterangan mengenai soal diatas tersebut, sebagai berikut: “Ummu Salamah menyimpan sebagian dari guntingan rambut Rasulallah saw., yang berwarna kemerah-merahan, ditaruh dalam sebuah wadah seperti genta. Banyak orang diwaktu sakit bertabarruk pada rambut beliau saw. dan mengharap kesembuhan dari keberkahan rambut tersebut. Mereka mengambil sebagian dari rambut itu lalu dicelupkan ke dalam wadah berisi air, kemudian mereka meminumnya. Tidak lama kemudian penyakit mereka sembuh. Keluarga ‘Utsman mengambil sedikit air itu, ditaruh dalam sebuah wadah dari perak. Mereka lalu meminumnyadan ternyata penyakit yang mereka derita menjadi sembuh. Setelah itu mereka menyuruh ‘Ustman mencoba melihat dan ternyata dalam genta itu terdapat beberapa guntingan rambut berwarna kemerah-merahan”. (Lihat ‘Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhori jilid 17 hal. 79).

– Sewaktu Muawiyah akan wafat, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)

– Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 hal.406 tentang [tarjamah] Umar bin Abdul Aziz).

– Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang [tarjamah] Anas bin Malik)

– Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan padakedua belah matanya, sedang satu sisanya di letakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).

– Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga jari– dan terdapat di dalamnya sepotong rambutNabi. Jika terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 hal. 207).

– Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnad-nya mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin yang menuturkan bahwa; ‘Ubaidah As-Salmani menyampaikan hadits tersebut kepadaku. Kemudian ia berkata: ‘Jika aku mempunyai sehelai saja dari rambut beliau saw., itu lebih kusukai daripada semua perak dan emas serta apa saja yang berada di permukaan bumi dan dalam perutnya’.

– Riwayat yang disebut oleh Al-mala dalam As-Sirah: “Ketika Abu Thalhah membagikan beberapa helai rambutRasulallah saw. kepada sejumlah orang sahabat, Khalid bin Al-Walid minta agar ia diberi rambut ubun-ubunbeliau saw. Abu Thalhah memberi apa yang diminta oleh Khalid. Terbukti berkah rambut ubun-ubun beliau itu Khalid sering meraih kemenangan dalam berbagai peperangan”. ( ‘Umdatul Qari Syarh Al-Bukhori, Jilid 8 hal. 230-231).

– Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang di pangkas rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuni nya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan disalah satu tangan mereka” (Kitab shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 hal.83; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 hal.591; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 hal. 68; Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303; Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadits ke-11955).

- Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lalu beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kukuyang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Ia (Abdulah bin Zaid) berkata: ‘Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau’ “. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 hal. 630 hadits ke-16039; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 hal.68; Majma’ az-Zawa’id jilid 4 hal. 19).

– Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperang an .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak mata- nya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahir Rahmanir Rahim”. (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadits-30136).

– Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: “Aku berkata kepada Ubaidah; ‘Kami memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas’. Ia bekata: ‘Jika aku memiliki selembar rambut saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya’ ”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).

– Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan rambut itu?. Ia berkata: ‘Sesungguhnya sewaktu Rasulallah mencukur kepala beliau dihaji maka orang-orang memisahkan rambutnya. Kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapatkannya’ ”. (Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).

Jika rambut Rasulallah saw. seperti rambut kebanyakan orang, mengapa para tokoh Salaf Sholeh mengharapkannya, bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu meninggal dunia, untuk pengobatan dan lain sebagainya?

Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah para tokoh Salaf Sholeh melakukan kesyirikan? Apakah riwayat-riwayat yang telah dikemukakan dan berikut ini yang jelas berkaitan dengan Tawassul, Tabarruksemuanya dhoif/lemah, maudhu’, palsu walaupun diriwayatkan oleh pakar-pakar ulama hadits, karena berlawanan dengan paham golongan pengingkar? Ini yang harus dijawab oleh golongan pengingkar secara adil dan konsekwen !

Dalil Tabarruk para Sahabat dari gelas, piring Nabi saw :

- Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadits, beliau berkata: “Suatu hari aku mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau bersabda: ‘Berilah kami minum, wahai Saha!’. Kemudian aku keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya. (perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: ’Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya’”. (Shohih al-Bukhari jilid 6 hal. 352 dalam kitab al-Asyrabah; Shohih al-Muslim jilid 6 hal.103 bab Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir Muskiran).

- Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: ‘Aku melihat gelas itu dan minum menggunakan gelas tersebut’ ”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 47 dalam bab Bad’ul Khalq).

- Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: ‘Engkau akan kuberi minum dengan menggunakangelas yang pernah dipakai Nabi’”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).

- Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Beliau memberi- kannya kepadanya. Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: ‘Keluarkan buatku piring Rasulullah. Aku keluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, selebihnya ia percikkan ke wajahnya’ ”. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 hal. 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971; Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 hal. 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202 dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 hal. 264).

Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasulallah dengan gelas bekas bibir Rasulallah, sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang tergolong tokoh Salaf Sholeh merebutkannya? Apakah perbuatan itu tidak tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Apakah golongan pengingkar berani menyatakan bahwa itu perbuatan tercela yang diajarkan oleh para sahabat yang tergolong tokoh para Salaf Sholeh? Mereka harus konsisten dengan pahamnya yang menyatakan bahwa perbuatan itu adalah syirik, yang meniscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.

Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi saw:

– Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang merah dan bawang putih di dalamnya. Rasul saw. menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau dengan perasaan takut. Aku tanyakan: ‘ Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati bekas tanganmu’ ? Beliau saw. menjawab: ‘Aku mendapatkan bau pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka menjauhinya), adapun kalian, makanlah darinya..’ ”. (Kitab al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 hal. 201; Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 hal. 144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 hal. 510)

– Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati di rumah tersebut terdapatQirbah (tempat air dari kulit) yang ter gantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadits ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)

– Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Beliau saw. meminum darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan kuangkat, mengharap berkah dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243)

Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh golongan pengingkar dengan jujur:
Apakah perbuatan yang telah dikemukakan dalam bab tawassul dan tabarruk ini tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf Sholeh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah golongan pengingkar menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran golongan pengingkar hendak menumbuhkan dan menyebarkan ajaran para Salaf Sholeh? Salaf Sholeh yang mana yang hendak mereka hidupkan ajarannya?, padahal segenap Salaf Sholeh membolehkan dan mengamalkan tawassul dan tabarruk ! Pikirkanlah!!

Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan Nabi saw :

Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syari’at Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para Salaf Sholeh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul saw., setelah wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadits-hadits di bawah ini:

- Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: “Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: ‘Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!’. Aku siram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman’. Beliau saw. memberikannya kepadaku. Selanjutnya berkata Muhammad bin Jabir: ‘Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan’”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)

Jika apa yang dimiliki Rasulallah sama dengan milik kebanyakan orang, mengapa dia meminta kain Rasulallah untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasulallah itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk kategori syirik, maka selayaknya golongan pengingkar tidak perlu mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Sholeh).

- Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: “Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Aku dengar Tsabit al-Banani berkata: ‘Itu adalah sandal Rasulallah’ ”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478).

Jika sandal Rasulallah sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.

- Dalam sebuah riwayat, Rasulallah bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal 4/357 hadits ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).

Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasulallah saw., menurut lisan Rasulallah sendiri, dan para sahabat pun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasulallah saw. ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadits ke-46389).

Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid, mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdo’a” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulalllah).

Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; “Beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lalu mengusapkannya kewajahnya”. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulallah dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Hibban halaman 9). Jika golongan pengingkar selalu menyatakan syirik buat pengambilan berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah dari mimbar Rasulallah, maka apakah layak kelompok ini mengaku sebagai ‘penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Sholeh’? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai ‘penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh ?

Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadits saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke tekts aslinya.

Dalam beberapa riwayat dan hadits lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadits seperti yang membahas tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasulallah saw. (al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6); para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasulallah dengan meniru bentuknya (Shahih Bukhari 7/55; Shohih Muslim 3/1656; an-Nasa’i 8/196; Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadits ke-472); para sahabat yang mengambil berkah darisarung Rasulallah dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16; Sunan Ibnu Majah 2/1177; Musnad Ahmad bin Hanbal 6/456 hadits ke-22318; Fathul Bari 3/144 tentang hadits 1277); Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasulallah untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412; as-Sirah al-Halabiyah 3/242;Tarikh Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19); hadits Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur; Shohih Muslim 2/647; Musnad Ahmad 7/556 hadits ke-26752; Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadits ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764).

Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi saw:

- Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasulallah saw. juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Nafi’ berkata, ‘bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu’. Aku bertanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’)”. (Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)

Dari hadits di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunnah kannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Fathul Bari 1/469; menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; ‘Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi’. Pernyataan yang sama juga terdapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).

Tetapi pada kenyataannya, mengapa para muthawwi’ (rohaniawan sekte Wahabi) berusaha menghalang-halangi para jama’ah haji yang ingin ber tabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasulallah saw. yang beliau pakai untuk beribadah dan shalat di sana, dengan alasan Rasulallah saw. dan Salaf Sholeh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?

- Ibnu Atsir berkata bahwa, ”Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw., sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasulallah pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasulallah pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi saw. (untuk berteduh) pun di singgahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati kekeringan”. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, terjemah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi– juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 2/269 hadits ke-5968, Shohih Bukhari 3/140; Shohih Muslim 2/1981)

Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasulallah?Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasulallah saw.? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Sholeh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu? Ataukah mereka ini akan memutar balik makna riwayat-riwayat yang berkaitan Tawassul, Tabarruk sampai sesuai dengan pahamnya?

- Dari Anas bin Malik; “Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasulallah) sebagaimushalla. Rasulallah pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, kemudian Rasulallah melaksanakan shalat di atasnya yang di-ikuti oleh beberapa sahabat lainnya”. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).

- Dari Anas bin Malik; “Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lalu berkata kepada Nabi: ‘Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat’. Dan (Anas) berkata: ‘Beliau saw. datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau saw. melakukan shalat, kami pun mengikutinya’ ”. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756; dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)

- Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasulallah dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasulallah saw.- kepada Rasulallah seraya berkata: ‘”Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku, aku melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka ‘Wahai Rasulallah, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku’. Rasululah saw bersabda kepadanya: ‘Aku akan melaksanakannya, insya-Allah’. Atban berkata: Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasulallah besama Abu Bakar. Kemudian Rasulallah meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; ‘Dibagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?’. Aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”.(Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175; Shohih Muslim 1/445, 61& 62)

Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Mengenai komentar Al-Ulyani lihat dan baca kajian selanjutnya yaitu pada kalimat Golongan Wahabi/Salafi mengisukan di bab ini.

Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan) Rasulallah saw:

Pada kajian lalu telah kami sebutkan beberapa hadits yang menjelaskan bahwa para Salaf Sholeh telah melakukan pengambilan berkah dari peninggalan-peninggalan Rasulallah saw. seperti sandal, tongkat, baju, bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar Nabi saw. dan mengusapkannya ke wajahnya. Semua perbuatan itu jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan madzhab Wahabi (Muttauwi’) terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat terhadap mimbar Rasulallah saw..

Kajian dan telaah kami berikut ini pada pembahasan; ‘Tabarruk terhadap Kuburan/Pusara’ yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, yang sering mengatakan penghidup ajaran para Salaf Sholeh (Salafi). Padahal kalau kita teliti paham mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf Sholeh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jama’ah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadapkuburan/makam Rasulullah saw. Kaum muslimin yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan madzhab Wahabi itu, ketika mereka hendak mengusap tempat-tempat yang para sahabat Rasul saw. juga mengamalkannya.

- Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke Masjid (Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas makam Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: ‘Sadarkah apa yang telah engkau lakukan?’. Kemudian lelaki itu menengok kearah Marwan (ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari ra) dan mengatakan: ‘Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasulallah’. Aku pernah mendengar Rasulallah bersabda: ‘Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menangis untuk agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tangisilah’ ”. (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560 Hadits ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404).

Juga riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam kitab-kitab: Ibnu Hibban dalam shahihnya, Imam Ahmad (5:422), Tabarani didalam Mu`jam al-Kabir (4:189) dan didalam ‘Awsat’ disahkan oleh Haithami dalam al-Zawa'id (5:245), Al-Hakim dalam Mustadrak (4:515), Al-Dhahabi menshahihkan juga, al-Subki didalam Shifa' al-Siqam halaman 126, Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2:261f, Haithami dalam al-Zawa'id 4:2). Hadits di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan keshohihannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadits lain yang meragukannya.

Atas dasar hadits diatas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad haditsnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Nah, jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang ‘dihayal kan’ oleh madzhab Salafi (baca: Wahabi).

Hadits diatas itu jelas menunjukkan disamping ziarah kepada Rasulallah saw. juga pengambilan barokah dari makam Rasulallah saw. Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan barokah semacam itu tidaklah mengapa, bukan tergolong syirik ataupun bid’ah sebagaimana yang dianggap oleh kaum Wahhabi. Bila tidak demikian mengapa Abu Ayyub ra. tidak cukup beri salam dan berdo’a kepada Allah swt. tanpa di iringi dengan menempelkanwajahnya diatas pusara Nabi saw.? Dalam konteks riwayat itu juga tidak jelas di sebutkan apa penyebab teguran Marwan terhadap Abu Ayyub. Ada banyak kemungkinan di sini. Yang jelas bukan karena syirik atau bid’ah, karena kalau benar semacam itu niscaya Marwan akan tetap bersikeras melarang perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin menjalankan Amar makruf nahi munkar tidak perduli siapa yang berbuat (baik itu sahabat maupun bukan sahabat) harus dicegah perbuatan munkarnya. Lalu mengapa Marwan menghentikan tegurannya ketika melihat bahwa yang melakukannya adalah Abu Ayyub?

Adapun teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan dengan teguran para muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar tempat-tempat suci di Saudi Arabia. Karena muthowwik itu dengan jelas langsung menvonis syirik, bukan karena rasa khawatir syirik, tidak lain karena kesalahan mereka dalam memahami dan mempraktekkan kaidahSyadzudz Dzarai dan dalam menentukan tolok ukur antara Tauhid dan syirik.

Bila apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat besar Rasulallah itu tergolong perbuatan syirik (sebagaimana paham kaum Wahabi) maka mungkin- kah seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan syirik atau akan berbuat sesuatu yang mengakibatkan kekufuran atau kesyirikan? Sudah Tentu Tidak Mungkin! Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)?

- Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 halaman: 137; Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 hal. 208; Tahdzibul Kamal jilid: 4 hal. 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1 Halaman 358)

Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan golonganpengingkar bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan dalil untuk memecahkan hukum syariat, namun mimpi dapat dijadikan dalil sebagai manakib, sejarah dan lainnya. Misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan dalil atas kebangkitan Nabi saw. Dan masih banyak riwayat mengenai kisah mimpi para Rasul dan para sahabat Nabi saw, yang diakui oleh para imam yang meriwayatkannya, dan tidak mengingkarinya.Tentunya hal itu menjadi dalil bagi kita, tentang kebenaran riwayatnya.

- Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)
Apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di pusara Rasulallah? Mengapa ulama madzhab Wahabi menvonnis syirik kepada penziarah yang ingin mengusap teralis besi penutup pusara Rasulallah saw. dan kedua sahabatnya? Apakah mereka ini juga menganggap semua hadits yang telah dikemukakan itu dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya, karena berlawanan dengan pahamnya?

- Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib kw. bahwa: “Sewaktu Rasulullah dikebumikan, Siti Fatimah –puteri Rasul satu-satunya– bersimpuh disisi kuburan Rasulallah dan mengambil sedikit tanah makam Rasulallah kemudian diletakkan diwajahnya dan sambil menangis ia pun membaca beberapa bait syair….”. (al-Fatawa al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar jilid 2 hal.18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid 2 hal.340, Irsyad as-Sari jilid 3 hal. 352 dsb.nya)

Jika apa yang dilakukan Siti Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid’ah maka mengapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid’ah yang dilarang oleh beliau saw. (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasulallah yang tergolong Salaf Sholeh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahabi ?

- Seorang Tabi’in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada kuburan Rasulallah). “Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabat nya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Beliau langsung bangkit dan menuju pusara Rasulallah dan meletakkan dagunya di atas pusara Rasulallah kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ ”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 2 Halaman: 444).

- Imam Ahmad ibn Hanbal; Imam Madzhab Hanbali dalam kitab al Jami’ fi al ‘Ilal wa Ma’rifati ar-Rijal. menyatakan kebolehan menyentuh dan meletakkan tangan di atas makam Nabi Muhammad s.a.w, menyentuh mimbarnya dan mencium makam dan mimbar tersebut apabila diniatkan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan bertabarruk.

Atas dasar hadits-hadits tadi akhirnya as-Samhudi menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (jilid: 1 Halaman: 544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering mengambil tanah dari pusaraRasulallah. Aisyah (ummul mukminin) ra. membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan: ‘Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan bangunan di atasnya’ ”.

Masihkah golongan pengingkar yang mengatas namakan diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Sholeh itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasulallah atau pun orang awam biasa ! Beranikah golongan inimenjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?, sebagai mana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kuburan Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya?

Antar Para Sahabat pun Saling Bertabarruk:

Pertama-tama, kita akan melihat beberapa tekts tentang: apakah diperbolehkan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para manusia sholeh dan bertakwa pasca masa mereka? Kita di sini akan melihat beberapa tekts yang membuktikan bahwa para sahabat satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita tahu bahwa ,menurut Ahlusunah wal Jama’ah, para sahabat adalah Salaf Sholeh yang layak ditiru dan diikuti.

- Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (jilid 5 hal. 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah meminta do’a hujan melalui ‘Abbas(paman Rasulallah) sebagaimana yang telah kita kemukakan sebelumnya dengan menyatakan: ‘Ya Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan bagi kami. Kemudian turun lah hujan’. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shahih).

- Dalam kitab yang sama diatas, disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin al-Aswaddengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). ‘Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah’. Ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada disekitarnya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.

Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid 2 halaman 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunnah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.

- Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi [tarjamah] Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, merekaberebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.

- Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: ‘Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasulallah’.

- As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa’” (jilid 2 hal. 448) menyatakan bahwa; ”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang ber- hadapan dengan kuburan (Rasulallah, red). Di situ terdapat pintu Rasulallah yang didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah). Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: ‘Tiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini’. Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan ‘Tempat para Pemimpin’ (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.

- Dalam kitab yang sama di atas, as-Samhudi (pada jilid 2 hal. 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti Nabi saw. terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: ‘Jangan engkau lupa untuk mengerjakanshalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib selalu melewatinya’ ”.

- Ibn Sa’ad dalam kitab ‘at-Thabaqoot al-Kubra’ (jilid 5 hal. 107) menukil riwayat yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Ia berkata kepada Husein: ‘Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikit pun. Jika engkau berkenan untuk mendo’akan kami kepada Allah dengan berkah’. Husein berkata: ‘Berikan sedikit air yang kau punya’!. Kemudian diberikan kepadanya air lalu ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi kemudian mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi memancarkan air dengan melimpah” .

- Ibnu Hajar dalam kitab ‘as-Showa’iq al-Muhriqoh’ (halaman 310 pasal ke-3 tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho (salah seorang keturunan Rasulallah, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga men- ciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab ‘Nur al-Abshar’ halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)

Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah bertabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan dibanding dengan yang lain. Ini sebagai bukti bahwa mengambil berkah dari orang-orang sholeh dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Sholeh telah melakukannya.

Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan derajat ketakwaan dan keutamaan di antara mereka. Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang Sholeh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya, baik pribadi orang Sholeh itu, do’anya maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak sholeh dan takwa, obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi, maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita.

Dari riwayat-riwayat itu juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab anggapan orang-orang seperti al-Jadi’dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” halaman: 261 dan as-Syatibi -dalam karyanya yang berjudul ‘al-I’tisham’ jilid 2 halaman: 9, dimana keduanya sepakat bahwa; ‘Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasulallah saja’. Hal itu karena mereka beralasan bahwa Rasulallahtidak pernah memerintahkannya. Selain itu, alasan lainnya adalah; ‘Tidak ada riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku semacam ini’ (tabarruk kepada pribadi selain Nabi). Bahkan as-Syatibi menyatakan bahwa; ‘Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong bid’ah, sebagaimana tidak diperbolehkannya mengawini perempuan lebih dari empat’.

Telah jelas riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi ketakwaan. Entahlah mengapa al-Jadi’ dan as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu?. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, mengapa sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah khalifah Umar telah melakukan Bid’ah, karena melakukan satu perbuatan yang Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya? Beranikah orang menvonis sahabat seperti Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?

Walaupun Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkannya tetapi bukan berarti otomatis bertabarruk selain kepada beliau saw. itu sebagai amalan bid’ah, haram dan sebagainya. Mengapa justru al-Jadi dan as-Syatibiberani melarangnya?, sedangkan Rasulallah saw. sendiri tak pernah melarangnya !

Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditkemukakan bahwa selain peninggalan Nabi saw., peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk diambil berkah- nya sewaktu masa hidup mereka, bagaimana dengan perkara tadi setelah kewafatan mereka?

Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; Bolehkah kita (kaum muslimin) mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Sholeh dan bertakwa?

Apakah pengambilan berkah dari mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah mati) dan kuburan mereka?

Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung sebelumnya bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari kuburan Rasulallah akan kita jelaskan berikut ini bahwa tidak hanya dibatasi pada orang Sholeh yang masih hidup saja, bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak seperti sangkaan golongan pengingkar yang dengan tegas menyatakannya sebagai perbuatan syirik.

Share :

0 Response to "BAB-9H. TENTANG TABARRUK"

Posting Komentar