BAB-7J. Kewajiban Membaca Al-Fatihah Didalam Sholat Baik Untuk Makmum Atau Imam


  Khususnya dalam madzhab Syafi'iyah, diwajibkan baik imam maupun makmum untuk membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat dalam sholat. Sering kita dengar dari sebagian golongan, yang melarang makmum untuk membaca surat al-Fatihah bila sholat berjamaah (Maghrib, Isya, Shubuh atau sholat Jumat), dengan alasan bahwa bacaan imam sudah termasuk bacaannya. Apakah benar larangan pembacaan Al-Fatihah yang dikatakan saudara-saudara kita itu?

Marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil kewajiban baca al-Fatihah setiap rakaat dalam sholat, baik dikerjakan pada waktu siang hari mau pun malam hari:

- Firman Allah swt: ‘Maka bacalah apa yang mudah dari al-qur’an (QS.Al-Muzammil:20). Pada ayat lain disebutkan:‘Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dbaca berulang-ulang dan al-qur’an yang agung’(QS.Al-Hijr:87).

- Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari) meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Mu’alla: “Nabi Muhamad saw lewat dan aku (sedang) mendirikan sholat. Lalu beliau memanggilku. Aku tidak menjawabnya hingga aku selesaikan sholatku, aku datangi beliau saw. Beliau bersabda: ‘Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab, ‘aku sedang sholat’ (ketika itu). Beliau saw bersabda: ‘Bukankah Allah swt berfirman, wahai orang orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan Allah dan Rasul-Nya’. Setelah itu beliau bersabda; ‘Senangkah jika aku mengajarimu surah yang paling agung didalam al-qur’an sebelum aku keluar dari masjid’? Setelah –berselang beberapa saat– Nabi Muhamad saw pergi untuk keluar dari masjid. Lalu aku mengingatkannya. Beliau bersabda; ‘Alhamdu lillahi rabbil-‘alamin’, itulah tujuh ayat yang diulang-ulang dan (itulah) al-qur’an yang diberikan padaku’”.

- Hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw bersabda: ’Ummu al qur’an ialah tujuh ayat yang diulang-ulang dan al-qur’an yang agung’ (Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya (V11:381 Al-Fath Al-Bari).

- Al-Hafidh dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan, bahwa Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus dari Umar ra, kemudian dari Ali kw. Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu, adalah Fatihat Al-Kitab‘(Al-Fatihah). Dari Umar ada tambahan ‘Diulang-ulang pada setiap rakaat’.

- Imam Bukhori (pada juz ‘Membaca (al-Fatihah) dibelakang Imam’ [bab wajib membaca al-Fatihah, bagi imam dan makmum, dan ukuran miminal yang dibaca] hal. 8 cet. Al-Iman Madinah Al-Munawwarah) mengatakan, ‘secara mutawatir ada berita dari Rasulallah saw bahwa tidak ada sholat (yang sah) kecuali dengan membaca Ummu al-qur’an’ (yakni al-Fatihah).

- Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim (1:295) dan dalam Al-Fath al-Bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap mengenai sabda Rasulallah saw: ‘Tidak ada sholat –yang mencukupi– bagi orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadits ini menurut Imam Bukhori mutawatir. Maksud hadits ini bukan tidak ada sholat yang sempurna, melainkan tidak ada sholat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah. Dengan demikian dalil wajibnya membaca al-Fatihah ini, berlaku baik untuk sholat berjamaah maupun yang melakukan sholat sendirian (munfarid). 

Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Al-Abbas bin Al-Walid Al-Narsi –gurunya Imam Bukhori– dari Sufyan dengan isnad tersebut, dengan redaksi; ‘Tak ada satu sholat pun yang mencukupi, jika tidak di baca Fatihat Al-Kitab’. Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath (11:241) menyebutkan, bahwa riwayat itu ada mutaba’ah-nya (riwayat yang mengikuti dan menguatkannya) yaitu, yang diriwayatkan Al-Daraquthni. Juga ada saksi penguatnya bagi riwayat Al-Daraquthni tersebut, yang diriwayatkan Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah dalam kedua shohih-nya.

- Sedangkan dalil bahwa membaca al-Fatihah itu wajib dilakukan setiap rakaat dalam sholat, adalah sabda Rasulallah kepada seseorang yang melakukan sholat tidak sempurna. Rasulallah saw mengajarkannya, apa yang harus dilakukan dalam sholat pada setiap rakaat. Beliau saw bersabda: “Kemudian lakukan itu pada (gerakan) sholatmu semuanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:298].

Rukun sholat yang keempat adalah, membaca al-Fatihah pada setiap rakaat, baik untuk imam mau pun makmum. Demikian pula yang munfarid (sholat sendirian). Begitu juga dalam riwayat Ibn Hibban dalam Shohih-nya (V:89) dan lainnya dikatakan, “Kemudian lakukan itu pada setiap raka’at”. Membaca al-Fatihah tidak gugur (kewajibannya), kecuali bagi makmum yang mendapatkan imamnya sedang rukuk (ketinggalan sholat berjamaah).

 Dalam kondisi seperti itu, dia dianggap telah mendapatkan satu rakaat (telah membaca al-Fatihah), meskipun dia belum membaca al-Fatihah. Dahulu masalah ini diperselisihkan, tetapi kemudian mendapat ijmak (kesepakatan) para ulama. Demikianlah yang dikutip Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Ausath 111:115.

Dalil yang mewajibkan untuk membaca al-Fatihah bagi makmum, baik bacaan dalam sholat secara sir/pelan (dhuhur dan ashar) maupun bacaan sholat jahar (maghrib, isya, shubuh, sholat jumat) adalah sebagai berikut:

Pertama: Adalah keumuman kandungan hadits yang telah dikemukakan sebelumnya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yaitu; ‘Tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Fatihat Al-Kitab’. (surat al-Fatihah).

Kedua: Ubbadah bin Shamit ra meriwayatkan: “Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulallah saw pada sholat shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (al-qur’an/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kamu sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. { HR.Imam Ahmad [V:316]; 

Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam artinya membaca (al-Fatihah) dibelakang Imam; Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar(1:215) ; Abu Dawud (1:217-218) ; Imam Turmudzi (II:117) ; Ibnu Khuzaimah dalam shohih-nya (III : 36) ; Ibn Hibban dalamshohih-nya (V:86) ; Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah (III:82) dalam Sunan-nya (II:164) dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar (III:81) dalam periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni (I:318) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I:238). Hadits tersebut shohih dan tsabit (kuat). Dan menurut Al-Khathabi sepeti disebutkan dalam Syarh Muhadzdzab-nya, Imam Nawawi (III:366), ‘Isnad hadits tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’. Hadits tersebut juga telah diakuikeshohihannya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), beliau menyifatinya sebagai hadits tsabit [kuat] }.

– Imam Turmudzi (setelah adanya hadits Ubbadah bin Shamit diatas) mengata kan: “Berkenaan dengan bab itu, terdapat riwayat (yang serupa hadits itu) dari Abu Hurairah ra, Siti Aisyah ra, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin Amr”. Imam Turmudzi mengatakan: “Mengamalkan hadits ini, yang berkena an dengan membaca (al-Fatihah)dibelakang imam, berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi saw mau pun tabi’in. Itu pun pendapat yang dipergunakan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ibn Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. 

Mereka semua berpendapat (mengenai wajibnya) membaca (al-Fatihah) dibelakang imam. Al-Hafidh Al- Zaila’i dalam Nashbu Ar-Riwayah [II:12] berkata: ‘Hadits ini menunjukkan sebab turunnya hadits ‘Siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’. [Sebabnya] tersebut ialah, mengangkat suara (menjaharkan) dengan membaca [al-Fatihah] dibelakang imam dan membaca surah disamping membaca al-Fatihah). (yakni: si makmum membaca al-Fatihah dan surah setelah membaca al-Fatihah dibelakang imam, dengan suara jahar —pen.)

– Imam Al-Aini dalam Umdat Al-Qari mengatakan, sebagian sahabat kami menganggap hal itu (mengangkat suara dengan membaca al-Fatihah dan surah), sebagai perbuatan yang baik demi ihtiyath (kehati-hatian) dalam segala sholat. Sedangkan menurut sebagiannya hanya terbatas pada sholat sir (yang bukan jahar) saja. Pendapat terakhir ini dipegang oleh fugaha (para ahli fiqih) Hijaz dan Syam (Syria).

– Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadits ‘siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’ berkata: ‘Tetapi hadits tersebut menurut para Hafidh –penghafal hadits– merupakan haditslemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah diambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan yang lainnya”. Begitu juga diantara yang melemahkan dan menolak hadits tersebut ialah Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9. Ia mengatakan, ‘kabar ini tidak tsabit (kuat) menurut para pakar baik menurut penduduk (ulama) Hijaz maupun penduduk (ulama) Irak dan yang lainnya, karena hadits tersebut mursal dan munqathi’ “.

Diantara bukti-bukti lemahnya hadits ‘siapa yang mempunyai imam,maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’tersebut dan kebathilannya adalah:

a). Jika benar bacaan Imam itu mewakili bacaan (rukun sholat yakni al-Fatihah) makmum seperti yang disebutkan dalam dalil hadits tersebut, mengapa dzikir-dzikir yang lain –selain al-Fatihah– seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya, tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, padahal hukumnya bacaan-bacaan ini adalah sunnah?

b). Begitu juga seandainya hadits tersebut shohih –dan itu tidak mungkin–, tidak tercantum didalam hadits itu yang menunjukkan bahwa bacaan imam mencukupi (mencakup semua) bacaan makmum, karena hadits tersebut bersifat umum. Dan kalimat (dalam hadits itu) ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis, yang mudhaf (disandarkan) mencakup apa saja yang dibaca oleh imam, tidak hanya terbatas kepada bacaan al-Fatihah saja. Demikian pula halnya dengan firman Allah swt: ‘Dan apabila dibacakan al-qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah agar kamu sekalian mendapat rahmat’ dan hadits, ‘jika dia membaca, maka perhatikanlah’.

c). Seandainya hadits itu tsabit (kuat), maka kalimat haditsnya bersifat umum, sehingga mencakup al-Fatihah dan lain-lainnya. Sedangkan hadits Ubbadah (yang telah kami kemukakan tadi) itu, bersifat khusus mengenai bacaan makmum surat al-Fatihah, sehingga hadits ini mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. 

Demikianlah yang ditetapkan dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqih). Adapun kalimat hadits ‘dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’, yang disebutkan dalam sebagian riwayat hadits (seperti), imam itu dijadi kan hanya untuk di-ikuti, maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah…’, riwayat hadits ini tidak kuat. Karena riwayat ini disebutkan dalam Shohih Muslim (I:304) yang mengandung dialog antara Imam Muslim dengan muridnya –Abu Bakar–, yang meriwayatkan hadits shohih Muslim dari Imam Muslim. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut Imam Baihaqi, lafadh tersebut tidak ada dari Nabi saw’. Abu Daud dalam Sunannya; ‘lafadh itu tidak terjaga/ terpelihara’ (laisat bi mahfudhah).

Hadits yang dikemukakan oleh Anas bin Malik ra; “Bahwa Rasulallah saw melakukan sholat dengan para sahabatnya. Setelah selesai sholat, beliau saw menghadap kepada mereka sambil bersabda: ‘Apakah kalian membaca (al-qur’an) dalam sholat kalian dibelakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah saw mengucapkan itu tiga kali. Kemudian ada (banyak) yang berkata: ‘Sesungguhnya kami melakukannya (membaca al qur’an)’. 

Beliau saw bersabda: ‘Maka janganlah kalian lakukan, dan hendak-lah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian)membaca Fatihah Al-Kitab didalam dirinya (tidak dijaharkan)’ “ (HR.Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:162) ; Imam Daraquthni dalam As-Sunan (I:340), hadits ini shohih ; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid (II:110) dari hadits Anas ra. Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la. Imam Thabarani dalam Al-Ausath, dan rijal perawinya tsiqat.

Hadits yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik: “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (al-qur’an)dibelakang imam. Dia menyuruhku untuk membaca (alqur’an/al-Fatihah). Saya bertanya; ‘Engkau bagai- mana’? Dia berkata, ‘Aku juga sama’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu di lakukan jika engkau menjahar (dalam sholat jahar)?’. Dia menjawab; ‘Jika aku menjahar (melakukan sholat jahar) aku pun membacanya’”(HR.Al-Daraquthni dalam As-Sunan I:317 mengatakan; ‘Ini isnad shohih’. Atsar-atsar shohih mengenai hal itu dari kalangan sahabat pun banyak, [silahkan lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan khusus)].

Orang yang tidak membolehkan makmum membaca ayat al-qu’ran (al-Fatihah) dibelakang imam dalam sholat jahar, dengan berdalil hadits Ibn Ukaimah dari Abu Hurairah ra, yang mengatakan, “Rasulallah saw melakukan sholat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan. Setelah selesai beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda; ‘Apakah ada salah seorang dari kamu yang membaca (al-qur’an) bersama-sama aku’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ‘Ingatlah, aku mengatakan, aku tidak pantas menentang al-qur’an (ma li unazi’u Alqurana)’. Abu Hurairah mengatakan, ‘orang-orang pun berhenti membaca (al-qur’an), jika imam menjaharkan bacaan. Dan mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak menjaharkanbacaannya”.

Menurut sebagian orang kalimat dalam hadits ‘orang-orangpun berhenti membaca..’,hanya sebagai perkataan Abu Hurairah saja. Yang mempunyai paham seperti ini diantaranya Syeikh (al-Albani--pen) yang controversial itu, dalam bukunya Shifatu Shalatihi (Sifat Sholat Nabi Muhamad saw) pada hal.99. Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata –mudrajah (tambahan)– yang ditambahkan dari Az-Zuhri. Hal itu telah diterangkan oleh para imam hadits, antara lain Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at Khalfa Al Imam hal. 29-30.

Hadits Ibn Ukaimah diatas, dibuat dalil/hujjah untuk melarang orang membaca al-Fatihah dibelakang imam adalahkeliru. Hadits tersebut dhoif (lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III oleh Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Dan jika benar, didalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang melarang membaca al-Fatihah dibelakang imam. Yang dimaksud larangan disini adalah, larangan mengangkat suara/menjaharkan dengan bacaan al- qur’ansetelah membaca al-Fatihah. Sebagaimana hal itu dijelaskan pada beberapa riwayat yang shohih. Jadi hadits itubersifat umum yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya). 

Bila kita telah mengetahui bahwa imam dan makmum (setiap waktu sholat) serta yang melakukan sholat sendirian wajib membaca al-Fatihah, maka ketahuilah bahwa disunnahkan bagi imam untuk diam sebentar setelah selesai membaca al-Fatihah dalam sholat jahar. Tidak lain hal ini memberi kesempatan pada makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada dalil dari hadits Samurah yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah saw’. Tetapi Imran bin Hushain mengingkari itu, dia berkata: ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Maka kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah saw)’.

Sa’id –salah seorang perawi hadits tersebut dan putera Abu Arubah– mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata: ‘Pertama, jika dia masuk dalam sholat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua, jika dia telah selesai membaca (al-Fatihah). Setelah itu dia berkata: ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laa Adhdhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251] dan dia mengatakan hadits Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7]; Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain, hadits ini shohih. Ibn Hibban dalam Shohih-nya [V:112] dan pada halaman 113 dia mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran dan bukan Samurah’).

Abdullah bin Amr ra meriwayatkan: “Nabi Muhamad saw berkhutbah dihadapan banyak orang: ‘Siapa yang melakukan sholat wajib atau sunnah (subhatan) maka hendaklah membaca Ummu al-qur’an dan (ayat) Quran ber samanya. Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu al-qur’an itu cukup baginya. Dan siapa yang (melakukan sholat) bersama imam, maka hendaklah dia membaca (ummul al-qur’an itu) sebelumnya, atau jika dia (imam) diam. Dengan demikian siapa yang melakukan sholat tidak membaca Ummu Alquran, maka sholatnya khidaj (kurang)” (beliau mengucapkannya) tiga kali. (HR.Abdar-Razzaq dalam Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787) hadits ini hasan, karena sesungguhnya Al-Mutsanni bin Ash-Shabbah itu tidak tercela dalam periwayatan nya dari Amr bin Syu’aib. 

Hal itu sebagaimana diperingatkan oleh para penghafal hadits dan telah disebutkan mengenai riwayat hidupnya, dalam Tahdzib At-Tahdzib (X:33). Tetapi dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam periwayatannya dari Atha, sebagaimana mereka –ahli hadits– menjelaskan hal itu. Dia diakui kuat/tsiqah oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh jumhur didasarkan kepada apa yang telah kami sebutkan).

Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas dasar dalil tersebut jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam sholat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal itu untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca al-qur’an imam membaca al-qur’an juga. Sebetulnya telah ditetap- kan (lewat hadits shohih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam sholat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian).Hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Mak-hul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (sholat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadits…(lihat hadits Ubbadah’). 

Demikianlah menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Wallahu a’lam. (Kami susun secara bebas dari kitab Shalat Bersama Nabi saw.karya Hasan Bin‘Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman,, Jordania] cet. pertama,1993, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh PustakaHidayah Bandung).

Share :

0 Response to "BAB-7J. Kewajiban Membaca Al-Fatihah Didalam Sholat Baik Untuk Makmum Atau Imam"

Posting Komentar