BAB-10c.Dalil-dalil golongan pengingkar dan jawabannya:

     Golongan pengingkar menulis beberapa hadits dan wejangan para ulama yang membidáhkan munkar amalan bulan Sya'ban dan Rajab antara lain tulisan mereka ialah:
Hadits pertama: Barangsiapa yang shalat seratus raka’at pada malam nishfu dari bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap raka’at sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorang pun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu…sampai akhir hadits”.       

Hadits Kedua: “Barangsiapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban Qulhuwallahu ahad seribu kali dalam seratus raka’at…sampai akhir hadits”.      

Hadits Ketiga: “Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, ia baca pada tiap-tiap raka’at Qulhu 30 kali ………sampai akhir hadits”.       

Hadits Keempat: Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw. Shalat nishfu Sya’ban 14 raka’at, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali, qulhu 14 kali, ayat kursi satu kali......sampai akhir hadits”.

Kata mereka selanjutnya: 
Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadits-hadits (diatas) ini kami tidak ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadits (nomer pertama s/d ketiga) majhul (tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadits). Dan (hadits) ini (yang keempat) juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).       
Imam Nawawi berkata: “Shalat rajab, shalat nishfu Sya’ban adalah dua Bid’ah, Munkar lagi Jelek”. (As-Sunan wal Mubtada’at halaman 144,145 karangan Syaikh Muhammad Abdussalam Al-Hudlori).       

Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ragha’ib (shalat pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan shalat pada awal malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah (seribu) malam nishfu Sya’ban,adalah Bid’ah dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama (Islam). Sedang hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya?) Dusta dengan Ijma’ Ahli Ilmu Hadits”. (Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 hal.131 s/d 135).       

Imam Fatany berkata: “Tentang shalat nishfu Sya’ban itu tidak ada satu pun kabar atau riwayat (yang shahih) melain- kan riwayat yang dho’if atau palsu. Oleh karena itu janganlah kita tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu itu) di kitab QUT dan Ihya’ dan yang selain keduanya”. (As-Sunan wal  Mubta-da’at hal.144 dan 145). Dikitab Ihya karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut disunatkannya shalat nishfu Sya’ban itu. Oleh karena itulah Imam Fatany memperingat kan kita supaya jangan tertipu dengan disebutnya dikitab Ihya itu dimana pengarangnya seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak mempunyai salah?       

Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat diKitab Ihya mengatakan, “Hadits-hadits tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu adalah hadits yang Bathil,dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ali, apabila datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam- nya dan puasalah pada waktu siangnya. Tapi semua sanad nya dlo’if ! (Ihya ‘Ulumid din jilid 1 halaman 203 oleh: Imam Al-Gazali)

Jawaban:
Tidak adanya pengakuan atau kepercayaan –para Imam diatas itu– tentang hadits-hadits, yang berkaitan dengan sholat pada malam nishfu Sya’ban yang ditentukan bilangan raka’atnya dan bacaan-bacaan tertentu didalam sholat tersebut, bukan berarti mereka ini mengharamkan orang yang mengamalkan sholat sunnah atau mubah pada malam nishfu Sya’ban itu. Para imam ini hanya mengatakan –semua amalan yang telah dikemukakan dalam hadits tersebut– itu bid’ah (rekyasa baru), karena ,menurut mereka, Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan atau mengucapkan tentang ketentuan atau cara sholat dan bacaannya pada malam nishfu Sya’ban atau pada bulan Rajab. Bila benar Rasulallah saw. tidak pernah mensunnahkannya, tidak lain yang dicela oleh para ulama diatas ialah mencela atau mensesatkan orang yang mengemukakan hadits atas nama Rasulallah saw., yang mana beliau saw. sendiri tidak pernah mengucapkannya! Jadi bukan amalan ibadahnya yang dicela atau disesatkan, selama amalan ibadah ini tidak keluar dari yang telah digariskan oleh syari’at Islam!! Karena syari’at tidak melarang orang sholat sunnah muthlaq berapa raka’at yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Qur’an.(baca keterangan selanjutnya).       

Jadi para ulama tadi tidak mengharamkan orang-orang yang mengamalkan amalan sholeh pada malam nishfu Sya’ban.Para Imam itu juga tidak mengingkari adanya hadits Rasulallah saw. lainnya yang  diakui oleh para ulama pakar lainnya mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban tersebut. Umpamanya hadits yang telah kami kemukakan sebelumnya dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘..pada bulan Sya’ban diangkatnya amalan-amalan keRabbul ‘Alamin....sampai akhir hadits’. Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulllah saw. bersabda:.’...pada malam nishfu Sya’ban Allah swt. akan mengampuni orang yang mohon ampun ...sampai akhir hadits’ dan hadits-hadits  lainnya. Mengapa justru golongan pengingkar ini yang memutuskan bahwa semua amalan-amalan ibadah pada bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid’ah munkarserta melarang orang extra sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya pada waktu yang mulia tersebut?       

Begitu juga golongan pengingkar dan pengikutnya ini mempunyai paham bahwa hadits-hadits yang dhoif –walaupun dalam masalah kebaikan– tidak boleh untuk diamalkan, dengan lain perkataan, bila amalan yang tercantum di dalam hadits dhoif itu diamalkan maka otomatis menjadi haram atau bid’ah sesat yang harus diperangi.
Akidah mereka seperti itu telah menyalahi Ijma’ (sepakat) Ulama yang mengatakan: “Hadits yang dhoif itu boleh diamalkan bila berkaitan dengan Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/ baik)”. Hadits dhoif adalah hadits yang mempunyai asal/akar tetapi belum memenuhi syarat-syarat hadits hasan atau shohih, misalnya karena ada diantara perawi dari hadits tersebut yang majhul (tidak dikenal) atau lemah hafalannya. Tetapi bila banyak beredar hadits dhoif mengenai amalan yang sama dan diriwayatkan oleh berbagai para perawi lainnya maka dia meningkat menjadi hadits Hasan/ Baik, begitu juga hadits Hasan bila banyak diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan meningkat menjadi hadits shohih. Hanya dengan satu hadits saja –walau pun misalnya hadits ini lemah– tetapi banyak diriwayatkan dari berbagai jalan sudah cukup buat kita sebagai anjuran dalil untuk mengamalkan amalan-amalan sholeh pada kesempatan emas tersebut yaitu pada malam nishfu itu. Apalagi masih ada dalil yang tidak dhoif mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban itu. Dengan demikian orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa semua hadits mengenai kemuliaan bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah munkar!       

Sekali lagi, umpama saja, kita benarkan bahwa tidak ada cara tertentu yang sah dari Rasulallah saw. untuk beribadah pada malam tersebut, ini bukan berarti orang tidak boleh atau haram untuk sholat sunnah Muthlaq atau berdo’a pada malam nishfu Sya’ban yang mulia itu. Dimana dalilnya dari Rasulallah saw. atau dari para sahabat atau dari para salaf bahwa orang dilarang/haram mengamalkan ibadah (sholat, membaca do’a dan lain sebagainya) pada malam tersebut? Sudah Tentu Tidak Ada! Karena semuanya itu merupakan amalan-amalan sholeh. Agama Islam tidak pernah melarang orang mengamalkan kebaikan selama hal ini tidak berlawanan dengan yang telah digariskan oleh syari’at, serta tidak disyariatkan sebagai amalan wajib! Malah sebaliknya syari’at sering menganjurkan agar kita selalu mengamalkan amalan-amalan sholeh/kebaikan! Apakah orang yang berdo’a, sholat sunnah Muthlaq bukan termasuk sebagai amalan sholeh? Tidak ada satu pun dari golongan muslimin yang mengamalkan amalan ibadah pada malam nishfu mempunyai firasat bahwa amalan itu adalah amalan yang diwajibkan oleh syari’at Islam, tidak lain ini hanya omongan atau isu-isu yang diada-adakan oleh golongan pengingkar ini!        

Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah Muthlaq(yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang dilarang oleh agama. (ump. setelah sholat Shubuh, setelah sholat ‘Ashar dan lain sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih). Firman Allah swt.dalam surat (Al- Mu’min :60); “..Berdo’alah padaKu Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya dalam suratThaahaa:14; ‘..Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku’. Dalam ayat ini Allah swt. tidak membatasi lafadh/kalimat do’a yang harus dibaca, begitu juga Dia tidak membatasi hanya sholat wajib saja, malah ada firman Allah swt. agar manusia sholat sunnah tahajjud (sholat waktu malam) atau amalan-amalan sunnah disamping amalan wajibnya!       

Perkataan Imam Nawawi: Bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah dimalam itu (malam nishfu) adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah saw. Beliau (Imam Nawawi) mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, maupun di dalam kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki”. Jelas yang dimaksud Imam Nawawi ialah sholat bentuk ritual yang ditentukan 100 raka’at dimalam nishfu Sya’ban dan sholat Raghaib 12 raka’at di bulan Rajab ituBid’ah (rekayasa yang baru) yang tidak ada dalilnya dari Rasulallah saw. Tetapi beliau tidak mengatakan bahwa amalan itu ‘Bid’ah yang Haram dikerjakan’!        

Berapa banyak riwayat yang menyebutkan amalan ibadah sholat sunnah atau bacaan-bacaan didalam sholat yang diamalkan para sahabat yang sebelum dan sesudah nya tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw. atau tidak ada dalilnya dari beliau saw.. Begitu juga Sayyidina ‘Umar bin Khattab ra. pernah mengatakan ‘Bid’ah yang nikmat’ pada sholat Tarawih, Siti Aisyah ra sendiri pernah membid’ahkan sholat Dhuha yang beliau kerjakan dan lain sebagainya, yang telah kami kemukakan pada bab Bid’ah dibuku ini. Tetapi tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa kata-kata ‘Bid’ah’ itu otomatis Haram, Munkar yang harus diperangi. Pikirkanlah !       

Sholat sunnah Muthlaq itu boleh dilakukan kapan saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja jumlah raka’at yang di kehendaki. Sholat sunnah itu menurut ilmu Fiqih dibagi menjadi dua macam yaituMuthlaq dan Muqayyad. Untuk sunnah Muthlaq cukuplah orang berniat shalat saja (sholat yang tidak ada namanya).        
Imam Nawawi –rahimahullah– sendiri berkata: “Seseorang yang melakukan sholat sunnah dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu raka’at dan seterusnya Apabila seseorang sholat sunnah dengan bilangan yang tidak diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan kami (madzhab Syafi’i)  dan diuraikan pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahanIndonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal .11)       

Pada halaman 12 dikitab yang sama diatas ini ditulis, bahwa Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar ra. melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah salam ditegur olehAhnaf bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya, maka cukuplah Allah mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda –sampai disini Abu Dzar menangis– kemudian dilanjutkan pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ “. (Menurut al-Albani dalam kitabnya ,terjemahan bahasa Indonesia, Tamamul Minnah jilid 1 hal. 292 cet.pertama th.2001 bahwa hadits ini ada dalam shohih al-Baihaqi dan didalam- nya tidak ada perawi yang diperselisihkan, begitu juga imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini).Adapun mengenai sholat sunnah Muqayyad itu terbagi dua:       

Pertama: Yang disyariatkan sebagai sholat-sholat sunnah yang mengikuti sholat fardhu/wajib dan inilah yang disebut sholat Rawatib (ump..sholat-sholat sunnah Fajr, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan Isya’).       

Kedua: Yang disyariatkan bukan sebagai sholat sunnah yang mengikuti sholat Fardhu/wajib (ump. Sholat Tasbih, sholat Istisqa dan lain-lain).       

Abu Dzar ra. –sahabat Nabi saw. yang terkenal– telah melakukan sholat sunnah Muthlaq (yang hanya niat sholat saja), tanpa mengetahui berapa jumlah raka’at yang beliau kerjakan itu. Tidak ada para sahabat yang menegor beliau dan mengatakan bahwa amalan itu Bid’ah munkar, Haram dan sebagainya! Abu Dzar ra. juga menyebutkan suatu dalil umum yang membolehkan amalan sholat sunnah itu berapa pun jumlahnya yaitu ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah ....sampai akhir hadits’. Mengapa justru golongan pengingkar ini berani menvonnis amalan-amalan sholat sunnah Muthlaq pada malam nishfu sebagai bid’ah munkar, haram dan lain sebagainya?       

Imam Nawawi sendiri telah mengatakan bahwa orang dibolehkan/sah sholat sunnah satu, dua, sampai ratusanraka’at dengan satu kali salam bila sholat sunnah itu tidak disebutkan berapa raka’at sebelumnya. Imam yang cukup terkenal ini pun tidak mengingkari kebolehan orang untuk sholat sunnah (Mutlaq) terserah berapa raka’at yang dia kehendaki, mengapa golongan pengingkar ini berani membid’ahkan munkar atau haram orang yang mengamal kan ibadah sholat sunnah Muthlaq dimalam yang mulia yaitu nishfu Sya’ban? Apakah Abu Dzar, Imam Nawawi itu bodoh, tidak mengerti hukum fiqih hanya ulama golongan peng ingkar saja yang pandai,cerdas dan menguasai ilmu fiqih?       

Jadi para imam yang dikemukakan oleh golongan pengingkar tadi hanya mencela atau memunkarkan kepada orang yang meriwayatkan hadits atas nama Rasulallah saw. karena beliau saw. –menurut penelitian mereka– tidak pernah menganjurkan amalan-amalan ibadah tertentu pada malam nishfu atau pada bulan Rajab. Jadi bukan amal ibadahnya yang dicela atau disesatkan.       
Umpama saja kita tolerans dengan golongan pengingkar yaitu membenar- kan paham mereka bahwa para imam itu benar-benar mengharamkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban atau Rajab. Ini pun bukan suatu dalil yang harus di-ikuti karena dalam syari’at tidak ada pengharaman sholat sunnah dengan bacaan-bacaan tertentu dalam sholat tersebut. Malah sebaliknya banyak dalil yang menganjurkan agar kita memperbanyak ibadah sunnah dan berdzikir serta banyak riwayat yang menulis bahwa para sahabat mengamalkan amalan bid’ah hasanah yaitu menambah bacaan dalam sholat fardhu yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw.. (silhakan rujuk kembali pada bab Bid’ah dibuku ini) Wahai saudaraku, janganlah seenaknya menghukum amalan ibadah sunnah atau mubah sebagai bid’ah munkar atau haram dikerjakan! Menghukum sesuatu amalan nafilahsebagai bid’ah munkar atau haram harus menunjuk kan nash yang khusus atas keharaman amalan tersebut, jadi tidak seenaknya sendiri! Bila kalian tidak mau mengamalkan amalan-amalan mubah ini, silahkan, itu urusan kalian tidak ada orang yang mencela hal itu, karena tidak lain semuanya itu hanya amalan sunnah atau mubah! Cukup banyak dalil baik dari firman Allah swt. mau pun dari sunnah Rasulallah saw. agar manusia selalu berbuat kebaikan, dan setiap kebaikan walau pun kecil akan dicatat pahalanya! Apakah sholat sunnah atau do’a kepada Allah swt. itu bukan termasuk kebaikan? 

Share :

0 Response to "BAB-10c.Dalil-dalil golongan pengingkar dan jawabannya:"

Posting Komentar