PASAL 2: SIFAT-SIFAT SHOLAT - RUKUN-RUKUN SHOLAT



▪️ Untuk Ke Daftar Isi Awal, Klik Di Sini: TERJEMAH KITAB FATHUL MU'IN


▪️ Keterangan
▪️ Cabang: Ragu-ragu dalam Pembacaan Basmalah yang terjadi di Tengah-tengah Fatihah
▪️ Orang yang Tidak Mampu Membaca Fatihah
▪️ Kesunahan Membaca Doa Iftitah
▪️ Membaca Ta'awudz
▪️ Membaca Ta'min
▪️ Cabang: Kesunahan Diam Bagi Imam Setelah Membaca Amin
▪️ Faedah: Diam Sejenak antara Ta'min dan Fatihah
▪️ Kesunahan Membaca Surah dari Alqur-an
▪️ Cabang: Makmum Selesai Membaca Sebelum Imamnya
▪️ Cabang: Meninggalkan Bacaan Ayat Alqur-an yang Ma'tsur
▪️ Peringatan: Bacaan yang Keras
5. Rukuk
▪️ Peringatan: Membungkuk Waktu Rukuk dengan Tujuan Lain
6. Iktidal
▪️ Doa Qunut
7. Dua Kali Sujud
8. Duduk di antara Dua Sujud
9. Thumakninah
10. Tasyahud Akhir
11. Salawat Nabi
12. Duduk Tasyahud dan Salawat Salam
13. Mengucapkan Salam Pertama
▪️ Peringatan: Kepada Siapa Salam Salat Ditujukan
▪️ Beberapa Cabang: Niat Keluar dari Salat
14. Tertib
▪️ Cabang: Beberapa Sunah Salat
Zikir dan Doa Setelah Salat
▪️ Faedah: Bersuara Keras dalam Zikir dan Doa
▪️ Beberapa Cabang: Hamdalah dan Ta'min serta Mengangkat Tàngan dalam Berdoa
▪️ Berpindah Tempat untuk Mengerjakan Salat Berikutnya
▪️ Menggunakan Sutrah Waktu Salat
▪️ Meludah di Waktu Sedang Salat
▪️ Membawa Kotoran ke dalam Mesjid
▪️ Tidak Mengenakan Tutup Kepala
▪️ Salat Sambil Menahan Hadas
▪️ Salat Menghadap Makanan atau Minuman
▪️ Salat Di Jalanan Gedung
▪️ Salat Menghadap Kuburan


◈ PASAL 2: SIFAT-SIFAT SHOLAT ◈•
【 RUKUN-RUKUN SHOLAT 】•

•◈ فصل  فِی صِفَۃِ الصلاۃ ◈•

اركانُ الصلاۃِ )  ای فُرُوضُهَا اَربَعَۃَعَشَرَ بِجَعلِ الطُّمَأنِينَۃِ فِی مَحَالِّهَا رُكنًا وَاحِدًا

  Adapun rukun-rukun sholat ,yakni fardhu-fardhu yang di lakukan di dalam sholat itu ada empat belas. Hitungan ini apabila menjadikan tuma'ninah yang berada di beberapa tempat di hitung sebagai satu rukun.

1. Niyat

اَحَدُهَا ( نِيَّۃٌ ) وَهِی القَصدُ بِالقَلبِ لِخَبَرٍ

- Yang pertama adalah: Niyat. Dan yang di maksud niyat adalah menyengaja melakukan sholat dan menghadirkannya di dalam hati. Berdasarkan hadist yang mengatakan:

انَّمَا الاعمَالُ بِالنِْيَاتِ

  "Keabsahan suatu amalan itu tergantung pada adanya niyat.

▪️ Hal Yang Di Wajibkan Dalam Niyat

فَيَجِبُ فِيهَا ) ای النِّيَّۃِ ( قَصدُ فِعلِهَا ) ای الصَّلاۃِ لِتَتَمَيَّزَ عَن بَقِيَّۃِ الافعَالِ

  Dan di dalam niyat, musholi di wajibkan menyengaja di dalam hati untuk melakukan sholat. Alasannya untuk membedakannya dengan perbuatan amaliyah yang selain sholat.

وَتَعيِينُهَا ) مِن ظُهرٍ  اوغَيرِهِ لَتَتَمَيَّزَ عَن غَيرِهَا فَلَا يَكفِی نِيَّۃُ فَرضِ الصَّلاۃِ 

  Dan wajib menentukan/menyebutkan sholat yang akan di kerjakan, Seperti dzuhur dan lain-lain, Alasannya untuk membedakan antara sholat yang selain dzuhur. Maka tidaklah cukup bila hanya niyat akan melaksanakan sholat yang bertepatan dengan waktu yang ada.

وَلَو كَانت ) الصلاۃُ المَفعُولَۃُ ( نَفلًا ) غَيرَ مُطلَقٍ كَرَواتِب والشُّنُنِ المُؤقَتَۃِ وَذَاتِ سَبَبٍ فَيَجِبُ فِيهَا التَّعيِينُ بِالاِضَافَۃِ الٰی مَا يُعَيِّنُهَا كَسُنَۃِ الظهرِ القبلِيَّۃَ اَ وِ البَعدِيَّۃَ وَاِن لَم يُؤَخَّرُ القبلِيَّۃُ

  Dan apabila sholat yang akan di lakukan itu sholat sunah yang selain sunah mutlak, seperti sunah rowatib, dan sunah yang ada di waktu-waktu tertentu, (seperti dhuha, dll), Atau sunnah yang mempunyai sebab, (seperti sholat gerhana, tahyatal masjid, dll), Maka wajib menentukannya di dalam niyat. (Menyebutkan nama sholatnya). Yaitu dengan menyandarkan pada sholat yang di tentukan, seperi "Sunah qobliyyah dzuhur" atau "Ba'diyah dzuhur." Walaupun qobliyyahnya tidak di akhirkan dari fardhunya. (Yakni yang asalnya "sunatan qobliyatan dzuhri" menjadi (sunatan dzuhri qobliyatan lillahi ta'aala).

وَمِثلُهَا كُلُّ صَلَاۃٍ لَهَا سَنَّۃٌ قَبلَهَا وَسنۃٌ بَعدَهَا . وَكَعِيدِ الاضحٰی او الاَكبَرِ او الفِطرِ اوِ الاَصغَرِ فَلَا يَكفِی صَلاۃُ العِيد ای فقَط

  Dan sama seperti niyat dengan menyebutkan qobliyah dan ba'diyyah pada tiap-tiap fardhu yang ada qobliyah dan ba'diyahnya. Yakni wajib ta'yin dalam hal ini (Jika qobliyah asar dan subuh maka tidak harus menentukan dengan kalimat qobliyah, Karena tak ada sunah ba'diyahnya. Maka cukup dengan ucapan usholi sunatal 'ashri atau sunatas subhi).

  Dan seperti halnya sholat iedul adlha, (juga harus di idhofahkan dan di ta'yinkan) dengan menyebut "idul adha" atau "iedul akbar."  Dan kalimat "iedul fitri" atau "iedul asghor", Maka tidaklah sah bila hanya niyat "sunatal ied" saja.

وَالوِتر فقط سَوَاءُ الوَاجِدَۃِ والزاءِدَۃِ عَلَيهَا . وَيٰكفِی نِيَّۃُ الوترِ من غَير عَدَدٍ وَيُحمَلُ عَلٰی مَا يُريدُهُ عَلی اوجُهِ  . ولا يَكفِی فِيهِ نِيَّۃُ سُنَّۃِ العشاءِ او رَواتِبِهَا

  Dan seperti halnya sholat witir, baik yang satu rokaat atau yang lebih (maka wajib ta'yin) dan dalam sholat witir ini boleh niyat "sunatal witri" tanpa menyebutkan bilangan rokaatnya. Karena rokaatnya sudah di tanggungkan pada kehendak musholli, Ini menurut pendapat yang unggul.
  
  Dan dalam sholat witir ini, tidaklah cukup/tidak sah apabila di niyati sunah 'isya atau di niyati rowatibnya isya.

والتراويحِ  الضُّحٰی  وكَاِستسقاء وَكُسُوفِ شَمسٍ او قَمَرٍ

  Dan wajib ta'yin seperti halnya dalam niyat sholat tarowih, sholat dhua (ini termasuk sunah yang di tentukan dengan waktu). Dan seperti ketika niyat dalam sholat istisqo, sholat kusufi syamsi atau khusufil qomari. juga wajib ta'yin. (istisqo dan sholat gerhana ini, termasuk kategori sunah dzati sababin /sholat yang memiliki sebab musabab).

▪️ Syarat Niyat

أَمَّا النَْفلُ المُطلَقُ فَلَا يَجِبُ فِيهِ تَعيِينٌ بَل يَكفِي فِيهِ نِيَّةُ فِعلِ الصَّلاةِ، كَمَا فِي رَكعَتَي التَّحِيَّةِ والوُضُوءِ وَالاِستِخَارَةِ، وَكَذا صَلَاةِ الاوَّابِينَ، عَلى مَا قاله شَيخُنَا ابنُ زياد والعلامة السُّيُوطي رحمهما الله تعالى. وَالَّذِي جَزمَ بِه شيخنا في فتاويه أنه لا بد فيها من التعين كالضحى

  Adapun ketika niyat di dalam sholat sunah mutlak, maka dalam hal ini tidak di wajibkan menentukan atau menyebutkan nama sholat yang akan di lakukan, Tetapi cukup hanya dengan niyat melakukan sholat (yakni hanya menghadirkan kalimat "usholli" di dalam hati).

   Seperti ketika sholat tahyatal masjid, sholat syukril wudhu, dan sholat istikhoroh, Demikian juga ketika sholat awwabiin, (sholat sunah yang dilakukan sesudah ba'diyatal maghrib). Demikian ini menurut pendapat yang di ungkapkan oleh guru kami syeh ibnu Ziyad dan syeh Suyuthi r.a,

  Tapi menurut pendapat yang di kukuhkan oleh guru kami sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab "Fatawi" karyanya, bahwa dalam sholat-sholat tersebut di haruskan menghadirkan nama sholat dalam niyat, Sama halnya seperti sholat Dhuha.

وَ) تجِبُ (نيَّةُ فَرضٍ فِيهِ) أي فِي الفَرضِ، وَلو كِفُايَةً أَو نَذرًا، وَإن كَانَ النَّاوی صَبِيًّا، لِيَتمَيَّزَ عَن النَّفلِ. (كَأُصلِّي فَرضَ الظهر) مَثَلا، أو فَرضَ الجُمعَةِ، وَإن أَدرَكَ الامَامَ فِي تَشَهُّدِهَا 

  Dan (selain dari qosdul fi'li dan ta'yin) juga di wajibkan menghadirkan lafadz fardhon ketika niyat di dalam sholat fardhu. Walaupun di dalam sholat fardhu kifayah atau dalam sholat fardhu yang di nadzarkan. Walaupun yang niyat itu masih anak kecil.

  Alasannya agar membedakan antara sholat fardhu dan sholat sunnah, Seperti mengucapkan "Usholli fardho ddzuhri" atau "usholli fardhol jum'ati" walaupun musholi  mendapatkan imam sudah sedang membaca tashahud akhir.

▪️ Keterangan :

(Lafadz "اُصَلِّی" adalah ibarat dari qosdul fi'li. Lafadz "فرضَ" adalah ibarat dari niyat fardhiyyah . Dan lafadz "الظهر" adalah ibarot dari ta'yin).

▪️ Hal Yang Di Sunahkan Dalam Niyat.

وَسُنَّ) فِي النِّيَّةِ (إِضَافَةٌ إلٰى اللّٰه) (تعالى)، خُرُوجًا مِن خِلَافِ مَن أَوجَبَهَا، وَلَيَتَحَقَّقَ مَعنٰى الاِخلَاصِ. (وَتَعَرُّضُ لِاَدَاءٍ أو قَضَاءٍ) وَلَا يَجِبُ وَإن كَانَ عَلَيهِ فَائِتَةٌ مُمَاثَلَةٌ لِلمُؤَدَاةِ، خِلافًا لِمَا اِعتَمَدَهُ الاَذرَعِي

  Dan ketika di dalam niyat, di sunahkan menyandarkan pada Alloh (menghadirkan lafadz : لِلّٰهِ تعالی). Namun pendapat ini lepas dari pendapat ulama yang mewajibkan akan hal itu. Tujuannya adalah agar supaya lebih pada menyatakan makna ikhlas karena Alloh.

  Dan di sunahkan menjelaskan dan menghadirkan lafadz ( اَدَاءً ) bila sholat tepat waktu. Atau lafadz (قَضَاءً ) bila sholat di luar waktunya. (Sekalipun ketika dalam sholat sunnah yang berbatas waktu). —Syarah.

   Namun  hal ini tidaklah di haruskan, walaupun sholat yang di lakukan adalah sholat qodho yang di urutkan sebagaimana urutan yang semestinya. Dan ini menyelisihi pendapat muktamadnya imam Adzro'i.

وَالاَصحُّ صِحَّةُ الادَاءِ بِنِيَّةِ القَضَاءِ، وَعَكسُهُ إنۡ عُذِرَ بِنَحوِ غَيمٍ، وَإلَّا بَطَلَت قَطعًا لِتَلَاعُبِهِ

  Namun menurut qaul yang shohih (jika akan menghadirkan niyat adaa-an atau qodho'an),  di dalam sholat yang tepat waktu, sah hukumnya bila menyebutkan dan menghadirkan kalimat ( "قَضَاءً" ). Atau sebaliknya (Yakni ,sholat qodho tapi di niyati adaa'an).

  Namun dengan syarat bila ada udzur (tidak jelasnya waktu) seperti ketika dalam suasana mendung. Tapi bila waktunya jelas-jelas tepat waktu, di niyati qodho ,(atau sebaliknya), maka batal sholatnya. Dan itu pasti. Alasannya karena itu sama saja dengan main-main dengan niyat dan sholatnya. Dan itu adalah hal yang sembrono.

▪️ Sunah-sunah Dalam Niyat

و ) تَعَرُّضُ ( لِاستِقبَالِ وَعَدَد ركعات ) للخروج مِن خِلَافِ مَن أوجَبُ التَّعَرُّضَ لَهُمُا. (وَ) سُنَّ (نُطقُ بِمَنوِي) قَبلَ التَّكبِيرِ، لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلبَ، وَخُرُوجًا مِن خِلافِ مَن أَوجَبَهُ

  Dan di sunahkan menjelaskan dan menghadirkan kalimat "mustaqbilal qiblat" dan menuturkan bilangan rokaat. Dan pendapat ini lepas dan keluar dari pendapat yang mengatakan harus menghadirkan "mustaqbilal qiblat" dan bilangan rokaat (arba'a roka'aatin dll).

  Dan di sunahkan pula mengucapkan secara lisan apa yang di niyatkan. Tujuannya agar ucapan lisan ini membantu memudahkan hati dalam menghadirkan niyat. Dan ini juga keluar dari pendapat yang mengharuskan untuk melafadzkan niyat.

وَلَو شَكَّ: هَل أتٰى بِكَمَالِ النِّيَّةِ أوۡ لُا ؟ أَو هَل نَوٰى ظُهرًا أو عَصرًا ؟ فَإِن ذَكَرَ بَعدَ طِولِ زَمَانٍ، أو بَعدَ إتيَانِهِ بِرُكنٍ - وَلَو قَولِيًا كالقِرَاءةِ - بَطَلَت صَلَاتُهُ، أو قَبلَهُمَا فلَاَ

  Dan seandainya musholli ragu, apakah sudah sempurna menghadirkan wajibnya niyat (yakni qosdul fi'li, ta'yin dan fardiyah ataukah belum?). Atau ragu, apakah niyatnya itu sholat dzuhur ataukan ashar, maka dalam ini ada dua ketentuan.

①. Apabila musholi teringat akan kekeliruan atau kekurangan niyatnya setelah beberapa saat (kira-kira waktu untuk tuma'ninah) atau teringatnya sesudah melakukan salah satu rukun, walaupun rukun yang berupa ucapan, seperti membaca fatihah, maka batal sholatnya.

②. Apabila teringatnya belum lama dan belum melakukan rukun, (Yakni teringat kembali di saat takbirotul ihrom, dan meluruskannya kembali niyatnya), maka tidak batal sholatnya.

2. Takbiratul Ihram

و) ثَانِيهَا: (تَكبِيرُ تَحَرُّمٍ) لِلخَبَرِ المُتَفَقُّ عَلَيهِ: إِذا قُمۡتَ إِلٰى الصَّلَاةِ فَكَبِّر. سُمِيَ بِذٰلِكَ لِاَنَّ المُصَلِّي يَحرُمُ عَلَيهِ بِهِ مُا كَانَ حَلَالًا لَهُ قَبلَهُ مِن مُفسِدَاتِ الصَّلَاةِ

- Rukun sholat yang kedua adalah: Takbirotul ihrom. Berdasarkan hadits yang telah disepakati oleh para ulama, yang bunyinya: "Ketika kalian akan mulai sholat, maka bertakbirlah."

  Dan kenapa di sebut dengan "takbiirotul ihrom?", Sebab sesuatu yang tadinya halal oleh musholli, setelah takbirotul ihrom berubah menjadi haram. Yakni hal-hal yang bisa membatalkan sholat, (Seperti: Haram bicara, haram melakukan gerakan lain , tiga kali berturut-turut, dll).

وَجُعِلَ فَاتِحَةَ الصَّلَاةِ لِيَستَحضَرَ المُصَلِّي مَعنَاهُ الدَّالَ عَلى عَظَمَةِ مَن تَهَيَّأَ لِخِدمَتِهِ حَتّٰى تَتِمَّ لَهُ الهَيبَةُ وَالخُشُوعُ، وَمِن ثَمَّ زِيدَ فِي تِكرَارِهِ لِيَدُومَ اِستِصحَابُ ذَينِكَ فِي جَمِيعِ صَلَاتِهِ

  Dan kenapa takbirotul ihrom di jadikan pembukaan di dalam sholat? Tujuanya agar musholli bisa menghadirkan makna takbir, yang menunjukan arti keagungan dari dzat akan di hidmatinya/di sembahnya.

  Hingga rasa takut dan rasa khusuknya pada dzat yang maha Agung menjadi sempurna. Dan dari takbir pembuka, di sana akan di tambahkan takbir-takbir intiqolat, agar penyertaan rasa takut dan khusuk akan mudawamah di sepanjang sholatnya musholi.

مَقۡرُونًا بِهِ) أي بالتكبير، (النِّيَّةُ) لِاَنَّ التَّكبِيرَ أوَّلُ أركَانِ الصَّلَاةِ فَتَجِبُ مُقَارَنَتُهَا بِهِ، بَل لَا بُدَّ أن يَْستَحضَرَ كُلَّ مُعتَبَرٍ فِيهَا مِمَّا مَرَّ وَغَيرّهِ. كالقَصرِ للقاصِرِ، وَكَونَهُ إمامًا أو مأمُومًا فِي الجُمعَةِ، والقُدوَةِ لِمَأمُومِ فِي غَيرهَا، مَعَ اِبتِدَائِهِ. ثُمَّ يَستَمِرُّ مُستَصۡحِبًا لِذلِكَ كلِّهِ إلٰى الرَّاءِ

  Dan takbirotul ihrom ini harus di barengkan dengan niyat. Alasannya, karena takbirotul ihrom ini adalah rukun pertama dalam sholat. Maka wajib membarengkan niyat dengan takbirotul ihrom.

  Bahkan ketika takbir, harus menghadirkan di dalam hati semua yang di ibarotkan (di ucapkan dalam lafadz niyat), yakni hal-hal yang di wajibkan dan yang di sunahkan dalam niyat, sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, (yaitu qosdul fi'li, ta'yin, dan fardiyyah, dll) serta tambahan niyat yang lainnya.

  Seperti menghadirkan kalimat, "قَصرا" atau "مقصُورَۃً" bagi orang yang sholat qoshor. Dan menghadirkan lafadz "اِمَامًا" bagi imam sholat jum'ah. Dan menghadirkan lafadz مامومًا bagi orang yang ma'mum sholat jum'ah dan selain jum'ah.
  
  Dan menghadirkannya itu bersamaan dengan mengawali takbir dan harus tetap ada pembersamaan niyat di dalam hati hingga di sepanjang takbir hingga huruf "ro" di akhir takbir.

وَفي قَولٍ صَحَحَهُ الرَّافِعِي، يَكفِي قَرنُها بأَوَّلهِ. وَفِي المَجمُوعِ والتَّنقِيحِ, المختَارُ مُا اَختَارَهُ الامام والغزالي: أُنَْهُ يَكفّي فِيهَا المُقارَنةُ العُرفّيَْةِ عِندَ العَوَامِ بِحَيثُ يُعَدُّ مُستَحضَرًا لِلصَّلَاةِ

 Dan menurut sebuah pendapat yang di shohihkan oleh imam Rofi'i, bahwa menghadirkan niyat sholat itu cukup di awal takbir saja. Dan di sebutkan di dalam kitab majmu' dan kitab tangkih, bahwa pendapat yang terpilih dalam hal ini, adalah pendapat yang di pilih oleh imam Al Haromain dan imam Al ghozali, bahwa dalam membarengkan niyat dengan takbir itu cukup dengan membarengkan yang sifatnya umum, menurut pandangan umum, yaitu sekiranya bisa di katakan bahwa itu sudah menghadirkan niyat sholat.

(Tidak harus sepanjang takbir sambil mengangankan apa yang di lafadzkan dalam niyat, yakni cukup mengangankan yang wajib-wajib saja dalam niyat, yakni qosdul fi'li (اُصَلِّی) fardiyyah (فَرضًا) ta'yin (الظهر), dll. Lalu (مأمومًا /امامًا) hingga tentang qoshor atau jamaknya).

وقال ابن الرفعة: إنَّهُ الحَقُّ الَّذِي لَا يَجُوز سِوَاهُ. وَصَوَّبهُ السُّبُكِي، وقال: مَن لَم يَقُل بِهِ وَقَعَ فِي الوَسوَاسِ المَذمُومِ

  Dan imam ibnu Rif'ah mengatakan: "Sesungguhnya pendapat yang ini adalah yang paling benar, yang mana tidaklah di bolehkan memakai pendapat yang selain itu (atau katakanlah, minimalnya seperti itu cara membarengkan niyat dengan takbir). Dan pendapat tersebut di shohihkan oleh imam Subuki.

Dan beliau berkata: "Barang siapa tidak cocok dengan pendapat ini, maka bisa jadi dia akan terkena peyakit was-was yang tercela.

وَعِندَ الاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ: يجُوزُ تقۡدِيمُ النِّيَّةِ عَلى التَّكبِيرِ بالزَّمَنِ اليَسِيرِ

  Dan kalau menurut pendapat imam yang selain imam Syafi'i; Di bolehkan mendahulukan niyat sebelum takbir, dengan selisih waktu yang singkat saja.

وَيُتَعَيَّنُ) فِيهِ عَلٰى القَادِرِ لَفظُ: (الله أكبر) للاتباع، أو الّٰله الاَكبَر. وَلَا يَكفِي أَكبَرِ اللّٰه، ولا الله كَبِيرٌ، أو أَعظَمِ، وَلَا الرَّحمٰنُ أكبَرُ

  Dan lafadz takbir itu di tentukan harus dengan kalimat "Alloohu akbar" bagi orang yang mampu. Alasannya karena itba' pada Rosululloh Saw, atau paling tidak kalimat "Allohul akbar". Maka tidak lah sah jika memakai kalimat yang lainnya, seperti "Akbar Alloh, Alloh kabiir, Alloh a'dzom, Rohman kabiir".

 وَيَضرُّ إِخلَالٌ بِحَرفٍ مِن اَللّٰهُ أَكبَرُ. وَزِيَادَةُ حَرفٍ يُغَيِّرُ المُعنٰى، كَمَدِّ هَمزَةَ اللْٰه، وَكَألِفٍ بَعدَ البَاءِ، وَزِيَادَةُ وَاوٍ قَبلَ الجَلَالَةِ، وَتَخَلُّلِ وَاوٍ سَاكِنَةٍ وَمُتَحَرّكَةٍ بينَ الكَلِمَتَينِ، وَكَذا زِيادةُ مَدِ الاَلِفِ التِي بَينَ اللَّام وَالهَاءِ إِلٰى حَدٍ لَا يَرَاهُ أَحَدٌ مِنَ القُرَاءِ

 Dan akan jadi mudhorot dalam pengucapan takbir, apabila menyisipkan satu huruf di antara kalimat "Alloohu akbar" atau menambahkan huruf yang bisa merubah makna. Seperti membaca panjang pada hamzahnya lafadz "Alloh", atau menambahkan "alif" sesudah "ba" dari lafadz akbar, menambahkan "wawu" sebelum lafadz "Alloh", menyisipkan "wawu" mati atau berharokat di antara "Alloh" dan "Akbar",(menjadi Alloohu wakbar). Demikian juga jika menambahkan "alif" di antara "lam" dan "ha" dari lafadz "Alloh" / memanjanngkan lafadz "Allooooh", hingga pada batas yang tidak di bolehkan oleh salah seorang dari ahli qori.

وَلَا يضُرُّ وَقفَةٌ يَسِيرَةٌ بَينَ كَلِمَتَيهِ ، وَهِيَ سَكتَةُ التَنَفُّسِ، وَلَا ضَمُّ الرَّاءِ

  Dan tidaklah akan jadi mudhorot apabila berhenti sejenak di antara dua kalimat takbir, yaitu berhenti karena ambil nafas. Dan tidaklah masalah, apabila membaca dommah pada huruf "ro" lafadz akbar.

▪️ Cabang: Takbir yang Berulang-ulang

فَرعٌ) لَو كَبَّرَ مَرَّاتٍ نَاوِيًا الاِفۡتِتَاحَ بِكُلٍّ دَخَلَ فِيهَا بِالوِترِ وَخَرَجَ مِنهَا بِالشَّفعِ، لِاَنَّهُ لَمَا دَخَلَ بِالاُولٰى خَرَجَ بِالثَّانِيَّةِ، لِانَّ نِيَّةَ الافتِتَاحِ بِهَا مُتَضَمَّنَةٌ لِقَطعِ الاُولٰى. وَهكَذا، فَإن لَم يَنوِ ذٰلِكَ، وَلَا تَخَلُْلٍ مُبطِلٍ كَإعَادَةِ لَفظِ النِّيَّةِ، فَمَا بَعدَ الاُولٰى ذِكرٌ لَا يُؤثِرُ

  Apabila seseorang bertakbir beberapa kali dengan niyat melakukan takbir pembuka sholat dari tiap-tiap takbir yang di ucapkan, maka ia akan masuk pada awal sholat ketika jatuh pada bilangan yang ganjil. Dan dia akan di katakan keluar dari sholat pada bilangan takbir yang genap.

  Alasannya ketika musholli jatuh pada hitungan masuk sholat saat takbir yang pertama, maka ia akan jatuh pada hitungan keluar pada takbir yang kedua, (masuk, keluar, masuk) tiga kali jatuh pada hitungan masuk. Bila genap 2 atau 4 kali, maka jatuh pada hitungan keluar), demikian seterusnya.

  Karena hitungan masuk sholat itu sudah di tanggungkan ketika pada hitungan pertama, ketiga, ke lima dst.

  Maka apabila di dalam tiap takbirnya tidak di niyati takbir pembuka sedangkan menyela-nyelai takbir juga tidaklah membatalkan sholat, demikian juga bila mengulang-ulang niyatnya, maka takbir yang kedua itu terhitung sebagai dzikir yang tidak berdampak apa-apa.

وَيجِبُ إسۡمَاعُهُ) أي التَكبِيرِ، (نَفسَهُ) إن كَانَ صَحِيحُ السَّمعِ، وَلَا عَارِضٍ مِن نَحوِ لَغَطٍ. (كَسَائِرِ رُكنٍ قَولِيٍّ) مِن الفاتِحَةِ والتَّشَهُّدِ وَالسَّلَامِ. وَيُعتَبَرُ إِسمَاعُ المَندُوب القولي لِحُصُولِ السُّنَّةِ

  Dan di dalam pengucapan takbirotul ihrom, di wajibkan terdengar oleh telinga sendiri, bagi orang yang pendengarannya masih normal, dan apabila tidak ada sesuatu yang menghalangi pendengarannya. Seperti suara berisik yang mengganggunya.

  Demikian juga, wajib terdengar telinga sendiri, ketika mengucapkan rukun-rukun quliyyah yang lain. Seperti ketika membaca fatihah, tasyahud akhir dan salam. Dan untuk sunah-sunah qauliyah, juga di sunahkan untuk memperdengar telinga sendiri. Demi mendapatkan kesempurnaan sunnah.

(Seperti ketika membaca suratan, tasyahud awal dan dzikir-dzikir yang lain. Karena jika tidak terdengar telinga sendiri, maka tidaklah akan mendapat pahala sunnah dengan sempurna). —Syarah. 

وَسُنَّ جَزمُ رَائِهِ) أي التَّكبِيرِ، خُرُوجًا مِن خِلَافِ مَن أوۡجَبَهُ وَجَهرٌ بِهِ لِاِمَامٍ كَسَائِرِ تَكبِيرَاتِ الانتِقالَاتِ، (وَرَفعُ كَفَّيهِ) أو إحدَاهُمَا إِن تَعَسَّرَ رَفعُ الاُخرٰى، (بِكَشفٍ) أي مَعَ كَشفِهمَا، وَيُكرَهُ خِلَافُهُ. وَمَعَ تَفرِيقِ أََصَابِعِهِمَا تَفرِيقًا وَسَطًا، (خَذوَ) أي مُقابِلَ (مَنكِبَيهِ) بِحَيثُ يُحَاذِي أَطرَافُ أَصَابِعِهِ عَلٰى أُذُنَيهِ، وَإبۡهَامَاهُ شَحمَتَي أُذُنَيهِ، وَرَاحَتَاهُ مَنكِبَيهِ، لِلاِتبَاعِ

  Dan di sunahkan membaca sukun pada huruf "ro" nya kalimat takbir. Dan pendapat ini keluar dari perselisihan ulama yang mewajibkannya. Dan sunah membaca dengan keras bagi imam. Demikian juga ketika takbir-takbir peralihan gerakan, juga di sunahkan keras bagi seorang imam.

  Dan di sunahkan mengangkat kedua telapak tangan. Atau mengangkat salah satunya apabila kesulitan mengangkat yang satunya lagi. Di sertai dengan membuka kedua telapak tangannya. Dan di makruhkan jika telapak tangannya tidak terbuka. Dan di sertai dengan sedikit merenggangkan jari jemari, dengan kerenggangan yang sedang.

   Dan sunah mengangkat itu, lurus dengan posisi di atas pundak. Yakni sekiranya jari jemari terangkat di atas telinga, dan kedua jempol lurus dengan daging daun telinga (yakni tempat memasang anting bagi para wanita pada umumnya), Dan posisi telapak tangan berada di atas pundak. Semua kaifiyyah ini adalah karena itba' pada Rosululloh Saw.

وَهٰذِهِ الكَيۡفِيَّۃُ تُسَنُّ ( مَعَ ) جَمِيعِ تَكبيرِ ( تَحَرُّمٍ ) بِاَن يَقرُنَهُ بِهِ اِبتِدَاءً وَيُنهِيَهُمَا مَعًا ( وَ ) مَعَ ( رُكُوعٍ ) لِلاِتبَاعِ الوَارِدِ من طُرُقٍ كَثِيرَۃٍ ( وَرَفعٍ منه ) ای مِنَ الرُّكُوعِ ( و ) رَفعٍ ( من تَشَهُّدِ اَوَّلٍ ) لِلاتبَاع فِيهمَا

  Dan cara seperti yang telah di jelaskan di atas, (yakni mengangkat tangan dan seterusnya), itu di sunahkan dan berlaku ketika takbirotul ihrom, yaitu dengan membarengkan awal takbir dengan mengangkat tangan, dan selesai secara bersamaan antara ucapan takbir dan gerakan tangan.

   Dan cara tersebut juga berlaku ketika akan ruku' dan ketika bangun berdiri dari membaca tasyahud awal. Dan kesemuanya adalah karena itba' pada nabi Saw, berdasarkan dari pendapat beberapa perawi hadits yang cukup banyak dalam hal ini.

وَوَضعُهُمَا تَحتَ صَدرِهِ) وَفَوقَ سُرَّتِهِ، للاتباع. (آَخِذًا بِيمِينِهِ) كِوعَ (يَسَارِهِ) وَرَدُّهُمَا مِن الرَّفعِ إلى تَحتَ الصَّدرِ أولٰى مِن إِرسَالِهِمَا بِالكُلِيَّةِ، ثُمَّ استَئنَافَ رَفعَهُما إلٰى تَحتَ الصَّدرِ. قَالَ المُتَوَّلِي، - واعتَمَدَهُ غَيرُهُ -: يَنبَغِي أنْ يَنظُرَ قَبلَ الرَّفعِ وَالتَّكبِيرِ إلٰى مَوضِعِ سُجُودِهِ وَيَطرُقَ رَأسَهُ قَلِيلًا ثُم يَرفَعُ

  Dan sunah meletakkan kedua telapak tangan di bawah dada dan di atas pusar. Dan tangan musholli hendaknya memegang lengan tangan kiri dengan telapak tangan kanannya. Dan mengembalikan tangan dari mengangkatnya kemudian turun untuk bersedekap, itu lebih utama, daripada di turunkan lepas ke bawah dahulu secara keseluruhan, baru kemudian mulai mengangkat untuk bersedekap.

  Imam Mutawali mengatakan, dan menurut yang lain ini adalah qaul yang muktamad,(Bisa di jadikan landasan hukum), "Bahwa musholli hendaknya melihat ke tempat sujud lebih dahulu sebelum mulai mengangkat tangan untuk takbir. Dengan sedikit menundukkan wajahnya baru kemudian mengangkat pandangan (lurus ke depan) sambil mengangkat tangan. (Alasannya demi memastikan tidak ada kotoran di tempat sujud, yang bisa mengganggunya di saat sujud).

3. Berdiri

وَ) ثَالِثُهَا: (قِيَامُ قَادِرٍ) عَلَيهِ بِنَفسِهِ أو بِغَيرِهِ (في فَرضٍ) وَلَو مَندُورًا أو مُعَادًا. ويَحصُلُ القيَامُ بنَصبِ فقَارِ ظَهرِه - أي عِظَامِهِ التِي هيَ مَفَاصِلُهُ - ولَو بِاستِنَادٍ  إلٰى شَئٍ بِحَيثُ لَو زَالَ لَسَقَطَ. وَيُكرَهُ الاِستِنَادُ - لَا بِانحِنَاءِ - إن كانَ أقرَبُ إلٰى أقلِّ الرُّكُوعِ، إن لَم يعْجِز عَن تَمَامِ الانتِصَابِ

- Rukun sholat yang ketiga adalah: Berdiri bagi orang yang mampu berdiri, baik berdiri sendiri ataupun ada yang memegangi. Ini apabila di dalam sholat fardhu, walaupun itu berupa sholat sunah yang di nadzarkan atau sholat yang di ulang (karena permintaan, dll).

   Dan kewajiban berdiri ini bisa di hasilkan dengan meluruskan punggung, yakni ruas-ruas tulang belakang. (yang selain bagian leher, karena saat berdiri ini di sunahkan menundukkan kepala). Walaupun berdirinya dengan bersandar pada sesuatu, yang apabila sandarannya itu hilang, niscaya musholli akan terjatuh. Akan tetapi berdiri sambil bersandar, ini makruh hukumnya. 

  Namun tidaklah makruh apabila berdirinya sambil membungkukkan badan, yakni membungkuk hingga posisi lebih dekat dengan batas minimalnya orang ruku'. Dan batasan berdiri sebagaimana telah di sebutkan, ini bagi orang yang sebenarnya mampu dan tidak sulit baginya untuk berdiri sendiri secara tegak sempurna.

(Dan bagi yang tidak mampu karena sudah tua atau karena sakit, maka hendaknya berdiri dengan cara yang ia mampu, dan ini wajib selama masih mampu untuk berdiri). —Syarah. 

▪️ Sholatnya Orang Yang Tidak Mampu Berdiri

 (وَلعَاجِزٍ شَقَّ علَيهِ قِيَامٌ) بِأَن لَحِقَهُ بِهِ مَشَقَّةً شَدِيدَةً بِحَيثُ لَا تَحتَملُ عَادَةً - وَضَبَطَهَا الامَامُ بأَن تَكُونَ بِحَيثُ يَذهَبُ مَعهَا خُشُوعُهُ - (صَلَاةٌ قَاعِدًا) كَرَاكِبِ سَفِينَةٍ خَافَ نَحوَ دَورَانِ رَأسٍ إِن قَامَ، وَسَلِسٍ لَا يَستَمۡسَكُ حَدَثَهُ إلَّا بِالقُعُودِ

  Dan bagi yang tidak mampu sholat sambil berdiri, yang terasa berat dan sulit untuk berdiri. Seperti ia akan merasakan kesulitan yang amat sangat bila memaksakannya, Yaitu sekiranya ia tidak akan mampu menanggung kesulitan tersebut sebagaimana peng adatannya, maka boleh sholat sambil duduk.
   
  Dan imam haromain menjelaskan batasan ketentuan sholat sambil duduk, "yaitu ketika akan hilang rasa khusyuk apabila memaksakan berdiri karena menahan rasa sakit, dll".

   Seperti halnya orang yang sholat sambil naik perahu, yang takut kepalanya akan menjadi pusing bila berdiri. Dan seperti halnya bagi orang yang terkena penyakit kencing yang terus merembes, yang mana ia tidak akan bisa menahan kencingnya, kecuali dengan duduk.

▪️ Aturan Ruku' Bagi Orang Yang Sholat Sambil Duduk

ويَنۡحَنِي القَاعِدُ لِلرُّكُوعِ بِحَيثُ تُحَاذِي جَبهَتُهُ مَا قُدَامَ رُكبَتَيهِ

  Dan orang yang sholat sambil duduk, harus membungkukkan badan ketika ruku', yaitu sekiranya posisi kening lurus di depan kedua lututnya.

▪️ Cabang: Orang yang Mampu Berdiri Jika Salat Sendirian, Tapi Tidak-Mampu Jika Berjamaah

فرعٌ ) قال شيخنا: يَجُوزُ لِمَرِيضٍ أَمكَنَهُ القِيَامُ بِلَا مَشَقَةٍ لَو اِنفَرَدَ، لَا إن صَلٰى فِي جَمَاعَةٍ إلَّا مَعَ جُلُوسٍ فِي بَعضِهَا، الصَّلَاةُ مَعَهُم مَعَ الجُلُوسِ فِي بَعضِهَا، وَإن كَانَ الاَفضَلُ الاِنفِرَادُ. وكذا إذا قرأ الفَاتحَةَ فَقَطُّ لَم يَقعُد، أو وَالسُّورَةَ قعَدَ فِيهَا جَازَ لَهُ قِرَاءَتُهَا مَعَ القُعُودِ، وَإن كَانَ الافضلُ تَركَهَا. انتهى

 Guru kami mengatakan: "Di bolehkan sholat sambil duduk, bagi orang yang sakit, yang sebenarnya masih mampu untuk berdiri, namun dia merasakan kesulitan yang sangat ketika sholat sambil berdiri. Dengan catatan, apabila sholat sendirian.

  Dan baginya, tidak boleh sambil duduk apabila (mengimami) sholat berjamaah  Kecuali duduknya hanya di bagian-bagian tertentu. (Alasannya, agar mendapat fadhilah berjamaah). Walaupun yang lebih utama adalah sholat sendirian (apabila ada kemungkinan bisa sholat sambil berdiri dalam seluruh sholatnya).

  Dan contoh dari orang sakit yang masih mampu berdiri lalu mengimami jama'ah adalah: Dia harus berdiri ketika membaca fatihah. Dan ketika membaca suratan boleh  sambil duduk. (Dan ketika akan ruku', maka dia harus bangkit lagi untuk ruku bersama jamaah. Demikian seterusnya). Walaupun yang lebih utama baginya adalah meninggalkan baca suratan. Demikian penjelasan dari guru kami.

وَالاَفضَلُ لِلقَاعِدِ الاِفتِرَاشُ، ثُمَّ التَّرَبُّعُ، ثُمَّ التَّوَرُّكُ، فَإنۡ عَجَزَ عَنِ الصَّلَاةِ قَاعِدًا صَلّٰى مُضطَجِعًا عَلٰى جَنبِهِ، مُستَقبِلًا لِلقِبلَةِ بِوَجهِهِ وَمُقَدِّمَ بَدَنِهِ، وَيكرَهُ عَلٰى الجَنبِ الۡاَيسَرِ بِلَا عُذرٍ

  Dan bagi orang yang sholat sambil duduk, yang paling utama adalah dengan duduk iftirosy, kemudian bersila, kemudian duduk tawaruk. Apabila tidak mampu sholat sambil duduk, maka sholatlah sambil berbaring dengan lambung kanan sambil menghadap arah kiblat dengan wajahnya dan bagian depan badan. Dan di makruhkan jika berbaring dengan lambung kiri tanpa ada udzur yang menyulitkan.

(Dan ketika akan ruku' dan sujud maka harus bangkit duduk untuk ruku dan sujud, apabila mampu, lalu berbaring lagi. Demikian seterusnya. Bila tidak mampu maka cukup dengan isyarat gerakan kepala).

 فَمُستَلقِيًا عَلٰى ظَهرِهِ وَأخمَصَاهُ إلٰى القِبلَةِ، وَيَجِبُ أنۡ يَضَعَ تَحتَ رَأسِهِ نَحوَ مَخدَةٍ لِيَستَقبِلَ بِوَجهِهِ القِبلَةَ، وأن يُّومِئَ إلٰى صَوبِ القِبلَةِ رَاكِعًا وَسَاجِدًا، وَبِالسُّجُودِ أَخفَضُ مِن الايۡمَاءِ إلٰى الرُّكُوعِ، إِن عَجَزَ عَنهُمَا

  Dan apabila tidak mampu sholat sambil berbaring miring, maka sholatlah sambil tidur terlentang. Dan kedua telapak kaki menghadap kiblat. Dan bagi yang sholat sambil terlentang, di wajibkan menaruh bantal di bawah kepalanya, agar wajahnya bisa menghadap ke arah kiblat.

  Dan wajib memberi isyarat dengan kepalanya ke arah kiblat ketika ruku dan sujud. Dan ketika sujud maka hendaknya isyarat yang di lakukan lebih rendah daripada isyarat ketika ruku'. Yang demikian ini apabila tidak mampu (bangkit duduk) untuk melakukan ruku' dan sujud sebagaimana mestinya.

فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الاَيمَاءِ بِرَأسِهِ أَوۡمَأَ بِأَجفَانِهِ. فإِنۡ عَجَزَ، أَجرٰى أَفعَالَ الصَّلَاةِ عَلٰى قَلبِهِ

  Dan jika sudah tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, maka cukup berisyarat dengan kelopak matanya. Dan apabila sudah tidak mampu demikian, maka cukup dengan membayangkan semua gerakan sholat dan bacaannya di dalam hati.

 فَلَا تَسقِطُ عَنهُ الصَّلَاةُ مَا دَامَ عَقلُهُ ثَابِتًا

  Maka tidaklah gugur kewajiban menjalankan sholat bagi seseorang, selama akalnya masih tetap normal.

 وَإنمَا أَخِّرُوا القِيَامَ عَن سَابِقَيهِ - مَعَ تَقَدُّمِهِ عَلَيهِمَا - لِاَنَّهُمَا رُكنَانِ حَتّٰى فِي النفلِ، وَهُوَ رُكنٌ فِي الفَرِيضَةِ فَقَطُ

  Dan kenapa para ulama mengakhirkan urutan rukun berdiri pada urutan ketiga, yakni setelah niyat dan takbirotul ihrom. Padahal secara fakta, melakukan berdiri itu musti di dahulukan sebelum niyat dan takbir. Alasannya adalah, karena niyat dan takbirotul ihrom itu adalah dua rukun sholat hingga bahkan di dalam sholat sunah. Sedangkan berdiri, ini hanya menjadi rukun apabila di dalam sholat fardhu saja.

كَمُتَنَفِّلٍ) فَيَجُوزُ لَهُ أن يُصَلِّيَ النَّفلَ قَاعِدًا وَمُضطَجِعًا، مَعَ القُدرَةِ عَلٰى القِيَامِ أَو القُعُودِ

  Dan bagi orang yang menjalankan sholat sunah, maka baginya di bolehkan melakukan sholat sunah sambil duduk atau berbaring. Walaupun dalam keadaan segar bugar dan mampu berdiri. Atau mampu duduk.

 وَيَلزَمُ المُضطَجِعَ القُعُودُ لِلرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، أَمَّا مُستلۡقِيًا فَلَا يَصِحُ مَعَ إِمكَانِ الاضۡطِجَاعِ

  Dan dalam hal ini, bagi orang yang sholat sunah sengaja dengan berbaring, maka wajib baginya duduk dahulu ketika akan ruku' dan  sujud. (Waqiilaa cukup dengan isyarat gerakan kepala saja).

  Adapun bila sholat sunah atau wajib, sambil terlentang, maka tidaklah sah hukumnya, apabila dia masih mampu untuk sholat sambil berbaring.

وَفي المَجمُوعِ: إِطَالَةُ القِيُامِ أَفضَلُ مِن تَكثِيرِ الرَّكَعَاتِ. وَفِي الرَّوضَةِ: تَطوِيلُ السُّجُودِ أَفضَلُ مِن تَطوِيلِ الرُّكُوعِ

  Dan di jelaskan di dalam kitab majmu' bahwa: Berlama-lama berdiri (dengan bacaan surah yang panjang), itu lebih utama daripada memperbanyak bilangan roka'at.

  Dan di jelaskan di dalam kitab Roudhoh, bahwa: Berlama-lama ketika sujud, itu lebih utama daripada berlama-lama ketika ruku'.

4. Membaca Al-Fatihah

وَ) رَابِعُهَا: (قرَاءَةُ فَاتِحَةٍ كُلَّ رَكۡعَةٍ) فِي قيَامِهَا، لِخَبَرِ الشَّيخَينِ: لَا صَلَاةَ لِمَن لَم يَقرأُ بِفَاتِحَةِ الكتَابِ. أي فِي كُلِّ رَكعَةٍ. (إلَّا رَكعَةَ مَسبُوقٍ) فلَا تَجِبُ عَلَيۡهِ فِيهَا حَيثُ لَم يُدرِك زَمَنًا يَسَعُ الفَاتِحَةَ مِن قِيَامِ الاِمَامِ

- Rukun sholat yang ke empat adalah: Membaca fatihah di tiap-tiap rokaat, yaitu pada saat berdiri. (jika sholat sambil berdiri, baik di dalam sholat fardhu ataupun dalam sholatsunnah).

 Karena berdasarkan hadits dari imam Bukhori Muslim yang menyatakan: "Tidaklah sah sholat seseorang yang tidak membaca fatihah (di tiap rokaatnya). Kecuali rokaatnya ma'mum masbuq, maka baginya tidak di wajibkan membaca fatihah. Dengan catatan, ia tidak kebagian waktu yang cukup untuk membaca fatihah, di saat berdiri bersama imam. 

، وَلَو فِي كُلِّ الرَّكَعَاتِ لِسَبقِهِ فِي الاُولٰى وَتخَلُّفِ المَأمُومِ عَنهُ بزَحمَةٍ أو نِسيَانٍ أَو بَطۡءِ حَرَكَةٍ، فَلَم يَقُمۡ مِنَ السُّجُودِ فِي كُلِّ مِمَّا بَعدَهَا إلَّا وَالاِمَامُ رَاكِعٌ

  Dan walaupun tidak membaca fatihah di semua rokaat. Di karenakan imam telah membaca fatihah lebih dahulu darinya. Atau di karenakan tertinggalnya makmum oleh imam. Dan ketertinggalannya ini bisa jadi karena berdesakan, atau lupa, atau karena lambannya gerakan makmum. Hingga makmum tidak berdiri di tiap rokaat setelah menyelesaikan rukun yang sesudah fatihah dan seterusnya, kecuali saat ia berdiri, imam telah melakukan ruku', (maka ia harus langsung ikut ruku' bersama imam).

فَيَتَحَمَّلَ الاِمَامُ المُتَطَهِّرُ فِي غَيرِ الرَّكَعَةِ الزَّائِدَةِ الفَاتِحَةَ أو بَقِيَّتَهَا عَنهُ

  Maka dalam hal ini, imam yang dalam keadaan suci, telah menanggung bacaan fatihahnya, atau sisa kurang dari fatihah yang belum di selesaikannya. Terkecuali fatihah di rokaat tambahan yang di lakukan oleh makmum masbuq itu sendiri.

وَلَو تَأَخَّرَ مَسبُوقٌ لَم يَشتَغِلۡ بِسُنَّةٍ لِاِتمَامِ الفَاتِحَةِ فَلَم يُدرِكِ الامَامَ إلَّا وَهُوَ مُعتَدِلٌ لَغَت رَكعَتُهُ

  Dan seandainya makmum masbuq yang tidak di sibukkan melakukan sunah, (seperti doa iftitah), mengakhirkan membaca fatihah, kemudian ketika ia berusaha mengejar membaca fatihah, imam telah keburu i'tidal. Maka sia-sialah rokaatnya.

(Di karenakan ketika dia bertahan membaca fatihah hingga imam keburu ruku lalu i'tidal dan dia masih posisi berdiri, maka ia tidak boleh melakukan ruku'. Namun ia harus langsung mengikuti imam untuk bergerak turun melakukan sujud. Jika ia tetap ruku' dahulu, kemudian i'tidal lalu baru mengejar turun untuk sujud, maka batal sholatnya, Tetapi ketika dia menyempurnakan fatihah dan imam masih ruku, dan iapun masih sempat ruku' bersama imam walau sebatas tuma'ninah, maka rokaatnya di hitung sempurna). —Syarah.

 مَعَ بَسمَلَةٍ) أَي مَعَ قِرَاءَةِ البَسمَلَةِ فَإنَّهَا آيَةٌ مِنهَا، لِاَنَّهُ ﷺ قَرَأهَا ثُمَّ الفَاتِحَةَ وَعَدَّهَا آيَةً مِنهَا. وَكذَا مِن كُلِّ سُورَةٍ غَيرَ بَرَاءَةٍ

  Dan dalam membaca fatihah di haruskan menyertakan bacaan basmallahnya. Karena basmalah adalah termasuk salah satu dari ayat fatihah. Dan karena sesungguhnya, Rosululloh Saw, juga membaca basmallah baru kemudian fatihah. Dan Beliau juga menghitung basmallah sebagai salah satu ayat fatihah. Demikian juga basmallah di dalam surah-surah yang lain, kecuali surah At Taubah. [SII Group].

Share :

0 Response to "PASAL 2: SIFAT-SIFAT SHOLAT - RUKUN-RUKUN SHOLAT"

Posting Komentar