FARDU ATAU RUKUN WUDLU



▪️ Untuk Ke Daftar Isi Awal, Klik Di Sini: TERJEMAH KITAB FATHUL MU'IN

•【 FARDU ATAU RUKUN WUDHU 】•


( وَفُرُوضُهُ سِتَّۃٌ )

    Adapun fardhunya wudhu (rukunnya wudhu) itu ada enam, yaitu:

1. Niyat

اَحَدُهَا ( نِيَّۃُ ) وُضُوءٍ او اَدَاء ( فَرضِ وُضُوءٍ ) اَو رَفعِ حَدَثٍ، لِغَيرِ دَاءِمِ الحَدَثِ حَتّٰی فِی الوُضُوءِ المُجَدِّدِ، اوِ الطَّهارَۃِ عنه اوِ الطَّهارَۃِ لِنَحوِ الصّلاۃِ مِما لَايُبَاحُ اِلّا بِالوُضُوءِ، اَو اسۡتِبَاحَۃِ مُفتَقِرٍ اِلٰی وُضُوءِِ كالصّلاۃِ ومسِ المصحَفِ

  Yang pertama adalah: Niyat, yakni antara lain:

- Niyat berwudhu,
- Atau niyat menjalankan fardhunya.
- Atau niyat menghilangkan hadats. Dan yang boleh niyat dengan kalimat "menghilangkan hadats" ini khusus bagi orang yang tidak langgeng hadas. Dan niyat menghilangkan hadats ini juga berlaku bagi orang yang hanya memperbaharui wudhu (walau belum hadats).
- Atau niyat bersuci dari hadast,
- Atau niyat bersuci untuk sesuatu yang khusus, semisal bersuci untuk sholat dll, yakni bersuci untuk melakukan hal yang tidak di perbolehkan kecuali harus dengan berwudhu lebih dahulu.
- Atau niyat agar di bolehkan melakukan sesuatu yang membutuhkan wudhu lebih dahulu. Seperti halnya untuk sholat dan menyentuh mushaf.

وَلَا تَكفِی نِيَّۃُ استِبَاحَۃِ مَا يُندَبُ لَهُ الوُضُوءِ كَقِرَاءَۃ القُرآنِ اوالخَديثٍ وَكَدُخُولِ مَسجِدٍ وزِيَارَۃِ القُبُورِ، والاصلُ فِی وُجُوبِ النِّيَّۃِ خَبرُ 
  
  Dan tidaklah mencukupi bila hanya berniyat: "Agar di perbolehkannya melakukan sesuatu yang di sunahkan berwudhu" Seperti niyat wudhu agar di bolehkan membaca alqur'an atau membaca hadits. Atau niyat wudhu agar boleh masuk masjid, atau ziarah kubur.

Adapun yang menjadi dasar dalil bagi wajibnya niyat adalah hadits yang mengatakan:

اِنَّمَا الاَعمَالُ بِالنِّياتِ ای اِنَّما صِحَتُهَا لَا كَمالُهَا

  "Sesungguhnya amal-amal itu harus di sertai dengan niyat", yakni demi sahnya suatu amal, itu harus dengan adanya niyat, bukan masalah demi kesempurnaan amalnya.

▪ Walhasil:
  Dalam masalah niyat, agar dengan satu wudhu menjadi wudhu yang multi fungsi, maka hendaknya gunakanlah niyat yang sifatnya umum, sebagaimana di ajarkan oleh para ulama, yakni:

نويتُ الوضُوءَ لِرَفعِ الحدثِ الاصغَرِ فرضا لِلّٰه تعالی
  
  "Aku berniyat wudhu fardhu untuk menghilangkan hadats kecil karena Alloh Ta'ala".
  
  Namun bagi orang yang langeng hadas, maka tidak boleh ada niyat lirof'il hadas (untuk menghilangkan hadas), Alasannya, walau bagaimanapun hadasnya orang yang langgeng hadas itu tidak akan bisa hilang, maka niyat yang tepat dan berfungsi untuk melakukan sunnah rowatibnya tiap-tiap fardhu adalah:

نَويتُ فَرضَ الوُضُوءِ لِاِستِبَاحَۃِ الصلاۃ  لِلّٰهِ تعالی
  
  "Aku berniyat fardhu wudhu agar di bolehkan untuk melakukan sholat".

Dan apabila bertayamum, maka niyatnya adalah:

نويت التيمُّمَ لاِستِباحَۃِ الصلاۃ فرضًا لله تعالی

  "Aku berniyat fardhu tayamum agar di bolehkan untuk melakukan sholat".
  
  Adapun bagi orang yang langgeng hadats jika berwudhu atsu tayamum untuk niyat khutbah baginya, atau niyat sholat sunah yang berwaktu, maka cukup sebutkan apa yang ia niyatkan, seperti:

نويت الوضوء لِاِستباحَۃ الخُطبَۃِ لِلّٰهِ تعالی
نويت التيمم لِاِستباحَۃ الخُطبَۃِ لِلّٰهِ تعال
Dan sebagainya,

وَيَجِبُ قَرنُهَا ( عِندَ ) اَوَّلِ ( غَسلِ ) جُزءٍ مِنَ ( الوَجهِ ) فَلَو قَرَنَهَا فِی اَثنَاءِهِ كَفٰی وَوَجَبَ اِعَادَۃُ غَسلِ مَا سَبَقهَا وَلَا يَكفِی قَرنُهَا بِمَا قَبلَهُ حَيثُ لَم يَستَصحِبهَا اِلٰی غَسلِ شَيءٍ مِنهُ وَمَا قَارَنهَا هُو اَوَّلُهُ فَتَفُوتُ سُنَّۃُ المَضمَضَۃِ اِن اغۡسَلَ مَعَها شَيءٌ من الوَجهِ كَحُمرۃِ الشفَۃِ بَعدَ النِّيَۃِ
  
  Dan dalam niyat wajib bersamaan dengan awal membasuh bagian wajah. Dan seandainya niyatnya bersamaan dengan pertengahan membasuh wajah, maka ini mencukupi. Namun wajib mengulang kembali bagian wajah yang di basuh sebelum niyat.

  Dan tidak mencukupi (tidak sah) bila meletakan niyat sebelum membasuh wajah, sekiranya tidak di barengi dengan membasuh bagian dari wajah. Basuhan yang bersamaan dengan niyat, adalah disebut awalnya. Karena itu, terlepaslah kesunahan berkumur, jika sesuatu dari wajah ikut terbasuh bersama saat berkumur, Karena saat berkumur itu pastinya membasuh bagian dari wajah, seperti jatuhnya niyat saat membasuh bagian bibir, (maka niyat pada saat itu sudah di anggap sah).

  Yakni, ketika berpedoman bahwa niyat itu harus bersamaan dengan awal membasuh bagian wajah. Dan kita tahu bahwa, saat berkumur yang pastinya mengenai bibir yang merupakan bagian wajah, sudah niyat duluan.  Maka dalam hal ini niyatnya di anggap sah. Namun bila demikian halnya, maka fadhilah sunah berkumur dan menghisap air ke hidung di anggap hilang tanpa pahala.

فالاولٰی اَن يُفَرِّقَ النِّيَّۃَ، بِاَن يَنوِيَ عِندَ كُلٍّ مِن غَسلِ الكَفَّينِ والمَضمَضۃِ والاِستِنشَاقِ سُنَّۃَ الوُضُوءِ ثُمَّ فَرضَ الوُضُوءِ عِندَ غَسلف الوجهِ، حَتّٰی لَاتَفُوتَ لَهُ فَضِيلَۃَ استصحابِ النِّيَّۃِ من اَوَّلِهِ وَفَضِيلَۃَ المضمَضۃِ والاِستِنشَاقِ مَعَ انغسالِ حَمرۃِ الشفَۃِ
  
  Maka yang lebih utama dalam hal niyat ini, hendaknya orang yang berwudhu itu memisah-misahkan niyatnya dari awal, seperti ketika melakukan tiap basuhan, yakni dari mulai membasuh telapak tangan, lalu berkumur, dan menghisap air ke hidung, ini di niyyati melaksanakan sunahnya wudhu.
  
  Kemudian niyat fardhunya wudhu di barengkan dengan mengawali membasuh wajah, hingga dengan demikian, ia tidak ketinggalan membarengkan niyat dari awal wudhu, dan tidak kehilangan fadhilahnya berkumur dan menghisap air kedalam hidung, yang pastinya saat berkumur itu pasti membasahi bibir (yang memang merupakan bagian dari wajah).

2. Membasuh Muka

و ) ثانِيهَا ( غَسلُ ) ظَاهِر ( وَجهِهِ ) لِآيَۃٍ فَاغسِلُوا وُجُوهَكُم ( وَهُو ) طَولًا ( مَا بينَ مَنَابِتِ شَعر  (رَاسِهِ ) غَالِبًا ( وَ ) تَحتَ ( مُنتَهٰی لَحيَۃٍ ) بفَتحِ اللامِ فَهُو مِنَ الوَجهِ دُونَ مَا تَحتَهُ والشعرِ النَّابِت عَلٰی مَاتَحتِهِ
  
  Rukun wudhu yang kedua adalah: Membasuh bagian luar wajah. Berdasarkan dalil Al-qur'an, yakni: "Maka basuhlah wajah kalian". Adapun batas wajah dari sisi panjangnya adalah, antara tempat tumbuh rambut di kening pada umumnya sampai dengan bagian bawah janggut.

  Lafadz "لَحيَۃٍ" dengan menggunahan harohat fathah pada huruf lamnya, artinya adalah merupakan bagian dari wajah. Bukan sesuatu yang di bawah wajah dan bawah rambut jenggot.

و ) عَرضًا ( مَا بينَ اُذُنَيهِ )
  
  Dan dari sisi lebarnya adalah, antara dua telinga. (Kebawah sesuai tonjolan tulang rahang hingga ke janggut).

وَيَجِبُ غَسلُ شَعرِ الوَجهِ من هَذبٍ وَحَاجِبٍ وَشَارِبٍ وَعنقَۃٍ وَلِحيَۃٍ وَهی مَا نبتَ عَلٰی الذقنِ وهو مُجتَمَعُ اللّحيَينِ وَعِذارٍ، وَهُوَ مَا نَبَتَ عَلٰی العَظمِ المَحاذِی لِلاُذُنِ وَعَارِضٍ وَهُو مَا اِنحَطَ عَنهُ اِلٰی اللّحيَۃِ

  Dan ketika membasuh muka, wajib membasahi semua rambut yang tumbuh di wajah, seperti bulu mata, alis, kumis, bulu pipi (depan telinga), jenggot. Dan jenggot ini adalah rambut yang tumbuh di janggut, yaitu tempat pertemuan dua sisi rahang, dan rambut pipi, yaitu rambut yang tumbuh di atas tulang yang depan telinga, Dan wajib membasuh rambut bewok, yaitu rambut yang turun dari depan telinga hingga janggut.

وَمِنَ الوَجهِ حُمرَۃُ الشَّفَتَينِ وَمَوضِعُ العَمَمِ وَهُوَ مَا نَبَت عَلَيهِ الشَّعرُ مِنَ الجَبهَۃِ دُونَ مَحَلِ التحذِيفِ عَلٰی الاَصَحِ وَهُو مَا نَبَت عَلَيه الشعرُ الخَفيفُ بينَ ابتِدَاءِ العِذَارِ، والنَّزعَۃِ وَدُونَ وَتَدِ الاُذُنِ
  
  Dan termasuk bagian dari wajah adalah merah-merahnya dua bibir, lalu tempat tumbuhnya rambut tipis di kening, bukan tempat yang biasa di kerik menurut pendapat al ashoh. Dan yang di maksud "التحذيف" adalah rambut tipis yang tumbuh di tulang depan telinga bagian atas (jawa: athik-athik) hingga kedua sisi pojok dahi, bukan rambut yang tumbuh di atas telinga.

والنَّزعَتانِ وَهُمَا بيَاضَان يَكتَنفانِ النَّاصِيَۃَ، وَمَوضِعُ الصلعِ وَهُو مَا بينهمَا اِذَا اِنحَسَرَ عنه الشعرُ
  
  Dan termasuk bagian dari wajah juga, adalah dua sisi pojok dahi yang tidak di tumbuhi rambut yang ada di kanan kiri ubun-ubun, lalu bagian botak kepala, yaitu bagian yang ada di antara dua pojok dahi ketika rambut dibelah tengah ketika menyisir, (yakni ketika di tempat itu tidak di tumbuih rambut, maka itu termasuk bagian wajah yang harus di basuh).

وَيُسَنُّ غَسلُ كُلِّ مَا قيلَ اَنَّهُ لَيسَ من الوَجهِ، وَيَجِبُ غَسلُ ظَاهِرِ وَبَاطِنِ كُلٍّ مِنَ الشعُورِ السَّابِقَۃِ وَاِن كَثُفَ لِنَدرَۃِ الكَثَافَۃِ فِيهَا، لَابَاطِنِ كَثيفِ لِحيَۃٍ وَعَارِضٍ
  
  Dan di sunahkan membasuh setiap bagian yang di katakan bahwa itu bukan bagian dari wajah. Dan wajib membasuh secara luar dalam dari tiap-tiap rambut yang telah di tuturkan sebelumnya. Walapun yang tebal. Alasannya, karena langkanya rambut tebal di bagian-bagian tersebut. Namun tidak wajib membasuh luar dalam khususnya untuk rambut jenggot dan rambut bewok.

والكَثيفُ مَا لَم تَرَ البَشَرَۃُ مِن خِلَالِهِ فِی مَجلِسِ التَّخَاطُبِ عُرفًا، وَيَجِبُ غَسلُ مَا لَا يُتَحَقَّقُ غَسلُ جَمِيعِهِ اِلّا بِغَسلِهِ لِاَنَّ مَا لَايَتِمُّ الوَاجِبُ اِلّا بِهِ وَاجِبٌ
  
  Dan ketentuan dari tebalnya rambut jenggot dan bewok ini, adalah: ketika kulit di bagian tersebut tidak bisa kelihatan dari sela-sela rambut, dari jarak pandang orang yang duduk berbincang pada umumnya.
  
  Dan wajib membasuh bagian yang sekira tidak bisa di nyatakan telah terbasuh semua bagian yang wajib di basuh kecuali bila dengan membasuh bagian tersebut, Karena basuhan yang tidak bisa merata secara sempurna kecuali dengan menyertakan bagian yang lain, maka membasuh bagian lain itu menjadi wajib hukumnya.

Artinya, ketika membasuh semua bagian dari wajah itu tidaklah bisa sempurna kecuali bila membasuhnya melampaui batas dari wajah itu sendiri. Maka membasuh wajah dengan melewati bagian batas wajah adalah wajib. Sebagaimana membasuh tangan yang batas wajibnya adalah siku, maka untuk kesempurnaan basuhan hingga siku, wajib membasuh lewat di atas siku.

3. Membasuh Dua Tangan

وَ ) ثَالِثُهَا ( غَسلُ يَدَيهِ ) مِن كَفَّيهِ وَذِرَاعَيهِ ( بِكُلِّ مِرفَقٍ ) لِلآيَۃِ، وَيَجِبُ غَسلُ جَمِيعِ مَا فِی مَحَلِّ الفَرضِ مِن شَعرٍ وَظَفرٍ وَان طَالَ
  
  Rukun wudhu yang ketiga adalah: Membasuh kedua tangannya dari bagian telapak hingga lengan sampai dengan tiap-tiap siku tangan, Karena berdasarkan ayat Al-qir'an tentang hal itu. Dan wajib membasuh semua bagian yang wajib di basuh, termasuk rambut yang ada, atau kuku, walaupun panjang.

▪ Cabang: Lupa Membasuh Sebagian Dari Anggota

فَرعٌ ﴾ لَو نَسِيَ لُمعَۃً فَانغَسَلَت فِی تَثلِيثٍ اَو اِعَادَۃِ وُضُوءٍ لِنِسيَان لَهُ، لٰا تَجدِيدٍ وَاحتِيَاطٍ اَجزَاءَهُ
  
  Apabila orang yang berwudhu lupa bahwa ada sebagian sedikit yang lupa tidak terbasuh lalu dia menyusul membasuhnya pada saat basuhan yang ketiga, atau malah dia mengulang wudhunya karena lupa membasuh bagian tersebut, maka itu sudah di anggap cukup atau sah.
  
  Namun hal yang demikian ini tidak lah sah, bila di lakukan dalam wudhu yang sifatnya memperbarui wudhu, atau wudhu yang sifatnya sebagai sikap ke hati-hatian, (yang di timbulkan karena keraguan antara sudah hadas atau belum).

Artinya: Ketika seseorang melakukan wudhu yang sifatnya sunnah (yakni karena belum hadast namun wudhu lagi), atau wudhu yang sekedar ihtiyat karena ragu kalau-kalau sudah hadats, maka ketika basuhan pertama, harus merata secara sempurna pada tiap-tiap anggota yang di basuh. Atau boleh pada basuhan kedua, dengan syarat bila itu di niyati dan di hitung sebagai basuhan pertama.

4. Mengusap Sebagian Kepala

و ) رَابِعُهَا ( مَسحُ بَعضِ رَأسِهِ ) كَالنَّزعَۃِ والبَيَاضِ الذی وَراءَ الاُذُنِ بَشَرٍ او شَعرٍ فِی حَدِّهِ، وَلَو بَعضَ شَعرَۃٍ واحِدَۃٍ لِلآيَۃِ
  
  Rukun Wudhu yang ke empat adalah: Mengusap sebagian kulit kepala, seperti bagian atas pojok kening atau kulit yang ada dibagian belakang telinga, yakni mengusap kulitnya atau boleh juga rambut yang ada di batas kepala. Walaupun hanya mengusap sebagian dari satu helai rambut. Karena ada ayat Al-qur'an yang menjelaskan tentang mengusap kepala.

▪ Keterangan
  
  Dalam mengusap kepala, di sunnahkan mengusap semua bagian rambut kepala dengan cara menyusupkan jari jemari dari arah depan ke belakang dan berbalik dari belakang ke arah depan.
  
  Ketika hanya mengusap sebagian rambut kepala, ini tidak boleh atau tidak mencukupi bila hanya mengusap rambut yang menjulur panjang melampaui batas kepala. —Syarah.

وقال البغوی يَنبَغی اَن لَاتَجزِیءَ أَقَلَّ مِن قَدرِ النَّاصِيَّۃِ وَهِیَ مَا بَين النَّزعَتَينِ، لِاَنَّهُ ﷺ لَم يَمسَح اَقَلَّ مِنهَا وَهِیَ رَوايَۃٌ عَن اَبی حَنيفَۃِ رَحمه ﷲ تعالی وَالمشهُورُ عَنه وُجُوبُ مَسحِ الرُّبعِ
  
  Imam Baghowi mengatakan: "Hendaknya ketika mengusap bagian kepala, janganlah mengusap dengan lebih sedikit daripada ukuran lebarnya ubun-ubun, yaitu kulit kepala yang berada di antara dua sisi kening bagian atas, karena Rosululloh Saw mencontohkan, tidak mengusap dengan usapan yang lebih sedikit dari pada ukuran ubun-ubun.
  
  Dan riwayat hadits ini adalah dari Abu Hanifah. Dan menurut qaul yang masyhur dari imam Abu Hanifah, beliau mewajibkan mengusap seperempat (dari kulit kepala).

5. Membasuh Dua Kaki

و ) خَامِسُهَا ( غَسلُ رِجلَيهِ بِكُلِّ كَعبٍ ) مِن كُلِّ رِجلٍ لِلآيَۃِ اَو مَسحِ خُفِيَهَا بِشَرطِهِ، وَيَجِبُ غَسلُ بَاطفنِ ثَقَبٍ وَشَقّٓ
  
  Rukun wudhu yang kelima adalah: Membasuh kedua kaki beserta semua mata kaki yang ada pada tiap satu kaki, karena berdasarkan ayat Al-qur'an yang memerintahkan tentang hal itu. Atau paling tidak mengusap sepatu slop kulit, dengan syarat-syarat yang telah di tentukan dalam hal ini.
  
  Dan dalam membasuh kaki, di wajibkan membasuh semua bagian yang berlobang atau bagian yang terbelah atau berkerut, (seperti kerutan kulit kaki yang ada di atas tumit /pangkal kaki bagian belakang).

▪ Cabang: Kaki Yang Terkena Duri

فرع ﴾ لَو دَخَلت شَوكَۃٌ فِی رِجلِهِ وَظَهَرَ بَعضُهَا وَجَبَ قَلعُهَا وَغَسلُ مَحَلِّهَا لِاَنَّهُ صَارَ فِی حُكمِ الظَّاهِرِ فِاِن استُتِرَت كُلُّهَا صَارَت فِی حُكمِ البَاطِنِ فَيَصِحُ وُضُوءُهُ وَلَو تَنَفَّظَ فِی رِجلٍ او غَيرِهِ لَم يَجِب غَسلُ بَاطِنِهِ مَا لَم يَتَشَقَّقْ فَاِن تَشَقَّقَ وَجَبَ غَسلُ بَاطِنِه مَالم يَرتَتِقۡ
  
  Seandainya ada semacam duri masuk /menancap di kulit kaki dan sebagian duri tersebut ada yang nampak, maka wajib mencabutnya dan wajib membasuh bagian dalam yang kemasukan duri, karena bila demikian, hal itu sudah termasuk bagian luar secara hukum.
  
  Namun bila bagian duri menancap masuk semua kedalam kulit (hingga tidak bisa di cabut) yakni tertutup kulit, maka itu sudah di hukumi bagian dalam dari kulit kaki. Dan wudhunya tetap sah (walau tidak membasuh bagian dalam yang tertusuk duri.
  
  Dan seandainya ada benjolan di bagian kaki atau anggota yang lain (seperti bisul, dan semacamnya), maka tidak di wajibkan membasuh bagian dalamnya, selama benjolan tersebut belum di belah. Apabila sudah di belah, maka wajib membasuh bagian dalam dari kulit yang terbelah itu, Itupun selagi kulit yang terbelah belum kembali rekat dan menyatu seperti sedia kala.

▪ Peringatan: Masalah Rambut yang Mengikat dengan Sendirinya

تنبيه ﴾ ذكَرُوا فِی الغُسلِ اَنَّهُ يُعفَی عَن بَاطِنِ عَقدِ الشَّعرِ اِی اِذَا اِنعَقَدَت بِنفسِهِ، وَاُلحِقَ بِهَا مَن اُبتُلِیَ بِنَحوِ طُبُوعٍ لَصَقَ بِأُصُولِ شَعرِهِ حَتّٰی مَنَعَ  ُصُولَ المَاءِ اِلَيهَا ولَم يُمكِنْ اِزَالَتُهُ.
  
  Para ulama menuturkan: Dalam masalah mandi hadas besar, bahwa sesungguhnya dima'afkan ketika tidak bisa membasahi rambut yang terikat (yakni ruwet dan terikat dengan sendirinya).
  
  Dan dalam hal ini, di sama kan dengan orang yang terkena cobaan dengan banyaknya telur kutu (ketombe) rambut yang menempel di pangkal-pangkal rambut, hingga mencegah dari masuknya air yang membasahi pangkal rambut. Dan tidak mungkin untuk menghilangkannya (secara seketika).

وَقَد صَرَحَ شَيخُ شُيُوخِنَا زَكَرِيَا الاَنصَاری بِاَنَّهُ لَا يُلحَقُ بِهَا بَل عَلَيهِ التَّيَمُمُ لَمِن قَالَ تِلمِيذُهُ شَيخُنَا والذِی يُتُجَّهُ العفوُ لِلضَّرُورَۃِ
  
  Dan gurunya dari guru kami, beliau adalah Syaikh Zarkasi Al-Anshory mengatakan, bahwa masalah telor kutu (ketombe) ini tidak bisa di samakan dengan rambut yang ruwet terikat dengan sendirinya. Bahkan beliau mengharuskan tayamum bagi orang yang rambutnya penuh telor kutu (ketombe).

  Akan tetapi, murid beliau, yakni guru kami sendiri menyatakan bahwa yang demikian itu cenderung di ma'afkan. Karena itu tergolong dhorurot.

6. Tertib

و ) سادِسُهَا ( تَرتيبٌ ) كَمَا ذُكِرَ من تَقدِيمِ غسلِ الوجهِ فاليدينِ فالرأسِ فالرجلينِ لِلاِتبَاع، وَلَو اِنغَمَسَ مُحدِثٌ وَلَو فِی مَاءٍ قَلِيلٍ بِنِيَّۃٍ مُعتَبَرۃٍ مِمَّا مَرَّ اَخزَأَهُ عَنِ الوُضُوءِ وَلَو لَم يَمكُثْ فِی الاِنغماسِ زَمَنًا يَمكُنُ فِيهِ التَّرتيبُ
  
  Rukun wudhu yang ke enam adalah: Tertib/berurutan. seperti mendahulukan membasuh wajah (bersama niyat) kemudian membasuh kedua tangan, kemudian mengusap kepala, lantas membasuh kedua kaki. Itu semua karena itba' pada Rosululloh Saw.

  Dan seandainya seseorang yang hadats  menyelam kedalam air, walaupun air yang sedikit, dengan niyat yang mu'tabar sebagaimana telah di jelaskan (dalam tata cara niyat dalam wudhu). Maka cukuplah dia di anggap telah berwudhu secara sah. Walaupun dia tidak diam beberapa saat di saat tenggelam. Yakni diam yang sekiranya cukup bila untuk melakukan urutan basuhan fardhu dalam berwudhu.

نَعَم لَو اِغتَسَلَ بنِيَّۃٍ فَيُشتَرَطُ فِيهِ التَّرتيبُ حَقِيقَۃٌ وَلَا يَضُرُّ نِسيَانُ لَمعَۃٍ اَو لُمَعَ فِی غَيرِ اعضَاءِ الوُضُوءِ بَل لَو كَانَ عَلٰی مَاعَدَا اٰعضَاءَهَ مَانِعٌ كَشمعٍ لَم يَضُرُّهُ كَما استظهَرُهُ شَيخُنَا وَلَو اَحدَثَ واَجنَبَ اَجزَاءَهُ الغَسلُ عَنهُمَا بِنِيَّتِهِ وَلَايَجِبُ تَيَقُّنُ عُمُومُ المَاءِ جميعَ العَضوِ بَل يَكفِی عَلَيهِ الظَّنُّ بِهِ
  
  Memang benar demikian halnya dan sah wudhunya, Namun jika seseorang mengguyurkan air (dari kepala hingga kaki) dengan di sertai niyat  berwudhu, maka yang demikian ini sebenarnya di syaratkan untuk mengurutkan.

  Dan tidaklah mengapa (bagi orang yang berwudhu dengan menyelam) bila lupa membasahi sebagian kecil atau bahkan beberapa titik yang berada di selain anggota wudhu.

  Bahkan seandainya di anggota selain anggota wudhu itu ada sesuatu yang bisa mencegah masuknya air ke kulit, seperti lilin misalnya, maka itu tidak jadi mudhorot baginya. Sebagaimana penjelasan dari guru kami, yaitu: "Seandainya seseorang  berhadas atau jinabah (dengan menyelam), maka itu cukup baginya sebagai pengganti dari wudhu atau mandi jinabah, dengan syarat,  niyat wudhu atau niyat mandi jinabah.

  Dan tidaklah di wajibkan meyakini secara nyata soal meratanya air ke semua bagian tubuh atau anggota wudhu. Namun cukup dengan kuatnya prasangka bahwa air telah membasaih secara merata.

▪ Keterangan

Ibarot di dalam kitab Fathul Jawad menjelaskan:

فَخَرَجَ بالانغماسِ الاغتسَالُ فَيُشتَرطُ فِيه الترتِيبُ

  Dari Ungkapan menyelam, itu berbeda dengan mengguyurkan air (ke sekujur badan), maka dalam hal ini di syaratkan adanya tertib (mengurutkan guyuran sebagaimana urutan membasuh anggota wudhu). —Syarah.

▪ Cabang: Orang Berwudu atau Mandi, yang Ragu Sesudah Membasuh

فرع ﴾ لَو شَكَّ المُتُوَضِیء اَوِ المُغتَسِلِ فِی تَطهِير عُضوٍ قبلَ الفِراغِ مِن وُضُوءِهِ او غُسلِهِ طَهَّرَهُ وَكَذَا مَا بَعدَهُ فِی الوُضُوءِ اَوبَعدَ الفِرَاغِ من طُهرِهِ لَم يُوءثَر، وَلَو كَانَ الشَّكُّ فِی النِّيَّۃِ لَم يُوءثَر اَيضًا عَلٰی الاَوجُهِ كَمَا فِی شَرحِ المنهَاجِ لِشَيخِنَا

  Seandainya seseorang yang berwudhu atau orang yang mandi jinabah ada rasa ragu-ragu tentang kesucian sebagian anggota badan. Dan keraguan itu datang sebelum selesai berwudhu atau sebelum selesai membasuh anggota tersebut, maka baginya wajib mensucikan anggota tersebut terlebih dahulu.

  Demikian juga wajib mensucikannya, apabila keraguannya datang setelah selesai membasuh anggota wudhu, ini apabila terjadi dalam berwudhu khususnya. (yakni musti di sucikan trrlebih dahulu baru di lanjut membasuh anggota berikutnya, karena berwudhu itu di tuntut harus tertib, Bereda apabila mandi, maka bebas mau kapan mensucikan anggota yang belum suci). Atau apabila keraguannya datang sesudah mensucikannya, maka keraguan seperti itu tidak menjadi dampak dalam ke afsahan berwudhu atau mandi jinabah.

  Dan apabila seseorang ragu-ragu dalam masalah berniyatnya ketika wudhu atau mandi, maka ini juga tidak berdampak pada ke absahan wudhu atau mandinya. (yakni tetap sah), itu menurut pendapat yang lebih unggul. Sebagaimana di sebutkan dalam syarah kitab "Minhaj" karya guru kami.

(Namun menurut putra beliau, bila ragu-ragu dalam masalah niyat, itu berdampak pada ke absahan wudhu, sebagaimana ketika ragu-ragu dalam niyat sholat). —Syarah.

وقال فِيهِ قِيَاسُ مَا يَاتِی فِی الشَّكِّ بَعدَ الفاتِحَۃِ وقبلَ الرّكُوعِ اَنَّهُ لَو شَكَ بَعد عُضوٍ فِی اصلِ غَسلِهِ لَزِمَهُ اِعَادَتُهُ اَوبَعضَهُ لَم تَلزَمهُ فليُحمَلْ كَلَامُهُم الاوَّلُ عَلٰی الشَّكّف فِی اَصلِ العُضو لَا بَعضَهُ

  Dan guru kami berkata di dalam sarah kitab "Minhaj" : "Persamaan dari masalah keraguan dalam mensucikan atau membasuh anggota badan setelah selesai basuhan (itu sama seperti ketika dalam sholat seseorang ragu dalam masalah niyat), yang keraguannya tersebut datang setelah selesai fatihah dan sebelum ruku'.

  Yakni ketika seseorang ragu setelah membasuh anggota, apakah sudah membasuh semuanya atau belum, maka wajib baginya mengulang basuhan tersebut dari awal. Tetapi jika keraguannya hanya masalah sudah merata basuhannya atau belum, maka tidak wajib baginya mengulang basuhan dari awal.

Maka pendapat ulama dalam hal ragu-ragu ini, hendaknya di tanggungkan pada pembahasan awal, yakni ketika ragu belum membasuh sama sekali, maka wajib mengulang dari awal, jika ragu dalam hal sudah merata atau belum dalam membasuhannya, maka tidak perlu mengulang dari awal, (karena itu hanya masalah ragu, yang bisa jadi di timbulkan hanya oleh rasa ragu atau was-was). [SII Group].


Share :

0 Response to "FARDU ATAU RUKUN WUDLU"

Posting Komentar