BAB-6D. Dalil-Dalil Mereka Yang Melarang Dzikir Secara Jahar Dan Jawabannya


  Dengan adanya riwayat-riwayat yang dikemukakan tadi dan riwayat lain yang tidak dikemukakan disini, buat kita insya Allah sudah cukup jelas mengenai dibolehkannya dzikir baik secara lirih maupun secara jahar. Tetapi golongan pengingkar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut paham mereka sebagai larangan/haramnya orang berkumpul berdzikir secara jahar. Dalil-dalil yang mereka ajukan antara lain:

A.
 Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204): ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang pembacaan Al-Qur’an secara bersama, yang diamalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).

Sudah tentu pemikiran seperti ini adalah paham yang keliru, karena makna atau yang dimaksud firman Allah swt. itu ialah: Bila ada orang membaca Al-Qur’an sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini dianjurkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al Qur’an tersebut agar mereka juga mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Qur’an dalam kumpulan majlis dzikir! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca Al-Qur’an tanpa adanya isyarat membaca secara perorangan atau secara berkelompok, serta tidak ada nash baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang melarang membaca Al-Qur’an secara bersama-sama ! Malah justru mendapat pahala bagi yang membacanya!

B. Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi: ‘Dan ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.

Ayat ini juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar. Sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Qur’an, yang sedang dibaca oleh orang lain, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang telah dikemukakan yaitu surat Al-A’raaf : 204. Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 tadi adalah: ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati wahai orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan merendahkan diri serta rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara (yang berlebihan)...’.

Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya: Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnyaNatijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt., maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)

Malah menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205 justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga ‘...dan bukan dengan mengeraskan suara (jahar yang berlebihan)...’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat Al-Isra’: 110 yang berbunyi: ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.

Janganlah kita hanya mengambil dalil dari al-qur'an atau hadits yang berkaitan dengan dzikir secara lirih dan mengenyampingkan ayat dan hadits yang lain, yang membolehkan dzikir secara jahar. Kita harus meneliti dan mengetahui motif dari ayat dan hadits tersebut.

C. Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata:

“Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeraskan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’ “. Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam.
 
Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasulallah saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga...? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata: Ini adalah hadits yang shohih.

Golongan ini berkata: “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir...?, padahal hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas memerintahkan untuk merendahkan suara di ketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasan-Nya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggangan kita !

Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uuadalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan ! 

Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara dzikir dijalan(an) atau ketika sedang berjalan-jalan, berbeda dengan hadits-hadits yang telah kami kemukakan itu. Berdzikir secara jahar seusai sholat atau berdzikir berkelompok telah disebutkan dalam hadits-hadits shohih diantaranya juga disebutkan dalam shohihain (shohih Bukhori dan Muslim).

Kalau sekiranya Rasulallah saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras dijalanan apalagi dalam waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan (jerat-jerit) itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasulallah saw..

 Padahal kesunnahan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. Mengeraskan dzikir pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar seperti itu tidak ada mashlahatnya/kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.

Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daudmengatakan, bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itutidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan(jerat-jerit) sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.

Bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar, maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih yang berkaitan dengan dzikir secara jahar!

D. Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan berdalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan berdalil pada hadits ini, mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.

Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasulallah saw.. Tidak ada penentuan/kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a, boleh dilakukan secara berkumpul atau pun secara individu !

Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah! Disamping itu riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat dzikir (lingkaran dzikir) !

E. Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Maghrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini… bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ramendatangi orang ini dan berkata: '….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi'”.

Riwayat diatas itu dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjur kan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasulallah saw. sendiri meridhoi dan memberi kabar gembira bagi kelompok kaum yang sedang berdzikir. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan atau mensyari’atkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !! Wallahu a'lam

Janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar dengan alasan sebagian sahabat telah melarangnya pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh sahabat Nabi tersebut. Dengan demikian kita tidak akan ke bingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasulallah saw. lainnya yang mengarah kepada kebolehan dan kesunnahan untuk berdzikir baik secara individu maupun berkelompok, baik secara lirih maupun jahar sebagaimana yang telah dijelaskan juga oleh ulama-ulama pakar, Imam Nawawi, Ibnu Hajr, Imam Suyuthi serta lain-lainnya.

Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.

Contoh zaman sekarang yang bisa kita dengar dan beli kaset-kaset/cd dzikir umpama pembacaan al-Qur’an, qosidah-qosidah (bacaan sholawat Nabi saw. dan lain-lain), yang dijual dan dikumandangkan dipasar-pasar atau ditoko-toko diberbagai negara; Saudi Arabia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan lain lain. Malah sekarang dinegara Eropa yang sebagian penghuninya orang muslimin, umpama di Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, disana banyak sekali dijual dan dikumandangkan kaset-kaset dzikir tersebut. Kalau semua dzikir jahar ini mungkar dan dilarang maka menjual dan mengumandangkan kaset-kaset inipun harus dilarang terutama dinegara-negara Islam yang anti majlis dzikir. Tapi nyatanya sampai detik ini tetap berjalan malah lebih banyak lagi toko yang jual kaset-kaset tersebut karena banyak peminatnya.

Insya Allah dengan keterangan yang sederhana ini, kita dapat mengambil manfaatnya dan mengerti serta jelas apa yang dianjurkan oleh Allah swt. melalui perantara junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Insya Allah saudara-saudara kita muslimin yang belum pernah menghadiri atau mendapat kesalahan informasi mengenai kumpulan dzikir, baca tahlil/yasinan dan sebagainya, akan diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. serta bisa menghadiri majlis dzikir yang penuh berkah, atau setidaknya tidak akan mencela, mensyirikkan dan mensesatkan orang yang mengamalkan amalan tersebut. Mencela, mensesatkan sesuatu amal kebaikan itu hanya akan menambah dosa bukan menambah pahala.

Share :

0 Response to "BAB-6D. Dalil-Dalil Mereka Yang Melarang Dzikir Secara Jahar Dan Jawabannya"

Posting Komentar